webnovel

Black Rose

Berawal dari surat ancaman tanpa pengirim, Soojung terpaksa harus menjalin hubungan pura-pura dengan Jimin yang ternyata adalah seorang vampir. Namun, apa yang ada di balik surat tersebut perlahan mulai menghancurkan keyakinannya. Ia tidak tahu, siapa kawan yang harus diwaspadai, atau lawan yang harus dipercaya. Semua seolah sama saja. Bahkan dia juga tidak tahu, kepada siapa kesetiaannya harus diberikan. Kaum kekasihnya, ataukah organisasi sahabatnya?

Astralian · Fantasy
Not enough ratings
31 Chs

Memory

Pintu kamar Soojung tiba-tiba terbuka, membuyarkan pemikiran sang pemilik kamar yang serumit benang kusut. "Soojung-ah, syukurlah kau sudah sadar!" kata Inbi sambil menerjang sahabatnya. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya setelah melepas pelukan.

Soojung tersenyum, "Aku baik-baik saja."

"Oh syukurlah, Tuhan!" ucap Inbi dengan lega yang kemudian duduk di sisi ranjang. "Kau tau, aku langsung panik saat Jimin datang dengan dirimu yang pingsan dalam gendongannya. Aku bertanya apa yang terjadi, dan bagaimana bisa kau sampai seperti ini. Dia bilang kau terlalu panik karena terjebak di dalam lift," gadis ikal tersebut memulai cerita.

"Aku mengomel sambil memukulinya, kenapa ia malah membawamu pulang dan bukannya ke rumah sakit. Dia bilang bahwa dia sempat ke rumah sakit dan dokter bilang kau tidak perlu dirawat inap," lanjut Inbi dengan omelan panjangnya. Senyum Soojung semakin mengembang mendengar celotehan sahabatnya. Inbi terdengar konyol sekaligus khawatir di saat bersamaan.

"Kemudian kekasihmu itu malah buru-buru pergi setelah membaringkanmu di sini. Hah! Lelaki macam apa yang tidak menemani kekasihnya dalam keadaan seperti ini?" sambung si gadis Choi dengan kesal.

"Inbi, kami hanya pura-pura," Soojung mengingatkan.

"Pura-pura berpacaran. Itu sama saja!" jawab Inbi yang masih kesal.

Soojung memutar bola matanya jengah, "Tentu saja berbeda."

"Namun dia yang membuatmu terjebak di dalam lift sendirian, bukan? Jadi tetap saja ini semua salahnya! Dan seharusnya dia bertanggung jawab dengan menemanimu di sini!" Inbi terus saja mengomel dengan kesal.

Soojung menghela napas panjang. "Terserah kau saja," katanya, lebih memilih mengalah. Karena memang tidak akan ada habis-habisnya jika berdebat dengan sahabatnya ini. "Kau tidak pergi kuliah?" tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Bagaimana mungkin aku kuliah sedangkan kau di sini sendirian dan belum sadar, Soojung? Kau pikir aku tega meninggalkanmu dalam keadaan seperti itu?" Inbi malah kembali mengomel.

"Oh kau baik sekali, Inbi. Terima kasih telah mengurusku," rayu Soojung sambil merengkuh tubuh sahabatnya.

Inbi balas memeluk teman dekatnya sambil tersenyum. Seolah kekesalannya menguap hanya oleh ucapan terima kasih Soojung, "Kau tidak perlu berterima kasih."

Setelah menepuk punggung Soojung dengan sayang, Inbi melepas pelukan, "Kau ingin makan? Aku sudah memasakkanmu sup ayam."

Soojung segera mengangguk antusias, "Aku sangat lapar!"

🌹 Black Rose 🌹

Sore itu, bel rumah tiba-tiba berbunyi. Inbi yang sedang memasak makan malam pun mengernyit heran. Mungkinkah ada pelanggan yang ingin mengambil pesanan buket bunga, mengingat toko bunga Soojung tutup hari ini? Ataukah orang-orang dari JS Agency yang datang untuk menjenguk Soojung?

Penasaran, Inbi segera beranjak untuk membuka pintu rumah. Karena ia tidak mau mengganggu Soojung yang sedang istirahat. Meskipun tidak mengatakannya, tapi Inbi mengerti bahwa sahabatnya pasti membutuhkan waktu untuk pemulihan diri.

Rumah Soojung ini memang terhubung dengan toko bunganya. Namun tetap memiliki pintu rumah yang terletak lebih ke dalam karena terdapat taman kecil di depannya. Toko bunga, ruang tengah, dan dapur berada di lantai bawah. Sedangkan kamar Soojung ada di lantai atas.

"Ya?" ujar Inbi saat membuka pintu. Mata sipitnya menemukan Park Jimin yang telah berdiri di sana dengan senyum tampan menghiasi wajahnya.

"Selamat ma-"

belum selesai pemuda tersebut menyelesaikan sapaannya, Inbi sudah berseru. "Apa maumu?" potongnya dengan galak. "Kau bahkan tidak menemani Soojung. Dasar tidak bertanggung jawab!"

Senyum Jimin seketika hilang. "Aku sudah membawanya ke rumah sakit dan mengantarnya pulang dengan selamat. Dan kau bilang aku tidak bertanggung jawab? Lagi pula sudah kukatakan semalam, bahwa ada hal yang harus aku lakukan!" jawab Jimin dengan rahang mengeras, jelas-jelas marah.

"Tetap saja kau-" kali ini ucapan Inbi yang terinterupsi.

"Inbi!" seru Soojung yang telah berdiri di undakan terakhir tangga. Mendengar suara sang pemilik rumah, kedua orang yang sedang beradu mulut itu segera menoleh.

"Soojung-ah, kenapa kau turun?" tanya Inbi yang langsung menghampiri sahabatnya dengan khawatir.

"Aku tidak apa-apa, Inbi," sahut Soojung sambil tersenyum meyakinkan. Meskipun begitu, Inbi terlihat akan membantah. Namun ia urungkan saat Soojung langsung menggeleng. "Aku ingin berbicara dengan Jimin," ujar si gadis model sambil melirik lelaki yang dimaksud.

Gadis yang lebih pendek pun mengikuti arah pandang sahabatnya. "Baiklah," ia memutuskan untuk mengalah meskipun dengan berat hati. "Aku akan menyiapkan makan malam," lanjut Inbi dengan tatapan tajam pada Jimin. Pura-pura tidak melihat, Soojung mengangguk disertai senyuman. Kemudian Inbi pun pergi ke dapur, meninggalkan 'sepasang kekasih' di sana.

Sepeninggal Inbi, Soojung segera mempersilakan Jimin yang masih berada di ambang pintu untuk masuk. Mereka berdua pun duduk bersama di sofa ruang tengah. Pria bermarga Park itu terlihat mengamati interior rumah Soojung dengan penuh minat.

Kemudian perhatiannya teralih saat Soojung mengucapkan namanya dengan gugup. Membuatnya merasa heran sekaligus penasaran. Apa gerangan yang membuat gadis tersebut tidak langsung memarahinya? Padahal Jimin sudah mempersiapkan hati dan mentalnya untuk menerima serangan kemarahan Soojung. "Ya?"

"Ada yang ingin kutanyakan," kata Soojung dengan pandangan yang tidak fokus, seperti bimbang dengan kata-katanya sendiri.

Dengan sabar, si pria bersurai hitam kelam mengangguk. Padahal sabar adalah sesuatu yang jarang sekali Jimin rasakan, "Katakan saja!"

Akhirnya Soojung mengangkat wajahnya hingga bertemu pandang dengan 'lelakinya'. "Siapa kau sebenarnya, Park Jimin? Kenapa kau bisa berteleportasi?" tanyanya dengan polos. Meskipun terdengar penasaran, tapi kebimbangan juga menyusup ke dalam suaranya.

Pertanyaan itu bagaikan sambaran petirnya sendiri bagi Jimin. Sial! Kenapa dia ingat? batinnya. Berusaha mengatur ekspresi, lelaki Park tersebut mengedip-ngedipkan matanya, seolah bingung dengan pertanyaan Soojung. "Teleportasi? Apa maksudmu?" tanyanya berpura-pura bingung.

"Aku memang tidak mengingatnya dengan jelas, tapi aku merasa bahwa aku melihatmu di dalam lift saat hampir pingsan. Kemudian kau menggendongku dan tiba-tiba kita berada di basement," jawab Soojung dengan jujur. "Bukankah itu sangat aneh?"

Jimin tertawa hambar mendengarnya, "Ya, sangat! Kau pikir kita melakukan teleportasi?" Ia kembali tertawa, "Kau sangat lucu, Baek Soojung!"

Soojung terbengong ditertawakan seperti itu. "Yaaa! Aku serius!" pekiknya dengan jengkel.

"Aku juga serius!" sahut Jimin setelah berdeham untuk menghentikan tawanya. "Sepertinya kau yang sedang bercanda. Karena sangat tidak mungkin aku membawamu berteleportasi," bohongnya. "Kau pikir aku ini manusia super?" tanyanya dengan senyum jahil.

Soojung hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Karena ia sendiri pun sebenarnya tidak yakin dengan ingatannya. Melihat gadis di depannya yang bimbang, Jimin menggenggam tangan Soojung yang berada di pangkuannya. "Aku sama sepertimu, Soojung-ah. Manusia biasa. Bukan super hero atau apa pun itu," katanya, berusaha meyakinkan dengan kebohongan.

"Mungkin apa yang kau ingat, sebenarnya adalah apa yang kau harapkan," lanjut Jimin disertai senyum menggoda. Sebenarnya dia hanya ingin memberikan penjelasan yang masuk akal sekaligus mengalihkan pembicaraan yang terlalu sensitif tentang identitasnya. Namun ia malah menggoda kekasih pura-puranya tersebut.

Soojung langsung membulatkan matanya. Dia merasa seperti seorang remaja yang ketahuan telah berharap berlebihan. "Kau terlalu percaya diri, Park Jimin-ssi!" katanya yang kemudian mendengus sambil membuang muka.

Jimin terkekeh menanggapinya. Sepertinya ia berhasil menggoda pacar pura-puranya. Soojung sebenarnya masih malu dan terlalu gengsi untuk menatap Jimin. Namun rasa penasarannya ternyata terlalu besar. "Jika ingatanku salah, lalu apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya tanpa menatap Jimin.

Sang vampir tiba-tiba berubah serius, "Ketika aku sedang berbicara dengan Seokjin Hyung, tiba-tiba salah seorang pegawainya mendapat telepon yang mengatakan bahwa lift yang kau tumpangi jatuh dari lantai 3. Mereka juga mengatakan bahwa ada seorang gadis yang terjebak di dalamnya. Jadi, aku langsung turun menggunakan lift pegawai."

"Dan saat aku sampai di basement, kau baru saja dimasukkan ke dalam ambulans. Aku mengikutimu ke rumah sakit. Namun setelah mendapat penanganan, dokter bilang kau tidak perlu dirawat inap. Jadi aku membawamu pulang," jelas Jimin dengan kebohongan yang sangat lancar keluar dari mulutnya.

Dahi Soojung mengerut setelah menyimak cerita Jimin, "Jadi, lift itu jatuh dari lantai 3?" Soojung terlihat termenung sejenak, "Aku ingat dengan jelas, memang ada yang aneh saat berada di lantai 4. Liftnya macet dan lampunya mati."

Raut wajah Jimin berubah muram, "Kupikir memang ada yang sengaja merusak lift itu."

Mata bulat Soojung semakin membulat mendengarnya. "Apa?!" pekiknya. Entah kenapa, jantungnya tiba-tiba berpacu karena adrenalin.

"Setelah membawamu pulang, aku pergi kembali ke sana untuk menyelidikinya. Maka dari itu aku tidak bisa menemanimu. Maaf," sesal Jimin. Tangannya semakin erat menggenggam tangan mungil Soojung.

Tidak keberatan, Soojung menggeleng dengan senyum tipis. "Tidak apa-apa, Inbi merawatku. Lalu apa yang kau dapatkan?"

"Bahwa ada yang sengaja memotong tali bajanya," jawab Jimin dengan suram.

Si gadis bermata bulat tertegun, "Siapa pun istrimu ini, dia tahu bahwa kita sedang berkencan. Dan dia tidak main-main dengan ancamannya." Tanpa sadar tangan Soojung terkepal dalam genggaman Jimin. "Dia benar-benar ingin membuatku menderita," imbuhnya dengan marah.

Jimin menghela napas panjang, "Kupikir pelakunya adalah seseorang yang kukenal. Sayangnya aku tidak menemukan siapa pun wanita yang kukenal di sana."

Soojung kembali menatap Jimin, "Mungkin istrimu menyuruh orang lain."

Si lelaki bersurai hitam mengangguk setuju, "Mungkin." Kemudian penyesalan kembali mewarnai wajah tampan Jimin, "Maaf. Harusnya aku tidak menyuruhmu pergi ke basement terlebih dahulu."

Soojung langsung menggeleng, "Jika kita pergi bersama, maka kita akan sama-sama terjebak di dalam lift. Untung saja hanya aku. Jadi, kau bisa menyelamatkanku," katanya, teringat kesepakatan yang sudah mereka buat kemarin.

Namun ternyata Jimin masih saja merasa bersalah. Bagaimanapun juga, nyawa Soojung terancam karena keteledorannya, "Namun aku tidak ada di sampingmu untuk melindungimu, Soojung-ah."

Si manusia tersenyum tulus. Senyuman tulus pertama yang ia berikan pada Jimin. "Tidak apa-apa Jimin-ssi. Kau pun pasti tidak tahu bahwa ancaman itu akan datang secepat ini," hiburnya.

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian lagi," janji si pria. Ibu jarinya perlahan mengusap tangan yang lebih kecil, menunjukkan kesungguhannya. Dan Soojung hanya bisa mengangguk tanpa penolakan.

Sejujurnya gadis tersebut merasa aneh dengan sikap Jimin yang seperti ini. Ke mana Park Jimin yang dingin dan datar kemarin? Apakah dia berubah karena merasa bersalah?

Oh, tapi tunggu. Sejak mereka sepakat untuk menangkap si pengirim surat bersama, Jimin memang mulai berubah. Dia seperti memperlakukan Soojung dengan lembut dan istimewa. Atau hanya dirinya saja yang terlalu percaya diri?

"Hei!" seru Jimin sambil melambaikan tangannya di depan wajah Soojung. Gadis itu otomatis mengerjap kaget. Jimin langsung terkekeh geli melihatnya. "Kau melamun! Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan menjagamu."

Malu karena ketahuan sedang melamun, Soojung mendengus. "Aku tahu," katanya dengan ketus.

Jimin tersenyum, "Sepertinya kau masih butuh istirahat. Tidurlah!" kemudian pemuda tersebut mengecup dahi Soojung dengan lembut.

Tentu saja Gadis Baek itu terbelalak. Ia sungguh tidak menyangka akan mendapat kecupan ringan di dahinya. "Yaaa! Apa yang kau lakukan?!" pekiknya dengan pipi yang telah merona.

"Itu latihan. Lagi pula kau harus terbiasa," Jimin membela diri. "Sekaligus balasan atas kecupanmu kemarin," sambungnya sambil mati-matian menahan tawa. Sepertinya ia senang sekali menggoda gadis di sampingnya ini.

Bibir Gadis itu sudah terbuka untuk melayangkan protes. Namun Jimin lebih dulu menyela, "Semoga besok kau merasa lebih baik." Setelah bangkit, ia pun meletakkan keranjang buah di pangkuan 'gadisnya'. Dengan gemas, Jimin mengusak pucuk kepala Soojung, kemudian beranjak pergi.

"Terima kasih," gumam Soojung yang wajahnya sudah seperti tomat matang. Tanpa menoleh, Jimin tersenyum. Telinganya cukup tajam untuk menangkap gumaman lirih tersebut. Namun ia lebih memilih untuk pura-pura tidak mendengarnya, bahkan sama sekali tidak berniat untuk menjawab.

To be continued...

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

Astraliancreators' thoughts