webnovel

BETTER WITH YOU

"Apakah akan lebih baik jika kamu masih di sini dengan sejuta kejahilan dan sikapmu yang menyebalkan daripada seperti ini, Ju." Dia Jessica Stefany Auryn. Hidupnya berubah sejak insiden tiga tahu yang lalu, sosok periang dalam diri Jessica seolah ikut hanyut dalam ombak hari itu, dan karena insiden itu ia telah kehilangan getaran dalam hatinya pada sosok yang disebut laki-laki sejak usia 20 tahun saat ia kehilangan cahayanya. Jessica kehilangan teramat kehilangan, hatinya patah saat sedang berada dipuncak kasmaran membuat hingga akhirnya hati Jessica membeku, tertutup dari semua dan tidak mengizinkan satupun pria bisa mendekatinya. Cahaya yang menyinari dunianya telah pergi membawa hati, perasaan dan separuh nyawanya menyisakan sesak, tangis, hampa dan gelap di dunianya. Tapi, takdir seolah tak ingin membuatnya bersedih terlalu lama. Di saat hatinya sedang hancur, tak sengaja Jessica bertemu dengan cahaya yang sama persis dengan cahayanya yang telah hilang. Juan, laki-laki yang ternyata adalah produser eksekutif setiap karyanya membuat Jessica terkesiap dengan takdir yang ada padanya. Juan terlalu mirip dengan cahaya yang membuat Jessica selalu bingung, bimbang, kecewa, marah, cemburu dan bahagia bersamaan. Awalnya, Jessica mendekati Juan karena percaya dia adalah orang yang sama dengan masalalu Jessica yang membuat perasaan dan getaran itu perlahan kembali tapi keadaannya berbeda. Tapi, Juan menyakinkan kalau dia bukanlah masalalu Jessica dan Saat Jessica mencoba pasrah dan tak memperdulikan cahaya itu, cahaya bernama Juan itu mendekatinya. "Setelah flashdisk itu aku dapatkan, aku tidak akan mengganggumu lagi, Jess." Entah apa maksud dari ucapan Juan saat itu, tapi setidaknya beberapa bulan terakhir ia dekat dengan wanita cantik yang menganggapnya istimewa itu. Lalu, bagaimana bahagia akan terwujud jika cahaya itu tak benar-benar menganggapnya berarti, karena Juan ternyata memiliki niat lain?

Itsme_Abigel · Urban
Not enough ratings
22 Chs

Beberapa Menit Sebelumnya ..

"Siapa yang sebenarnya ingin mereka perkenalkan padaku? Kenapa ngotot sekali ingin aku bertemu dengan laki-laki itu?" gumam Jessica pelan ketika pikirannya tiba-tiba teringat pada Michelle dan Kevin yang bertingkah sangat aneh.

Perjalanan menuju caffe yang dituju terasa sangat lama karena jalanan cukup macet di saat jam makan siang.

"Mbak, mbaknya buru-buru nggak ya? Soalnya depan macet, kayanya ada yang kecelakaan," ujar supir taksi dengan suara yang terdengar medok.

Jessica melihat mengalihkan pandangannya pada supir taksi sambil tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya. "Tidak, Pak... Santai saja," ucap Jessica dengan ramah.

Lagipula Jessica juga tidak mungkin memaksa untuk buru-buru jika jalanan mendadak macet.

Jessica kemudian membuka ponsel yang sejak tadi ada di dalam tasnya karena Jessica bukan tipe orang yang selalu melihat ponselnya apalagi jika sedang dalam perjalanan.

'Pusing!' itulah alasan Jessica ketika ditanya kenapa ia jarang terlihat memainkan ponselnya jika sedang dalam kendaraan.

Jessica terlihat mengotak-atik ponselnya seperti sedang mencari sesuatu. Dari layar ponselnya Jessica ternyata mencari chatnya dengan Michelle, wanita cantik itu pun langsung mengetikkan pesan yang akan ia kirimkan pada Michelle.

'Chel, say sorry to Kevin ... Gue terlambat karena jalanan mendadak macet, katanya sih ada yang kecelakaan!' Send.

Tanpa pikir panjang, Jessica langsung mengirimkan pesan itu pada Michelle dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas tanpa pikir panjang.

***

"Kamu yakin Juan tidak apa-apa jika aku ikut masuk ke dalam?" tanya Michelle yang mendadak ragu untuk menemui Juan.

Kevin melirik pada Michelle lalu ia menganggukkan kepalanya. "Yakin, Tenanglah ... Meskipun Kak Juan tidak selembut Justin, tapi dia pasti akan mendengarkan kita...," ujar Kevin lalu entah ada angin dari mana menggandeng tangan Michelle.

Michelle pun menghela nafas singkat, ia mengangguk lalu mengikuti langkah Kevin dengan perasaan yang masih berdebar karena untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Juan setelah ia tahu laki-laki itu adalah Justin yang telah lama menghilang.

"Disebelah mana?" tanya Michelle.

Kevin menghentikan langkahnya."Kita tanya aja kali ya, aku lupa tanya tadi," ujar Kevin diangguki oleh Michelle.

"Mbak," ujar Michelle menghentikan langkah seorang barista yang tak sengaja lewat di dekat mereka.

"Iya, Mbak, Mas? Ada yang bisa saya bantu?" tanya barista itu ramah.

Michelle mengangguk. "Atas nama Tuan Juan, ada di sebelah mana ya?" tanya Michelle sambil sekilas melirik pada Kevin yang ternyata memperhatikan interaksi dirinya dengan sang barista.

"Oh, Tuan Juan ... Mari saya antar, di lantai dua," jawab Barista itu berjalan mendahului Kevin dan Michelle.

"Terimakasih, Mbak...," ucap Michelle lalu menyusul langkah sang barista diikuti oleh Kevin.

Michelle dan Kevin diantar oleh barista itu sampai di depan sebuah ruangan dan mereka menghentikan langkahnya.

"Tuan Juan ada di dalam," ujar barista itu.

Kevin dan Michelle mengangguk. "Terimakasih, Mbak," seru Michelle lalu barista itu pergi dari hadapan mereka.

Michelle lalu menoleh pada Kevin. Kevin yang seolah paham langsung membuka pintu ruangan itu tanpa mengetuk terlebih dahulu dan masuk ke dalamnya bersamaan dengan Michelle yang mengekor di belakangnya.

"Kak," ujar Kevin pada Juan yang nampak sedang melihat-lihat pemandangan melalui dinding kaca di lantai dua itu.

Juan menoleh, raut wajahnya nampak kaget melihat Kevin datang bersama dengan Michelle. Tatapan tajam butuh penjelasan itu langsung ia tujukan pada Kevin.

"Kenapa dia bisa ikut denganmu, Vin?" tanya Juan dengan nada datar sambil kembali duduk di salah satu kursi.

Kevin menghela nafas, ia mendekat lalu duduk di depan laki-laki bernama asli Justin itu, begitu juga dengan Michelle yang nampak lebih santai daripada sebelumnya.

"Jelas saja aku ikut dengannya, kau belum tahu kalau Jessica setuju bertemu denganmu karena ia mau menjodohkanku dengan Kevin?" celetuk Michelle yang entah kenapa tiba-tiba merasa kesal melihat wajah laki-laki yang menurutnya sangat jahat itu.

Mendengar celetukan Michelle, Juan sontak menoleh pada Kevin dan laki-laki yang dijadikan objek tatapan tajam itu hanya bisa mengangguk pasrah.

"Iya, Kak... Kakak ipar setuju bertemu denganmu hari ini asalkan aku mau mencoba menjalin hubungan dengan Michelle."

"Lalu, Apa dia?"

Kevin mengangguk, ia tahu kemana arah ucapan Juan. "Iya, Kak. Michelle sudah tahu kalau kau dan Justin adalah orang yang sama."

Juan menutup matanya lalu menghela nafas panjang.

"Aku tidak akan mengatakan apapun pada Jessi selama kau sendiri punya niat untuk memberitahukan yang sebenarnya pada Jessi," celetuk Michelle lagi.

Michelle nampak meredam emosi yang sebenarnya ada di lubuk hatinya. Ia marah, kesal karena dugaannya benar kalau Justin memang masih hidup tapi ia juga kecewa karena laki-laki itu tidak pernah menampakkan diri di hadapan Jessi yang sudah hampir kehilangan hidupnya karena terus-menerus terfokus pada sosok Justin.

"Aku sebenarnya ingin sekali mengacak-acak wajahmu sekarang kalau saja aku tidak mengingat sahabatku begitu mencintaimu! Jadi, pikirkan cara untuk mengungkapkan semuanya pada Jessi, Ju! Aku tidak bisa lama-lama menyembunyikan ini semua darinya," lanjut Michelle dengan nada yang kali ini lebih santai dan lembut.

Juan membuka matanya. "Kau belum menjelaskan apapun padanya?" ujar Juan bertanya pada Kevin.

Kevin menggeleng. "Belum, Kak. Michelle hanya tahu kau adalah Justin, hanya itu."

"Tidak perlu menjelaskan apapun padaku, Ju ... cukup lakukan untuk Jessi, karena bagiku yang terpenting adalah perasaan Jessi," ucap Michelle.

Juan menatap mata Michelle. "Kenapa? Kau pasti penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, kan?"

Michelle mengangguk. "Iya, tentu saja! Kau menghilang tiga tahun... Bagaimana bisa aku tidak penasaran apalagi setelah melihatmu masih hidup, lalu mayat yang dikubur tiga tahun lalu?" cetus Michelle, ia melirik jam tangannya. "Tapi untuk sekarang, waktunya tidak akan cukup! Jessica sudah di lobby," ujar Michelle.

Mendengar ucapan Michelle, raut wajah Kevin dan Juan yang tadinya sudah melembut bahkan cenderung seperti bersedih kini berubah drastis menjadi panik.

Terlihat jelas, Juan bangkit dari duduknya lalu membenarkan letak jas yang ia pakai.

"Gimana? Udah rapi?" tanya Juan pada Kevin dan Michelle.

Ke dua orang itu kompak mengangguk. "Udah, kalo gitu kita keluar dulu ya, Kak... Sebelum kakak ipar memergoki kami di sini," ujar Kevin lalu menggandeng tangan Michelle dan setelah Juan mengangguk, mereka keluar dri ruangan VIP yg dipesan Juan untuk menikmati makan siang bersama Jessica.

***

At Lobby ...

Setelah mengirimkan pesan sebagai pemberitahuan pada Michelle kalau dirinya sudah sampai di restoran, kini Jessica berjalan menghampiri seorang barista di depan kasir.

"Permisi, Mbak."

Seorang barista yang ditegur Jessica menoleh dengan senyum manis di bibirnya. "Iya, Mbak ...."

Jessica tersenyum manis. "Saya sudah buat janji tapi...."

"Ah, Mbak Jessica ya?" ucap barista itu seketika.

Jessica tersenyum manis dengan raut wajah yang bingung karena barista itu mengenalinya namun ia tetap menganggukkan kepalanya.

"Mari saya antar, Mbak ...."

***

Bersambung ...