webnovel

BETTER WITH YOU

"Apakah akan lebih baik jika kamu masih di sini dengan sejuta kejahilan dan sikapmu yang menyebalkan daripada seperti ini, Ju." Dia Jessica Stefany Auryn. Hidupnya berubah sejak insiden tiga tahu yang lalu, sosok periang dalam diri Jessica seolah ikut hanyut dalam ombak hari itu, dan karena insiden itu ia telah kehilangan getaran dalam hatinya pada sosok yang disebut laki-laki sejak usia 20 tahun saat ia kehilangan cahayanya. Jessica kehilangan teramat kehilangan, hatinya patah saat sedang berada dipuncak kasmaran membuat hingga akhirnya hati Jessica membeku, tertutup dari semua dan tidak mengizinkan satupun pria bisa mendekatinya. Cahaya yang menyinari dunianya telah pergi membawa hati, perasaan dan separuh nyawanya menyisakan sesak, tangis, hampa dan gelap di dunianya. Tapi, takdir seolah tak ingin membuatnya bersedih terlalu lama. Di saat hatinya sedang hancur, tak sengaja Jessica bertemu dengan cahaya yang sama persis dengan cahayanya yang telah hilang. Juan, laki-laki yang ternyata adalah produser eksekutif setiap karyanya membuat Jessica terkesiap dengan takdir yang ada padanya. Juan terlalu mirip dengan cahaya yang membuat Jessica selalu bingung, bimbang, kecewa, marah, cemburu dan bahagia bersamaan. Awalnya, Jessica mendekati Juan karena percaya dia adalah orang yang sama dengan masalalu Jessica yang membuat perasaan dan getaran itu perlahan kembali tapi keadaannya berbeda. Tapi, Juan menyakinkan kalau dia bukanlah masalalu Jessica dan Saat Jessica mencoba pasrah dan tak memperdulikan cahaya itu, cahaya bernama Juan itu mendekatinya. "Setelah flashdisk itu aku dapatkan, aku tidak akan mengganggumu lagi, Jess." Entah apa maksud dari ucapan Juan saat itu, tapi setidaknya beberapa bulan terakhir ia dekat dengan wanita cantik yang menganggapnya istimewa itu. Lalu, bagaimana bahagia akan terwujud jika cahaya itu tak benar-benar menganggapnya berarti, karena Juan ternyata memiliki niat lain?

Itsme_Abigel · Urban
Not enough ratings
22 Chs

Menuju Caffe!

Michele dan Kevin berjalan beriringan menuju parkiran, mereka melangkah dengan santai. Lalu saat sudah dekat dengan parkiran tiba-tiba saja Michele bertanya. "Aku nggak yakin kamu beneran dipanggil kantor?" kata Michele tiba-tiba sambil menolehkan kepalanya pada Kevin.

Kevin dengan acuh menganggukkan kepalanya. Ia memencet kunci mobil yang otomatis itu."Tentu saja, Kak Ju memanggilku!" ujar Kevin lalu membukakan pintu untuk Michele.

"Sudah ku duga!" kata Michele. "Juan menyuruhmu datang ke cafe sekarang?" tebak Michele sambil memasang seatbeltnya.

"Iya! Aku yakin banget dia sekarang pasti lagi gelisah nunggu Ka Jess buat datang!" ujar Kevin mulai menyalakan mobilnya dan melajukan mobilnya menjauh dari kantor.

Kevin melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, ia tidak ingin terlambat sampai di sana karena Juan pasti tidak akan suka.

"Vin, apa kamu serius? Tentang Juan benar-benar Justin?" celetuk Michele tiba-tiba bertanya.

Michele menoleh pada Kevin dengan tatapan yang sulit diartikan. Tatapan itu seperti tatapan menuntut, entah kenapa karena memikirkan Jessica... Michele jadi memiliki keyakinan yang sama dengan wanita itu.

Kevin menoleh dengan tenang, tak ada gurat panik, gelisah atau apapun itu yang seharusnya menggambarkan perasaannya saat mendengar pertanyaan dari Michele.

"Kenapa lo nanya kaya gitu?" tanya Kevin santai.

Michele menghendikkan bahunya. "Entahlah, Jujur aku masih ragu, tapi sejak awal aku juga punya keyakinan kalau Juan adalah Justin," ujar Michele kembali menoleh pada Kevin. "Tapi sekarang aku jadi kasian sama Jessica!"

Michele menghela nafasnya, ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil, menatap jalanan kota yang ramai dengan mobil-mobil pribadi.

"Kamu tahu, Vin! Setelah kepergian Justin, aku bahkan nggak sanggup ada di samping Jessica karena setiap hari, setiap waktu, setiap dia sendiri ... air matanya nggak pernah berhenti mengalir, kecuali dia punya kerjaan yang mengharuskan dia menyembunyikan semuanya dibalik senyum palsunya!"

"Iya, aku tahu ... aku juga ada bersama kakak ipar beberapa tahun terakhir jadi aku paham betul apa yang ia rasakan."

Michele menoleh dengan tatapan yang sulit diartikan. "Tapi, Kenapa Justin tak muncul sebagai Justin di depan Jessica? Dan kenapa Justin bersikap seolah-olah ia tidak mengenal Jessica?" tanya Michele dengan perasaan tak terima.

Kevin melirik pada Michele, ia bisa melihat dengan jelas rasa penasaran yang tergambar di wajah Jessica.

"Terkadang, sebuah alasan akan terdengar klasik jika kita tidak ada diposisi itu...," ucap Kevin tak menjawab pertanyaan Michele.

"Maksudnya?" tanya Michele mengubah posisinya duduknya menghadap pada Kevin.

Lagi, Kevin melirik pada wanita di sampingnya itu. Wanita yang mencuri hatinya sejak pertemuan pertama itu.

Kevin menghela nafas lalu berkata,"Jika aku memberitahumu alasannya, aku yakin kamu akan mengatakan alasan itu sangat klasik dan tidak masuk akal."

"Tidak juga," kilah Michele. "Memangnya apa?"

Kevin menggeleng. "Tidak, aku tidak bisa memberitahumu sekarang... Biarkan semua berjalan seperti ini dan nanti kamu akan tahu dengan sendirinya apa alasan dibalik semua ini."

"Menyebalkan!" protes Michele sambil mencubit lengan Kevin kesal.

"Awwww...." Kevin meringis. "Sakit, sakit ...," keluh Kevin mencoba melepaskan tangan Michele dari lengannya.

"Rasakan!" ketus Michele lalu mengembalikan posisi duduknya seperti semula. "Siapa suruh kamu menyembunyikannya sesuatu dariku, dasar!"

Michele kesal karena Kevin memilih untuk tidak memberitahu dirinya apa yang sebenarnya terjadi. Ia sungguh-sungguh penasaran dengan alasan dari laki-laki bernama Justin itu tentang kenapa dirinya bisa setega itu membuat Jessica bertahan dalam sakit dan perihnya kenyataan.

Kevin melirik pada Michele dengan seburat senyum tipis di ujung bibirnya. Gemas, melihat ekspresi wajah Michele yang sedang kesal.

"Jangan lihat-lihat! Aku kesal denganmu!" ujar Michele mengalihkan pandangannya.

"Yakin, bisa kesal lama-lama denganku?" tanya Kevin dengan suara meledek.

"Menyebalkan!" ketus Michele melirik sinis.

***

Di sisi lain, Jessica sedang bercermin pada sebuah cermin panjang yang sengaja diletakkan di ruangannya. Wanita dibalut dress pink selutut dengan heels berwarna hitam dan rambutnya yang di gerai panjang itu terlihat begitu cantik tapi entah kenapa raut wajah tak sebahagia itu.

Nampak, Jessica menghembuskan nafas panjang, ia sesekali mencoba tersenyum meskipun senyumnya terlihat seperti dipaksakan.

"It's okay, Jess ...," gumam Jessica pada dirinya sendiri. "Setidaknya dengan cara ini aku bisa membahagiakan mereka yang selalu berusaha membuat aku tersenyum!"

Jessica mencoba meyakinkan dirinya untuk melakukan hal ini meskipun jelas sulit baginya yang belum bisa melupakan laki-laki dari masa lalunya itu.

"Smile, Jess ... Smile!"

Setelah itu, Jessica meraih ponselnya. Ia membuka aplikasi taksi online lalu memesan sebuah taksi untuk ia pergi ke cafe Starlight pertemuannya dengan saudara Kevin itu di atur.

Iya, Jessica memutuskan pergi tanpa membawa mobilnya karena Kevin dan Michelle sudah memperingati dirinya untuk tidak membawa mobilnya dengan alasan Michelle ingin meminjam mobilnya.

"Mending aku berangkat sekarang, sudah jam segini juga," gumam Jessica lalu mengambil tas di atas meja dan pergi dari ruangannya menuju lobby.

Sesampainya di lobby, ternyata mobil yang ia pesan sudah berada di sana dan menunggunya. "Atas nama Mbak Jess, ya?"

Jessica mengangguk ramah lalu masuk ke dalam taksi pesanannya. "Sesuai aplikasi ya, Pak!"

"Baik, Mbak!"

Sepanjang perjalanan, Jessica menatap keluar jendela taksi. Pikirannya berkelana entah kemana, tatapan terlihat kosong. "Ya Tuhan, apa aku bisa memulai lagi sesuatu yang baru setelah semua yang terjadi?"

Jessica mengusap air mata yang tak sengaja menetes, membasahi pipinya begitu saja.

"Ju, sejujurnya aku masih ingin kamu kembali ... bahkan aku sangat mengharapkan kamu kembali! Kamu tahu kan, aku masih sangat yakin kalau kamu masih hidup!"

****

Sementara itu, Kevin dan Michelle sudah tiba di cafe yang dimaksud. Kevin dan Michelle pun langsung memarkirkan mobil dan bersiap menghampiri Juan, namun raut wajah Kevin, entah kenapa seperti sedang gelisah.

Bagaimana tidak? Ia membawa Michelle yang seharusnya tidak tahu semua ini sebelum waktunya, tapi entah kenapa ia tidak bisa menyembunyikan hal itu dari Michelle.

'Semoga ka Juan tidak marah besar,' batin Kevin sebelum mereka turun dari mobil.

"Chel, apapun nanti ... Jangan bertanya apapun pada kak Juan sebelum aku menjelaskan kenapa kamu bisa tahu kalau dia adalah Justin!"

Michelle yang tadinya sudah siap untuk turun, mengurungkan niatnya dan menoleh pada Kevin.

"Kenapa?"

"Nanti aku beritahu, tapi yang jelas menurutlah dengan kata-kataku sekali ini saja," ujar Kevin.

Michelle pun menghela nafas dan langsung menganggukkan kepalanya.

"Baiklah," ujar Michelle.

Mendengar jawaban Michelle, Kevin entah sadar atau tidak, ia refleks mengacak-acak kepala Michelle dan membuat pemilik kepala itu terdiam kaku.

'Jantungku!' batin Michelle merasakan jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.

Sementara itu, butuh waktu lebih dari dua menit untuk Kevin menyadari sikapnya dan langsung melepaskan tangannya dari kepala Michelle sambil berkata,"Maaf, refleks."

Michelle menghela nafas lega, ia menoleh dengan tatapan canggung. "Iya, nggak apa-apa," jawab Michelle. "Ya udah, kita turun yuk! Kasian Juan nunggu kita kelamaan nanti," lanjut Michelle mencoba mengalihkan perhatian.

***

Bersambung ...