webnovel

episode 9 ~ Uncle Suy?

***

Bunyi detik jam bergema di ruangan kelas saat ini. Ulangan Biologi sudah dimulai sejak lima belas menit lalu. Suasana hening, yang terdengar hanya bunyi detik jam dan suara langkah Pak Gunardi yang berpatroli memantau ketertiban lalu lintas ulangan. Matanya tajam tajam layaknya elang yang mengintai mangsa, satu saja gerakan mencurigakan dari salah satu murid langsung di sergap nya. Namun begitu Ayla, Alita, dan lainya tampak tenang tenang saja. Belajar. Adalah kunci utama dalam dunia persekolahan seperti ini. Dan mereka yang tanpa persiapan akan kelabakan pada waktu waktu seperti ini. Seperti halnya Ifan, AC ruangan seperti tak berpengaruh padanya. Keringat menetes dari dahinya. Matanya melirik ke patroli Gunardi yang sedari tadi pengawasannya seperti terpusat ke baris mejanya.

"Ealah kampret kampret. Itu dari tadi mondar-mandir apa nggak pegel ya?," batin Ifan.

Tidak hanya Ifan, dua orang lagi yang satu genk dengan Ifan yaitu Agung dan Azwan juga menampakkan raut kegelisahan.

Pola tempat duduk sengaja di rubah pak Gunardi ketika ulangan. Hal itu menyulitkan operasi Ifan dan genknya. Biasanya target mereka adalah lima jenius di kelas ini, Ayla, Alan, Alita, Dina, dan Boby yang sialnya saat ini dia tidak berangkat. Biasanya Boby adalah sasaran paling empuk, karena sekali di gertak ia langsung nurut.

"FAN ITU KAN PULPEN AKU. KEMBALIIN!," Yuni berteriak ke Ifan membuat seisi kelas menoleh ke mereka, termasuk pak Gunardi.

Ifan tanpa rasa bersalah menaatap Yuni datar, "Ketika pulpen  jatuh ke lantai. Maka hak kepemilikannya berubah, siapa yang ngambil dia yang punya."

Yuni menatap marah ke Ifan, seisi kelas sudah tahu Yuni terkenal dengan kebuasannya. Yuni bahkan mendapat gelar 'Macan IPA Dua' dari teman temanya.

"HEH SARANG WALET! KEMBALIIN NGGAK." Nada Yuni meninggi, pak Gunardi melangkah mendekati mereka.

"Enggak," ucap Ifan santai

"Dasar kamu ya!." Yuni menggulung buku paket tebal di lokernya. Dan apa yang akan ia lakukan dengan itu semua sudah tahu.

"Heh! Heh! Heh! Ngapain kalian bikin ribut?" Pak Gunardi menghampiri Yuni yang hampir memukul Ifan.

Melihat itu Azwan beraksi, semua sedang teralihkan. Dua kursi di depan Azwan duduk adalah tempat Alan. Hanya Alan seorang yang tetap fokus mengerjakan ulangan di saat seperti ini. Juni yang duduk di antara Azwan dan Alan melihat aksi Alan, namun ia memilih diam tidak mau ikut campur. Tangan Azwan gesit menulis jawaban pilihan ganda Alan di telapak tangannya. Ia lalu menyalinnya di dua kertas kecil.

Ifan melihat Azwan beraksi, pengalihan nya sukses.

"Ini nih Pak. Si Sarang Walet maling pulpen aku!" kata Yuni dengan tatapan tajam tak berpaling dari Ifan.

"FAN!" Pak Gunardi menatap galak ke muridnya yang satu itu.

"Iya tuh pak, si Ifan emang sering maling pulpen di kelas." Lita ikut mengadu.

Bertambah galaklah tatapan Pak Gunardi ke Ifan. Tapi Azwan belum selesai menyalin semua jawaban, pengalihan ini masih harus di lanjutkan. Ayla sama seperti Alan, tetap fokus pada lembar soalnya.

"Ifan nggak maling, tapi nemu!. Ralat." Agung, si cowok dengan rambut berjambul itu ikut angkat bicara.

"Sama saja g*blok! Kalian itu satu genk sama aja. Sama sama nggak jelas," entah kenapa Lita malah ikut tertarik dalam adu mulut ini.

"Nemu sama nyolong itu beda!. Nemu adalah salah satu jalan rezeki dari langit," jelas Agung sambil menunjuk langit.

"JALAN REZEKI PANTAT SETAN! Nggak ada ceritanya kayak gitu!"

Melihat itu Pak Gunardi bertambah kesal, ia menggaruk nggaruk kepalanya yang botak.

"HEH HEH HEH HEH! ITU NGAPAIN DISANA IKUT RIBUT RIBUUT?," teriak Pak Gunardi hingga matanya yang melotot seperti mau keluar.

Sementara itu Yuni masih terlibat adu mulut dengan Ifan yang tetap kekeh tidak mau mengembalikan pulpenya. Agung juga terus memancing mancing Lita.

Dan akhirnya semua pun berhenti ketika Azwan ikut merapat, tidak ada yang mengetahui Azwan diam diam menaruh lipatan kertas kecil di loker dua temannya.

"Ya udah lah. Sesekali aku mau berbuat baik, ini aku bagi satu pulpen aku buat Yuni," ucap Ifan santai, sembari menyerahkan pulpen itu ke Yuni.

"INI EMANG PULPEN AKU!!." Bersama dengan kaki Yuni menendang kuat ke kaki meja Ifan.

Ulangan pun berakhir bersama berakhirnya beberapa pertengkaran kecil di kelas tersebut. Ayla sendiri tidak terlalu mempedulikan nya, hal seperti ini sudah sering terjadi di kelas nya.

Lain dengan Ayla, lain juga dengan Alan. Alan, walaupun sudah sifatnya yang pendiam dan  acuh terhadap sekitarnya. Tapi diamnya ia kali ini, sedikit berbeda. Tidak ada yang tahu selain dirinya, Alan memiliki sensitivitas tinggi terhadap hawa panas di sekitarnya. Hanya Alan seorang di tempat itu, yang dapat merasakan kehadiran sosok lain di luar ruang kelas. Ya benar, wanita berjubah putih itu tengah mengawasi Ayla dan Alan secara sembunyi-sembunyi. Kemampuan mode transparan  itu benar benar berguna, tak satupun mata dapat menangkap kehadirannya.

"Cihh... Tidak ada gunanya mengawasi anak anak ini." Sosok berjubah putih itupun berlalu pergi.

🕓🕓🕟

Sudah lima belas menit berlalu Ayla menunggu Rizal di depan parkiran. Setelah sebelumnya ia mengatakan untuk menunggunya lima menit karena ada urusan dengan Pak Sudi, tapi hingga lima belas menit berlalu tak ada kabar. Ayla berdecak kesal, ia mulai bosan. Ayla pun memutuskan untuk membuka smartphone nya, ia membuka notifikasi dari GC 'Sahabat 1821'. Grup chatt yang membernya teman temannya satu angkatan dari jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Ada satu pesan baru saja masuk, dan Ayla langsung cermat mengulang ulang membaca pesan itu.

From : +628xx-xxxx-xxxx ~Kadalrebus_

"Ibu kota berduka. Hari ini telah berpulang ke rahmat Tuhan yang Maha Esa. Kakek kita, sang legenda bajaj merah. Suyat bin Yadi alias Uncle Suy. ....

"Uncle Suy!"

Ayla terus mencermati nama itu. Pasti hanya namanya saja yang mirip, tidak mungkin, tidak mungkin!. Tidak lama setelah itu grup chatt nya ramai oleh ucapan bela sungkawa, juga di sosial media lainnya. Tidak ada yang tidak mengenal Uncle Suy dengan bajaj merah tuanya. Dada Ayla tiba tiba sesak.

"Jangan jangan?."

Berita yang tersebar di media mengatakan Uncle Suy adalah korban pembacokan kawanan begal yang tengah meresahkan masyarakat. Tiga tusukan di perut, dan satu luka  tebas di leher, adalah bukti keberingasan mereka. Jenazah Uncle Suy di temukan kemarin malam pukul 23.17 WIB di kebun pisang dengan kondisi sudah membusuk. Pak Poniman selaku pemilik kebun pisang menemukan mayat Uncle Suy tertimbun tumpukan daun pisang kering. Setelah bau yang menyengat mulai mengusik rumahnya yang berada di samping kebun pisang tersebut. Awalnya Pak Poniman mengira itu bangkai anjing. Karena baunya begitu menyengat, tidak mungkin kalau cuma bangkai ayam.

Itulah singkat yang di baca Ayla melalui layar smartphonenya, Ayla membungkam mulutnya seakan tidak percaya. Uncle Suy mati! ,air mata Ayla tak tertahankan lagi. Ayla terduduk menyandarkan dirinya di dinding.

"Wah adeknya cantik. Namanya siapa ini?" ,kakek tua itu tersenyum menunjukan gigi giginya yang jumlahnya tinggal sepertiga.

Ayla kecil tidak menanggapi kakek tua itu, ia masih kesal karena sebenarnya ia menolak pindah rumah ke kota. Ia lebih suka alamat lamanya, tapi tetap saja keluarganya harus pindah.

"Namanya Ayla Kek." Rizal. Remaja lima belas tahun itu menjawab Unle Suy sembari tersenyum ramah.

"Wih.. jangan panggil Kek dong bro. Panggil aja Uncle. Uncle Suy!." Kakek tua itu berkata mantap sambil menunjuk dirinya.

"Salam kenal Uncle Suy. Perkenalkan saya Rinna, ini anak anak saya, Rizal dan Ayla." Rinna, wanita berusia tiga puluh lima tahun itu mengulurkan tangan nya.

"Dan itu suami saya, mas Wikatma." Rinna menunjuk Wikatma yang sedang asyik memberi makan burung.

Terlintas di kepala Ayla momen pertama kali mereka bertemu. Selepas pertemuan singkat itu, hubungan keluarga Wikatma dan supir bajaj itu semakin dekat. Keramahtamahan keduanya menjadi alasan kuatnya hubungan kekeluargaan. Sering Uncle Suy diundang ke rumah oleh Wikatma, kadang menemaninya bermain catur, kadang begadang semalaman di depan televisi menyaksikan pertandingan sepak bola. Kedekatan itu membuat Uncle Suy di anggap bagian keluarga oleh keluarga Wikatma.

Bagi Rizal dan Ayla Uncle Suy sudah mereka anggap kakek sendiri. Bahkan saat Rinna meninggal dunia, Uncle Suy lah sosok yang membangunkan Ayla dari keterpurukan.

Hingga tujuh hari lepas kepergian Rinna, Ayla masih mengurung diri dari kamarnya. Menangis. Hanya itu yang ia lakukan.

"Neng Ayla ngapain?" Uncle Suy masuk ke kamar Ayla.

Namun sama sekali ia tidak menanggapi kehadiran pria tua tersebut. Ia memeluk kedua lututnya lututnya, pandangan matanya kosong menatap kedepan.

Pria tua itu tetap melangkah masuk meskipun pemilik ruangan tidak menanggapinya. Ia melangkah menuju jendela kamar, menyibak tirainya membuat cahaya matahari sukses masuk ke kamar. Ayla menatap Uncle Suy, baginya kehadiran Uncle Suy hanyalah mengganggunya. "Pergi!," begitulah maksud tatapan itu.

"Lihat!" Uncle Suy berkata tegas sambil menunjuk langit melalui jendela.

Mata kakek tua itu tajam ke Ayla, ini adalah pertama kalinya bagi Ayla melihat tatapan itu dari seorang Uncle Suy.

"Jauh di atas langit biru itu. Seorang wanita tengah menatap sedih kepada putri nya. "

Uncle Suy menghela napas sedikit dalam, "Neng Ayla mau membuat mama Ayla menangis di atas sana? Melihat putri kebanggaannya larut dalam kesedihan. Neng Ayla!. Di atas sana mama nya eneng masih terus liatin Ayla sama bro Rizal. Ngeliat gimana dua anak kesayangannya ngelanjutin hidup, ngukir masa depan. Bikin mamanya eneng diatas sana bangga! Apa begini nih sikap anak seorang Rinna?"

"Mamanya neng Ayla sekarang disana pasti lagi nangis juga liat neng kayak begini. Uncle juga pernah ngerasain keilangan orang yang disayang. Uncle juga pernah ngerasain sedih nya neng Ayla sekarang. Kematian itu bukan perpisahan, suatu saat nanti kita nih satu semuanya bakal di kumpulin lagi. Nah di pertemuan kekal itu, neng Ayla bisa ceritain semua hal hebat yang Ayla lalui. Ceritain semuanya, mamanya eneng pasti bangga. Maka dari itu neng arus bangkit neng Ayla!"

Ayla masih diam dalam posisinya. Kakek tua itu menatap Ayla sekilas sebelum akhirnya meninggalkan kamar Ayla.

Dan sepuluh menit kemudian setelah satu Minggu mengurung diri ,Ayla akhirnya bangkit melanjutkan harinya.

"Terima kasih kakek.."

Dan sekarang sosok kakek itu juga telah pergi menyusul Rinna. Ayla terdiam menyadari sesuatu.

"Mereka sudah bergerak lagi."

Alan sudah berdiri tak jauh dari Ayla, tatapannya tajam dengan wajah datar.

Ayla tentu saja mengerti siapa yang Alan maksud dengan mereka.

****