webnovel

Episode 10 ~ Kunjungan Malam dan Kesepakatan

Malam ini benar benar sulit sekali bagi Ayla untuk tertidur. Atau memang Ayla sendiri tidak berkeinginan untuk tidur. Entahlah, pikiran Ayla sedang melayang layang saat ini. Tentang apa lagi kalau bukan Uncle Suy.

Sepulang sekolah tadi bersama Rizal juga teman teman lainya. Ayla menyempatkan diri melayat ke pemakaman Uncle Suy. Jenazah Uncle Suy sudah dikebumikan sejak tiga jam sebelumnya, namun gurat kesedihan masih melekat di tempat itu. Wajah wajah yang tertunduk, penghormatan terakhir didepan nisannya. Wajah langitpun juga masih menunjukan kesedihan, awan mendung dengan rintik hujan kecil, seakan langit tak mampu menahan air matanya untuk tidak jatuh. Di bawah gundukan tanah bertabur bunga itulah kakek tua itu terlelap sekarang. Nama di nisannya jelas menyatakan pada mata Ayla bahwa kakek tua itu benar benar telah pergi. Ayla benar benar tidak menyangka, tubuh kakek tua itu sudah terlentang kaku di bawah sana. Kematian memanglah hal wajar dalam setiap yang hidup, apalagi mengingat usia Uncle Suy yang sudah hampir seabad. Tapi semua yang terjadi tentunya memiliki sebuah sebab. Dan tentunya Ayla tidak begitu bodoh untuk percaya ulah para pembegal bisa menghilangkan nyawa kakek tua yang bahkan bisa membuat pedang dari angin.

Kini kakek itu telah pergi, tiada lagi sosok kakek periang penuh semangat itu. Di bawah langit yang berusaha menahan tangis itu, tangan Ayla terkepal, tidak lagi hanya sedih yang bergolak di dada Ayla. Tapi juga marah, kemarahan mulai tumbuh cepat dalam diri Ayla. Ayla terlalu bodoh dan lugu tentang pertarungan seminggu sebelumnya, ia mengira dua sosok berjubah putih itu benar benar sudah pergi karena dirinya berhasil mengalahkan mereka. Licht dan satu sosok perempuan pemanah yang belum Ayla ketahui namanya. Mereka berdua akan membayarnya.

Malam ini, tepat pukul 00.00 tengah malam. Dan Ayla masih menatap langit langit kamarnya, sama sekali tidak sedikitpun ia menduga akan mendapat kunjungan.

"Kita bertemu lagi gadis kecil."

Tidak perlu menoleh melihat siapa pemilik suara itu, Ayla sudah cukup mengingatnya. Suara dengan nada dingin khas seorang yang sangat Ayla benci saat ini. Seorang yang entah apakah dia benar benar orang. Licht, sosok berjubah putih itu berdiri bersandar di sudut kamar Ayla.

Masih belum bangkit dari ranjangnya, Ayla hanya melirik sekilas sosok itu. Amarah mulai bergejolak dalam dada Ayla, lihatlah sosok yang telah membunuh Uncle Suy, tanpa rasa berdosa tengah menatap Ayla. Tatapan tanpa ekspresi itu, melihatnya saja Ayla begitu muak.

SLAP!

Dalam satu gerakan Ayla bangkit setengah berdiri di atas tempat tidurnya. Tangan kanannya terentang ke samping dengan telapak tangan terbuka, aura biru berpendar muncul di pergelangan tangannya, lalu merambat menyelimuti seluruh tubuh Ayla.

Licht, matanya tetap masih menatap datar perubahan yang terjadi pada diri Ayla. Tatapan mata Ayla yang begitu tajam penuh amarah, seolah tidak di pedulikannya.

Sebuah titik cahaya biru kecil muncul beberapa senti dari telapak tangan Ayla. Titik cahaya biru itu bertambah besar lalu memanjang membentuk sebuah benda lonjong dengan salah satu ujung tajam.

"Kalau aku jadi kau. Aku tidak akan melakukan itu. Sangat tidak bijak!"

kata Licht sambil mengangkat telunjuknya.

"Diaaam!"

Ayla menggeram, matanya yang sedikit basah menatap tajam sosok di depannya. Aura biru berkobar sedikit tak terkendali, membuat tirai jendela berkibar kibar, tapi sosok di depan Ayla tidak menunjukan kecemasan sama sekali.

"Ssssttt... anak laki laki di kamar sebelah sedang tidur. Aku tidak mau dia melihatku, aku tidak mengijinkan saksi mata dalam kemunculanku. Kau tahu maksudku kan?"

Tentulah Ayla paham apa maksudnya, saksi mata dalam aksi Assasin Putih, ia akan ikut mati. Mengingat Rizal, Ayla tidak mau membuat lebih banyak lagi orang di sekitarnya terseret dalam peristiwa ini. Apalagi Rizal, kakaknya yang amat ia sayangi.

Aura biru yang menyala-nyala menyelimuti tubuh Ayla perlahan mulai berkurang memudar dan menghilang. Kecuali di tangan kanan Ayla, aura biru masih berpendar menyelimuti Belati Biru. Belati dengan bilah sepanjang tiga puluh sentimeter itu di acungkan ke depan, tepat ke arah wajah bercadar putih itu.

"Apa maumu!" tanya Ayla dengan masih belum menurunkan Belati Birunya.

"Kau bisa menurunkan pusaka itu. Kedatanganku bukan untuk kematianmu, tapi sebaliknya. Aku datang untuk kesempatanmu."

Ayla menatap bingung tidak mengerti apa maksud ucapan Licht.

"Kau punya kesempatan untuk membuat semua ini menjadi mudah. Tidak perlu ada lagi pertumpahan darah."

"Apa maksudmu?"

Beberapa detik kemudian suasana menjadi lenggang. Licht tidak segera kembali melanjutkan ucapannya, sedang Ayla ia begitu menunggu kalimat penjelas dari mulut di balik cadar putih itu.

"Kau dan remaja klan Es itu ... , Master Ero menginginkan kalian bergabung kedalam pasukan."

Detik jarum jam terdengar menggema di kamar Ayla, aura ketegangan jelas terpancar setelah kalimat Licht selesai di ucapkan. Master Ero, nama itu seharusnya menjadi sebuah informasi baru bagi Ayla. Sayangnya Ayla sekarang tidak menangkap hal itu, pikirannya masih di balut kesedihan yang kini berubah menjadi amarah.

"Kau! aku ingin memastikan satu hal darimu," kata Ayla dengan tatapan begitu dalam. Aura biru kembali terpancar menyelimuti seluruh tubuhnya.

Sepasang mata Licht menyipit, bola mata hitamnya tidak beralih dari wajah Ayla. Bibir Ayla mulai tergerak, Licht sudah menduga kemungkinan Ayla akan menerima ajakannya sangat kecil. Dan pastilah yang akan gadis beraura biru itu katakan bukanlah jawaban tanda terima akan ajakannya, apalagi raut amarah itu, terlihat jelas sudah jawaban Ayla.

"Aku ..."

"Aku ingin memastikan langsung darimu."

Napas Ayla terasa lebih berat, ia kembali teringat Uncle Suy. Amarahnya kembali bangkit, tak terbendung lagi.

"Kau! ..."

"Katakan ...-

Apa benar kau ..., yang telah membunuh Uncle Suy?"

Seketika lampu ruangan tiba tiba meredup, udara di dalam kamar mendadak terasa lebih dingin. Tapi sosok itu, Licht, sama sekali tidak menunjukan reaksi terkejut sedikitpun. Tatapannya masih saja sama, masih menatap datar Ayla yang tampak menyala nyala dengan aura birunya. Cahaya lampu kamar yang meremang ini membuat Ayla tampak jauh lebih bersinar dengan aura birunya. Tapi tatapan matanya, seperti tatapan makhluk buas yang siap menerkam mangsanya.

"Suzat, identitas orang tua itu sudah kami ketahui. Dia salah satu musuh lama Master Ero" Ucap Licht datar.

"YANG AKU TANYAKAN APA KAU YANG MEMBUNUH UNCLE SUY!" Seru Ayla setengah berteriak.

"Ya."

SPLASH!

Ayla langsung melesat cepat kedepan menghunuskan Belati Biru. Tapi Licht lebih dulu melakukan teleportasi, membuat Ayla menikam udara kosong.

Dengan sigap Ayla langsung menuju jendela kamarnya, membukanya. Sepuluh meter dari jendela kamar Ayla, di sebuah tiang listrik, sosok berjubah putih itu berdiri dengan anggun. Jubah putihnya berkibar kibar diterpa angin malam, jubah putihnya tampak mempesona bersinar dibawah cahaya purnama. Ia menoleh kebelakang, ke arah Ayla yang menatapnya dengan penuh kebencian.

"Seharusnya kau menerimanya gadis bodoh. Sebelum orang itu datang, dan semuanya akan jauh lebih bur-...

SHOOTT...

APA?"

Hampir saja. Licht benar benar tidak menduganya, Belati Biru di lemparkan oleh tangan Ayla. Sisi kanan tudung putih Licht berhasil tergores.

"Kau sepertinya mau bermain main sebentar denganku gadis kecil."

Licht mengangkat tangan kirinya. "Bilah Cahaya Langit!."

Sebuah bilah pedang bergerigi panjang terbentuk dari kekuatan cahaya Licht, melayang layang tiga puluh senti di atas telapak tangan kiri Licht yang terangkat. Ujung mata pedangnya terarah ke Ayla yang sudah berlari melesat ke arahnya. Kini gadis kecil berselimut aura biru itu sudah tepat di bawah Licht. Menatap Licht dari bawah dengan Belati Biru yang sudah kembali tergenggam erat di tangan kanannya.

"Coba terima ini!"

Bilah pedang cahaya bergerigi di lesatkan kuat Licht tepat ke Ayla di bawahnya.

Dengan jarak yang teramat pendek tidak mungkin sempat Ayla menghindar, satu satunya yang bisa Ayla lakukan, menangkisnya.

Bumm...

Pertemuan dua energi besar, yang sebenarnya berelemen sama, elemen cahaya menghasilkan dentuman yang suaranya cukup untuk membangunkan tetangga sekitar.

Kaki Ayla amblas hampir sepuluh senti masuk ke dalam tanah. Tangan kirinya mencengkeram tangan kanannya, membantu menopang bilah pedang cahaya bergerigi dengan Belati Biru. Aura biru berpendar lebih terang, Ayla melepaskan energi sedikit lebih besar dari sebelumya.

"Hiyaa!"

Bilah Cahaya Langit terpental ke udara membuat dua tiga kabel terputus, mengeluarkan kilat kilat listrik. Membuat lampu rumah rumah di sekitarnya padam seketika.

Ayla hampir saja jatuh terduduk jika ia tidak segera menyeimbangkan tubuhnya. Aura birunya memudar menghilang bersama Belati Biru, Ayla terlalu banyak mengeluarkan energi untuk menahan pedang cahaya bergerigi Licht.

"Kau tidak sekuat yang sebelumnya, tapi ya sudahlah." Kata Licht, tatapannya kembali datar seperti sebelumya.

Ayla tidak menanggapi ucapan Assasin Putih itu, ia masih sibuk mengatur nafasnya mencegah ia tidak pingsan di tempat. Awan hitam juga mulai menghalangi purnama, bertambah sudah gulita malam ini.

Beberapa suara bising tetangga juga mulai terdengar, beberapa mungkin terbangun dengan padamnya listrik. Ayla tidak terlalu mempedulikannya, yang ia pedulikan ialah sosok yang tengah berdiri menjajarkan tubuhnya di sebelah Ayla. Bibirnya di balik cadar putih bergerak pelan, "Kau baru saja menghilangkan kesempatan emas. Dia akan datang menjemputmu, dan semuanya akan jauh lebih tidak menyenangkan untukmu. Akan ada lebih banyak darah. Dia akan datang menjemputmu, Si Kelabu Pembantai."

Setelah kalimat itu mencapai ujungnya, sosok itu sudah menghilang dari tempatnya.

Si Kelabu Pembantai, entah kenapa firasat Ayla sudah buruk saja saat mendengar julukan itu. Sesuatu yang lebih buruk lagi akan datang, dan sekali lagi Ayla merutuki takdirnya.

****

Brukk...

Ayla membenamkan dirinya di ranjang empuknya, setelah susah payah ia memanjat tangga menuju balkon kamarnya di lantai dua dengan tubuh lemas, setiap naik satu tangga saja ia harus menarik nafas panjang beberapa kali. Beruntung tidak ada tetangga yang melihat, jika sampai ada, pasti Ayla sudah dikira maling. Sesampainya di atas Ayla juga harus buru buru kembali turun keluar untuk mengembalikan tangga itu ke tempat semula. Piyama yang sedikit basah dan kotor terkalahkan rasa lelah, Ayla langsung merebahkan diri di ranjangnya. Pukul dua dini hari, itu berarti ia tinggal punya waktu paling lama dua setengah jam untuk tidur. Pagi ini jadwalnya menyiapkan sarapan pagi, akan lebih mudah jika ia langsung beli makanan jadi. Tapi peraturannya mewajibkan untuk sarapan pagi harus masakan buatan sendiri, peraturan itu tertulis di atas secarik kertas yang tertempel di dinding dapur. Disetujui dengan tanda tangan di atas materai, sang kepala keluarga, Wikatma.

Drtdrrrtt... Drtdrrrtt ...

Hampir saja Ayla berhasil terlelap, hingga akhirnya dengan malas ia kembali bangun meraih smartphonenya. Siapa juga yang mengirim pesan-chatt pukul dua dini hari? Nggak jelas banget.

Tapi begitu Ayla melihat nama sang pengirim, matanya langsung terbelalak.

Alan.

P

Isi chattnya hanya itu, P. Lima puluh detik kemudian barulah pesan kedua masuk.

~Alan :

"Oi. Kamu masih hidup kan?"

Dengan sedikit kesal Ayla mengetik balasan.

"Maseh. Ada apa?"

~Alan :

"Kamu udah dapat kunjungan tadi kan, jawabanmu apa?"

Kali ini raut wajah Ayla berubah serius. Rasa kantuknya langsung hilang malahan.

"Udah, jawabanku 'Tidak'. Kamu tau dari mana?"

Cukup lama kali ini hampir satu menit belum ada balasan masuk dari Alan. Tapi Ayla tetap menunggunya walau harus melawan rasa kantuk hebat yang kembali datang, tiga menit akhirnya penantian Ayla tiba di ujungnya, tapi begitu tiba di ujungnya ternyata ujungnya adalah jurang yang dalam bernama jurang Menyebalkan.

~Alan : "Owh."