webnovel

Episode 4 ~ Petir

Pukul 02.10 dini hari, suasana malam benar benar telah sampai pada titik kesunyiannya. Malam ini sempurna dengan di tambahnya hujan gerimis yang turun satu jam terakhir, benar benar malam yang sempurna nyaman untuk terpejam di balik selimut yang hangat. Namun tidak begitu di sebuah kamar kos berantakan yang segalanya berserakan tanpa tertata. kakek tua itu terbangun dari mimpi indahnya, atas kedatangan dua orang berjubah putih yang entah dari mana sudah berada di dalam kamar kosnya. Namun kakek tua itu tidak terlihat terkejut sedikitpun, ia seperti sudah menduga akan mendapat kunjungan seperti ini.

"Wah wah wah, tidak sopan sekali kalian menganggu tidur orang tua ini, tidak mengetuk pintu pula kalian masuk sini. Ish ish Ish." Kakek tua itu menggeleng nggeleng kan kepalanya.

Dua sosok berjubah putih itu maju mendekat ke tempat tidur laki laki paruh baya itu. Kini si kakek dapat jelas mengamati dua sosok di hadapannya. Satu seorang pria dan satu nya lagi seorang wanita, terlihat dari postur tubuhnya. Yang terlihat di bagian kepala hanya sepasang matanya saja. Wajahnya tertutup oleh cadar, dan mereka juga memakai tudung kepala.

"Langsung saja pak tua. Apa kau tahu siapa dan dimana manusia bumi yang terpilih menjadi pemegang pusaka suci?" Tanya sosok berjubah putih yang laki laki.

"Aku tidak tau menahu persoalan kalian di Langit. Aku hanyalah orang tua yang mencari ketenangan di sisa umurku. Aku tidak tau apa apa pergilah!" Elak si kakek.

"Kami harap kau tidak sedang berbohong pak tua, karena jika sampai iya apalagi kau sampai kedapatan menghalangi misi kami. Kami akan membunuhmu! Kami tidak main main pak tua..."

"Cihh... Masa bodoh dengan misi kalian. Aku hanya ingin mencari ketenangan di dunia ini. Pergilah! Aku mau menyambung tidurku." Si kakek tua langsung kembali ke posisi tidurnya, membelakangi dua sosok berjubah putih tersebut.

Tidak berselang lama dua sosok berjubah putih itu sudah menghilang entah kemana.

"Mereka bergerak lebih cepat, dari perkiraan ku." Pak tua itu mengusap wajahnya lalu kembali terpejam.

****

Pukul 05.30, Ayla sudah terbangun dari tidurnya. Ia melangkah gontai menuju dapur di lantai bawah. Hari ini jadwalnya membuat sarapan, kemarin sudah jadwal Rizal. Mereka berdua terbiasa bergantian mengatur jadwal siapa yang mengurus sarapan dan makan malam, membersihkan rumah, dan kegiatan keseharian lainya. Ayah Ayla yang seorang prajurit tentara mendidik Ayla dan Rizal dengan kedisiplinan sejak mereka masih kecil, sejak Rinna ibu mereka berdua masih ada.

Ayla melihat ke kamar Rizal yang pintunya terbuka, kakaknya itu sudah tidak lagi berada di kamarnya.

"Pasti kak Rizal sedang bersih bersih di lantai bawah..." Pikir Ayla

Ayla pun turun, begitu tiba di lantai bawah, terlihat lantai yang sudah bersih selesai di pel, ember dan alat pel lantai masih berada di samping sofa, belum di bereskan. Kemoceng juga masih berada di atas meja, belum di berikan kembali ke tempatnya.

Lalu Ayla melangkah menuju arah dapur ,namun baru dua langkah dirinya sudah mencium aroma sedap dari arah dapur. Ia langsung mempercepat langkahnya.

"Kak Rizal?, Kakak ngapain di situ?." Tanya Ayla, begitu mendapati kakaknya yang sedang disana.

"Ya masak lah.. ,emang nggak kelihatan? Makanya cuci muka dulu sana!" Jawab Rizal tanpa melihat ke Ayla, ia fokus pada wajan di hadapanya.

"Iya tau aku kakak lagi masak. Maksudku ngapain kakak masak? Kan ini jadwalku bikin sarapan..." Jawab Ayla jengkel.

" Ya kan sebagai kakak yang baik. Mana tega sama adiknya yang lagi sakit. Udah kamu mandi aja sana biar kakakmu yang ganteng nan pinter ini nyelesaiin nasi goreng nya."

"Iya deh kakakku yang baik."

Ayla menurut, ia pun melangkah menuju kamar mandi.

Dua puluh menit kemudian Ayla telah siap dengan seragam sekolahnya. Ia pun duduk manis di depan meja makan, Rizal telah selesai mempersiap kan sarapan pagi. Nasi goreng spesial dengan telur mata sapi telah menanti untuk di santap. Tinggal menunggu Rizal yang sedang mandi, untuk sarapan bersama.

"Loh Ay, kamu yakin mau ke sekolah. Apa nggak sebaiknya kamu istirahat dulu di rumah?" Tanya Rizal yang terkejut melihat Ayla sudah rapi dengan seragam sekolahnya.

"Aku udah baik baik saja kak. Lagian ngapain di rumah ,bosen. Mending ke sekolah, bisa ketemu temen temen."

Rizal menatap adiknya beberapa saat lalu mengangguk.

"Tapi kalau nanti ngerasa pusing atau apa langsung bilang ke Lita. Biar nanti Lita yang hubungin kakak. Oke?"

"Oke kakak!"

Kakak beradik itupun sarapan bersama. Hingga tiga puluh menit kemudian saat semua telah disiapkan, Rizal mengunci pintu rumah. Saatnya berangkat ke sekolah.

"Loh motor kakak gak disiapin?"

Tanya Ayla bingung melihat motor merah Rizal masih terparkir rapi ditempatnya.

"Hari ini kita nggak naik motor."

"Terus?"

"Itu!"

Rizal menunjuk sebuah bajaj yang terparkir di pinggir jalanan tak jauh dari rumah mereka.

Bajai itu tidak asing bagi Ayla, supir nya sudah ia kenal sejak ia masih SMP. Namanya Suyat, biasa di panggil Uncle Suy. Walau usianya sudah lebih delapan puluh tahun, tapi jiwanya masih seperti pemuda dua puluh tahun.

"Hello boy! Hello girl!... Good morning how are you?"

Sapa uncle Suy begitu melihat Ayla dan Rizal.

"Good morning uncle, I am fine. Are you?" balas Rizal sembari tersenyum ramah.

"Oh. I am every day every time is fine. Pokoknya fine fine terus lah, kalau uncle mah. Hahah hahaha."

Uncle Suy tertawa menunjukan gigi giginya yang tinggal separo jumlahnya.

Ayla dan Rizal lalu masuk ke bajai Suyat. Di perjalanan uncle Suy banyak mengobrol dengan Rizal, mereka seperti kawan yang lama tidak bertemu. Rizal menceritakan pengalamannya saat mengikuti kejuaraan karate beberapa pekan lalu. Kemudian bertukar, uncle Suy menceritakan kisahnya saat beberapa hari lalu menantang pengemudi taksi online adu panco.

"Wih... masak uncle yang menang?"

"Iya awalnya si supir taksi yang mau menang. Tapi di detik detik akhir tiba tiba uncle bersin sampai isi isi yang di hidung muncrat semua. Terus dianya kaget lalu K.O deh... Hahaha.."

"Hahahaha.... Emang the best lah uncle ini."

Dua orang itu lagi lagi kembali tertawa bersama. Terkecuali Ayla yang sedari tadi hanya diam, tiba tiba ia merasa takut kalau tanda garis di pergelangan tangannya bereaksi lagi. Ia takut jikalau nanti ia tidak bisa lagi menutupinya, dan semua teman temanya mengetahuinya. Ia pasti akan dipandang aneh oleh semuanya, mungkin ia akan dituduh alien.

"Neng Ayla kok diem diem bae. Ngelamun apa hayo..." Uncle Suy membuyarkan lamunan Ayla.

"Iya Ay. Kamu kenapa? Apa kamu ngerasa pusing?."

Buru buru Ayla menggeleng.

"Enggak kok. Cuma mikirin nanti mau ulangan aja."

Uncle Suy hanya ber oh lalu mengangguk.

"Bener Ay? Jangan bohong lho!" Rizal memastikan.

"Iya kakak..."

Akhirnya Ayla dan Rizal tiba di sekolah. Sebelum turun Rizal menyerahkan sejumlah uang ke uncle Suy.

"Nanti jangan lupa ya Uncle Suy! Jam sepulang sekolah. Jemput Ayla disini."

"Siap Gan!."

Uncle Suy mengacungkan jempol kananya. Sebelumnya Rizal berpesan kepada Ayla untuk nanti langsung pulang begitu di jemput Uncle Suy, dirinya tidak bisa pulang bersama karena masih ada kelas tambahan.

***

Jam demi jam berlalu dengan cepat. Ayla sedari jam pelajaran pertama hingga tengah hari ini lebih banyak diam tidak banyak bersuara. Bahkan ketika jam istirahat ,saat Alita mengajaknya ke kantin Ayla lebih memilih tinggal di kelas. Ketika jam pelajaran berlangsung, berkali kali Ayla mencoba memfokuskan konsentrasinya karena berkali kali konsentrasinya buyar oleh kekhawatirannya pada garis di pergelangan tangannya. Ayla benar benar khawatir jika tanda garis itu kembali bereaksi. Bagaimana jika seluruh sekolah tau, garis di tangannya bisa memancarkan sinar biru. Ia pasti akan di pandang aneh dan tidak normal oleh teman temannya.

Tapi hari ini bahkan hingga sekarang, jam sekolah telah usai. Tidak sekalipun sejak tadi pagi tanda garis di pergelangan tangan kanannya menunjukan reaksi.

"Ay pulang bareng siapa?"

Tanya Lita.

"Aku nungguin uncle Suy Lit. Tadi pagi udah di pesenin sama kak Rizal." Jelas Ayla.

"Gak bareng aku aja Ay? Bentar lagi mau hujan lho." Tawar Lita, setelah melihat awan di langit yang mulai menghitam.

Ayla menggeleng pelan, "Terima kasih Lit, gakpapa kamu duluan aja. Uncle Suy pasti bentar lagi datang."

Akhirnya Ayla pun tetap menunggu kemunculan uncle Suy. Namun hingga lebih lima belas menit berlalu tidak ada tanda tanda kedatangan bajai tua itu. Sedangkan kumolonimbus di langit sudah menggunung tinggi. Kilat juga beberapa kali menyambar. Tetes air pertama sudah mulai turun di ikuti sekian tetes berikutnya. Ayla pun beranjak menuju halte yang tak jauh darinya untuk berteduh. Ayla akhirnya mulai khawatir juga, berkali kali ia menengok ke ujung jalan raya. Tapi tetap saja dari sekian kendaraan yang lalu lalang tidak ada sama sekali kemunculan bajai pak tua itu.

Beberapa menit kemudian Ayla akhirnya lelah juga mencari kemunculan bajai itu. Ia mendudukkan dirinya di kursi halte yang paling ujung. Hanya dia seorang diri di tempat itu. Jam selesai pelajaran tambahan masih satu jam lagi, masih selama itu jika ia ingin menunggu Rizal.

Tiba tiba, sebuah motor berhenti di depan halte. Pengemudinya mengenakan seragam sekolah yang sama dengan Ayla. Ayla mencoba mengira ngira siapa orang tersebut. Tapi tidak lama orang tersebut membuka helmnya membuat Ayla tidak perlu mengira ngira lagi, bahkan membuat Ayla sedikit terkejut.

"Alan?"

"Nunggu siapa?" Tanya Alan, dengan nada datar seperti biasanya.

"Nunggu bajai. Tadi pagi udah pesen, tapi dari tadi nggak muncul muncul." Jawab Ayla.

"Bareng aku aja ...

bentar lagi hujan ...

Kalau bajainya nggak dateng gimana?."

"Eh.. nggak. Nggak usah Al!, Terima kasih. Mungkin bentar lagi dateng bajainya." Tolak Ayla.

Entah kenapa Ayla merasa canggung setiap berbicara dengan Alan. Apa ia seperti Lita dan teman teman perempuannya yang lain?. "Tidak!" Buru buru Ayla menghapus pikiran itu. Bahkan sampai sekarang Ayla masih belum melihat lebihnya Alan di matanya.

"Ya udah." Alan kembali memakai helmnya.

Tapi sedetik sebelum Alan melaju kembali dengan motornya. Langit menyala terang dan CETAR....

"Aaaaa..." Ayla berteriak kencang sambil menutup dua telinganya.

"Tuh kan, pulang bareng aku aja makanya."

Ayla yang masih sedikit gemetaran pun akhirnya mengangguk setuju. Sore itu untuk kesekian kalinya ia dibuat takut oleh petir. Petir adalah sesuatu yang pertama kali merenggut bagian yang paling berharga dalam hidupnya. Rinna, dua tahun lalu meninggal dunia karena petir. Semenjak saat itu ia selalu ketakutan saat kilat petir menyambar di langit, ia takut petir akan mengambil sesuatu yang berharga lagi dari dirinya. Dan kali ini untuk pertama kalinya selain ayahnya dan kakaknya ada orang lain yang membuatnya bisa kembali tenang setelah mendengar petir. Tanpa Ayla sadari ,dua tangan nya telah memeluk erat tubuh Alan, mengabaikan kilat yang silih berganti berteriak di langit.

*******

Lanjut ke part selanjutnya kawan ➡➡