webnovel

Jawaban

Mutia menangis sejadi-jadinya seusai mendengar ucapan ayahnya yang menolak Doni hingga keesokan harinya kedua matanya bengkak dan sembab. Dia kelelahan menangis dan jatuh tidur tanpa sadar. Dia tidak habis pikir dengan keputusan Maula yang menolak lamaran Doni mentah-mentah. Bukankah semua orang tua ingin anaknya bahagia bersama seseorang yang mereka cintai? Lalu kenapa ayah Mutia berbeda? Apakah beliau tidak ingin anak tunggalnya bahagia bersama Doni?

Mutia kembali menangis mengingat keputusan Maula kemarin malam. Lelaki tua itu pun terlihat tidak mengacuhkan Mutia saat sarapan pagi ini. Sementara Saminem hanya menghela napas lelah melihat sikap suaminya yang tidak bisa dibujuk.

Mutia akhirnya mengalah. Saatnya ia mengumpulkan semua keberanian untuk mengatakan keputusannya kepada Doni meski hal itu sangat menyakitkan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana sikap Doni nanti setelah mendengarkan jawabannya. Mungkinkah lelaki itu menjauhi Mutia dan membenci gadis itu seumur hidupnya?

Mutia meringis. Betapa sangat menakutkan jika hal tersebut benar-benar terjadi. Namun, inilah kenyataan yang harus ia hadapi dan ia harus menguatkan dirinya. Bagaimanapun juga Mutia harus patuh kepada ayah dan ibunya. Dia yakin bahwa apa yang ayahnya bilang ada benarnya dan baik untuk masa depan Mutia.

Seusai sarapan, Mutia lantas berpamitan pergi bekerja. Maula bergeming kala anak gadisnya mengulurkan tangan menunggunya menjabat tangan. Lantaran tidak ada pergerakan, akhirnya Mutia meraih tangan Mutia dan menyalaminya, tidak lupa berucap salam dan bergegas pergi.

Maula dan Saminem hanya memandang kepergian putri mereka dalam berbagai macam pikiran yang berkecamuk.

***

Uni datang menyapa kedatangan Mutia ketika gadis itu sudah sampai di toko. Dia baru saja membuka toko dan tengah mengeluarkan kursi di teras.

"Pagi, Mutia. Kenapa wajahmu suram begitu?" tanya Mutia mengamati wajah sahabatnya yang terlihat buruk.

Mutia tersenyum kecil namun kedua matanya tampak berkaca-kaca. Uni yang menyadari keadaan Mutia tidak baik-baik saja lantas merengkuhnya dan membawanya masuk ke dalam toko. Mereka duduk berhadapan, menunggu Mutia membuka suara.

"Apa yang terjadi? Kamu bertengkar dengan Bang Doni?"

Mutia terdiam. Kata bertengkar seketika memenuhi kepala Mutia, membuat gadis itu merasa sedikit pening. Lagi-lagi Mutia tidak ingin mambayangkan hal buruk itu terjadi.

Dengan sekuat tenaga, akhirnya Mutia menceritakan semua peristiwa yang terjadi dengan menahan air mata. Tekadnya sudah bulat, bahwa semua keputusan ini tidak boleh diiringi air mata.

Uni iba, gadis itu terlihat berkaca-kaca mendengar perkataan Mutia. Ia memeluk Mutia sembari menenangkan gadis itu.

"Mutia-ku yang malang, kamu yang sabar ya. Semoga Bang Doni memahami posisimu," ujarnya melepas pelukan gadis di depannya.

Sorenya Mutia bertemu dengan Doni setelah mengirimkan pesan bahwa ia akan memberinya jawaban atas lamaran lelaki itu.

Doni menjemput Mutia dengan wajah sumringah dan gugup. Ia senang bahwa gadis pujaan hatinya akan memberikan jawaban. Harapannya adalah ia bisa diterima sebagai calon suami Mutia. Di sisi lain, ia juga sangat gugup mendengarnya. Doni sangat takut kemungkinan buruk yang akan terjadi. Namun, ia sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin agar tidak mengecewakan Mutia apapun jawaban yang gadis itu katakan kepadanya.

Mutia duduk di hadapan Doni dengan resah. Entah dari mana ia akan memulai, namun lelaki itu menyuruhnya untuk tenang dan tidak mengkhawatirkan apapun. Doni juga memesankan minuman dingin untuk membuat Mutia rileks.

"Bang, sebelumnya aku minta maaf karena tidak bisa menjawab lamaranmu secara langsung. Aku sudah berpikir keras tentang hal itu dan hasilnya aku sungguh minta maaf."

Doni mengembuskan napas kecewa. Dia sudah tahu apa jawabannya.

"Apa kamu tidak suka kepadaku?"

"Bukan. Aku mau jadi istri Bang Doni, tetapi–," Mutia menggantingkan ucapannya, pandangannya menerawang. "Bapak tidak setuju, Bang."

Deg! Jantung Doni terasa meledak membuat kepala pening akan amarah. Ia mengepalkan tangannya kuat, menahan emosi yang sudah menguasainya, ia sedikit terengah. Perlahan, napasnya kembali normal, dengan senyum yang terpaksa akhirnya Doni menerima keputusan tersebut.

"Apa Bapakmu tidak bisa dibujuk? Apa alasannya?"

Mutia menggeleng. "Tidak ada yang bisa membujuk Bapak, Bang. Bapak hanya tidak mau Bang Doni terbebani dengan menikahiku, apalagi Abang adalah orang yang membantu keluarga kami. Bapak hanya tidak mau berutang budi lebih banyak kepadamu, Bang."

Doni menunduk. Lidahnya kelu untuk menyangkalnya meskipun di dalam kepalanya ada banyak macam seribu alasan yang menurutnya bisa diterima.

"Aku sungguh minta maaf, Bang. Aku yakin di luar sana Abang akan dapat jodoh yang lebih baik dariku. Dan ada satu hal yang ingin kusampaikan kepadamu," ujar Mutia lirih.

"Bapak sudah mencarikan calon suami untukku, Bang."

Bisakah Mutia tidak mengatakannya saat ini? Penolakan atas lamarannya saja sudah sangat menyakitkan, apalagi ditambah dengan kabar buruk tersebut. Rasanya Doni sudah tidak kuasa lagi menahan air matanya. Air mata yang telah ditahannya mati-matian pun tumbah. Doni terisak dalam tangisnya.

Mutia hanya diam memerhatikan lelaki itu. Dia ingin merengkuh tubuh Doni dan membawanya dalam pelukan, namun ia justru akan semakin melukai lelaki itu.

"Maafkan aku, Bang Doni."

Mutia pun menangis.

Hari ini adalah hari patah hati terbesar untuk dua insan tersebut. Cinta yang terhalang restu membuat keduanya lemah. Terpaksa mereka pun harus menguburkan rasa yang tersimpan di hati dalam kenangan pahit ini.

Cukup lama mereka menangis dan sibuk dengan pikiran yang kacau, akhirnya tangis Doni berhenti. Dia mengusap air matanya kasar dan menatap wajah gadisnya yang tidak kalah berantakan darinya. Mata yang sebelumnya sembab kini bertambah bengkak. Doni hanya bisa menyerahkan selembar tissue kepada gadis itu agar menyeka air matanya.

"Sudah, tidak apa-apa. Ini adalah konsekuensi yang harus kuterima, Mut. Di balik keputusan ayahmu, mungkin ada kebahagian untukmu kelak. Aku ikhlas meski tidak mudah melupakanmu. Namun, jangan salahkan aku bila aku tidak bisa berpaling darimu. Kamu, berbahagialah dengan calon suamimu ya? Katakan padanya, jika kamu melukainya maka aku tidak akan segan merebutmu darinya."

Mutia kembali menangis. Betapa menyesakkan dada melihat lelaki yang dicintainya berucap demikian.

"Mari kita pulang, sebentar lagi akan magrib. Aku tidak mau mengecewakan ayah dan ibumu dengan membawamu pergi berlama-lama."

Doni mengulurkan tangannya pada Mutia yang langsung ia terima. Lelaki itu menggenggam tangan gadisnya erat, genggaman tangan untuk kali pertama dan terakhir sebelum Mutia menjadi milik orang lain.

Bersambung ...