webnovel

Taruhan Para VIP

Walaupun anggota Vip sering disebut sebagai kelompok khusus ketua Osis, kenyataannya mereka hampir sama sekali tidak punya kesibukan yang sama dan seringnya menghilang untuk urusan masing-masing.

Misalnya Hana yang memang sibuk mengurus kegiatan Osis dengan ketua bagian lain. Atau Ruri yang sebenarnya jarang ke gedung Osis dan lebih sering menghabiskan waktunya di kebun. Dan Fiona yang, entahlah, hanya Tuhan yang tahu dia pergi ke mana sehari-harinya.

Jadi walaupun ruangan di lantai 4 sangat luas untuk mereka berempat, Rei seringnya tidak melihat siapa-siapa setiap dia kembali ke sana. Makanya fakta bahwa ketiga perempuan yang biasanya cuma merepotkan malah sedang duduk manis bersama hari ini… Sejujurnya Rei agak kaget. Hana masih biasa, tapi Ruri dan Fiona benar-benar sangat jarang ada di sini.

"...Aku mencarimu daritadi." Kata Rei akhirnya, entah kenapa tidak begitu ingin tanya mereka sedang apa. Selagi tiga orang itu masih saja kelihatan bingung dan panik karena Rei muncul tiba-tiba.

Tapi karena merasa kalau Rei memandang ke arahnya, Hana pun menunjuk dirinya sendiri. "Ah, A-Aku?"

"Aku sudah lihat daftar pembagian divisinya." Kata Rei sambil berjalan mendekat. "Kau memasukkan anggota baru ke divisi Hazel?"

"Ah, iya…" Sahut Hana kikuk. 'Geh, Aku lupa masalah itu!'

"Ku-kupikir kau tidak tertarik. Makanya Aku tidak bilang." Jawabnya. Walaupun kenyataannya Hana memang sengaja tidak memberitahunya dulu, bahkan tidak mengirimkan daftarnya pada Rei sampai dia selesai mengatur semuanya.

Di sisi lain, Rei seperti menangkap Fiona berusaha menahan tawanya setelah Hana berkata begitu. Tapi masih belum berubah pikiran, Rei tidak begitu ingin menanyakan itu dulu, jadi dia pun kembali menatap Hana. "Aku kan sudah bilang kalau Aku akan lihat setelah semuanya dibagi." Balas Rei tidak senang.

"Kau kan tahu divisi itu adalah divisi yang paling sering berurusan denganku, jadi harusnya kau bilang padaku dulu kalau mau memasukkan anggota baru ke sana."

"Maaf. Habisnya kupikir bagus kalau Hazel punya anggota baru, jadi…"

Menahan keluhannya, Rei akhirnya hanya mendesah. "Yah, Aku yakin kau pilih anak yang baik, jadi kurasa tidak masalah." Katanya, meski setelah itu Rei malah mulai menaruh lengannya di pinggang. "Tapi tetap saja kau tidak bisa memasukkan anak yang hanya bisa sihir telekinesis. Kan sudah jelas aturannya harus orang yang setidaknya termasuk beta. Tapi ini malah hanya bisa satu sihir saja?" Protesnya.

"Tapi anaknya pintar kok." Balas Hana. "Karena Hazel sudah cukup hebat, jadi kupikir lebih bagus kalau Aku masukkan anak yang pintar."

Masih memasang wajah tidak puas, Rei terdiam sangat lama. Tapi setelah beberapa saat, akhirnya dia hanya berdecak pasrah. "Tapi kalau ada apa-apa, pokoknya Aku akan langsung memindahkannya." Katanya kemudian.

Melihat Rei seperti sudah akan pergi, tadinya Hana dan Ruri sudah akan merasa lega. Tapi saat akan keluar, Rei ternyata malah berbalik lagi seperti baru ingat kalau dia masih punya keperluan lain. Yang kali ini ternyata berhubungan dengan Ruri.

"Oh iya, Aku sudah baca pesanmu. Kau bilang ada anak yang bisa lihat energi sihir ya? Apa sekarang sudah sembuh?" Tanyanya.

Sekarang giliran Ruri yang agak panik. "Ah, belum." Jawabnya. "Tadi sih Aku sudah coba berikan ramuan pemutus sihir, tapi itu juga tidak ada efeknya. Jadi untuk sementara Aku berencana memeriksa darahnya, tapi entahlah."

Mendengar itu, Rei kelihatan terdiam sejenak untuk berpikir sehingga tiga temannya terpaksa diam menunggu lagi. Baru setelah beberapa saat, Rei mengalihkan pandangannya ke arah Fiona. "Kalau tidak salah dulu di kelasmu ada orang yang bisa lihat hantu kan? Namanya siapa? Aku lupa." Tanyanya.

Tapi bukannya menyahut, Fiona malah hanya diam dan terus saja mengunyah pocky di mulutnya seakan dia sedang melancarkan protes bisu. Makanya kemudian Hana yang buru-buru mengambil alih. "Na-Namanya Gary." Katanya.

"Kalau ramuan yang biasanya untuk lihat hantu, Aku juga sudah coba. Tapi itu juga tidak berhasil." Timpal Ruri ikutan.

"..." Meski tentu saja adegan mencurigakan itu akhirnya membuat Rei tidak bisa mengabaikan keanehan mereka lagi.

"...Apa kalian membuat Fiona bisu atau semacamnya?" Tuduhnya--yang percaya atau tidak, bukan tebakan paling gila yang terpikir oleh Rei.

"Dia melakukannya sendiri, oke?" Kata Ruri yang langsung mengaku sambil menunjuk hidung Fiona. "Dia sudah begitu saat Aku dan Hana ke sini!" Tambahnya. Bahkan Hana saja sudah tidak sempat menambahkan apapun, meski dia juga sama paniknya.

Di sisi lain, Rei yang tidak begitu percaya langsung terdiam karena kaget. Sejujurnya kalau mereka bilang Fiona yang meracuni orang, hal itu masih mudah dipercaya. Tapi kalau dia meracuni dirinya sendiri supaya dia tidak bisa bicara, itu baru aneh.

"...Kenapa?" Tanya Rei kemudian ke arah Fiona, meski orangnya hanya mengulum senyum tipis sambil melirik ke arah Hana dan Ruri. Jadi Rei pun ikutan mengalihkan pandangannya ke arah mereka. "Kenapa? Kalian berencana memaksanya bicara tentang sesuatu?"

Keduanya diam.

'Mereka kenapa?' Pikir Rei yang semakin kebingungan.

Jadi kalau mau ditebak sendiri, kelihatannya Fiona mengetahui sesuatu, entah tentang apa. Tapi karena tidak mau memberitahunya, Fiona malah sengaja membuat dirinya bisu duluan bahkan sebelum dipaksa bicara. Tapi meski begitu mereka tetap tidak ingin Rei tahu...

Dan walaupun tidak segitunya aneh, sebenarnya Ruri juga tidak biasanya satu urusan dengan Hana dan Fiona. Jadi sekarang Rei benar-benar tidak punya gambaran kira-kira ada masalah apa yang sampai melibatkan tiga orang ini sekaligus.

Jadi apa boleh buat, Rei pun memanggil salah satu burung kertasnya. "Aku bisa cari tahu sendiri, tapi kalian betulan tidak mau memberitahuku apa-apa?" Tanyanya untuk memastikan. Tapi karena semuanya masih diam, Rei pun akhirnya bertanya ke arah burung kertasnya. "Kalau begitu, mm, apa yang mereka bertiga lakukan sebelum ke sini—"

"Bu-Bukan apa-apa." Sela Hana akhirnya. "Hanya saja, itu, Fiona mengganggu seseorang dan Aku hanya ingin tanya kenapa dia melakukannya." Akunya seminimal mungkin.

Mendengar itu Rei kembali menjauhkan burung kertasnya dulu untuk sementara. "Tapi Fiona melakukannya pada semua orang. Apa yang beda dari biasanya?" Tanyanya. Soalnya meski tidak aneh kalau Hana peduli pada seseorang, sejujurnya Ruri jarang mengurusi hal seperti itu.

"Fiona suka memberikan bunga Avia padanya." Jawab Ruri ikutan. "Jadi karena curiga, Aku dan Hana baru saja akan tanya kenapa." Tambahnya.

Tentu, walaupun masih aneh, sejauh ini penjelasan itu juga bisa diterima. Hanya saja kalau mereka tidak ingin Rei mengetahuinya, berarti masalahnya ada di orang x, yang sejak tadi namanya tetap tidak disebutkan.

"Memangnya siapa yang diganggu Fiona?" Tanya Rei, dan Hana maupun Ruri kembali melipat bibir mereka.

'Sudah kuduga masalahnya ada di situ' Pikirnya. Sehingga Rei pun kembali mengalihkan pandangannya ke arah Fiona. "Siapa?" Tanyanya, kali ini terdengar menuntut.

Fiona menertawakan situasi itu sejenak, tapi akhirnya dia menggerakkan tangannya untuk membentuk huruf-huruf.

"Alisa?" Kata Rei.

"Itu siapa...?" Tapi saat akan menanyakannya, ternyata otaknya sudah langsung ingat sendiri kalau dia baru saja melihat namanya beberapa saat yang lalu. "Anak baru yang ada di divisi Hazel?"

Meski setelah tahu itu, Rei malah justru jadi tambah bingung. Sehingga Fiona pun dengan senang hati menggerak-gerakkan tangannya lagi.

"Tunggu, sejak kapan kau bisa bahasa isyarat?" Protes Hana, meski dia juga tidak tahu apa yang sedang Fiona katakan. Apalagi kalau dilihat dari tatapan Rei yang mulai semakin menyeramkan, kelihatannya dia juga bisa memahaminya.

'Mereka berencana membuat anak itu jadi anggota Vip.'

Memproses pesan itu pelan-pelan, Rei kembali terdiam untuk waktu yang lama. Hanya saja karena Rei selalu memasang poker face-nya, Ruri tidak begitu yakin apakah Rei sedang marah atau tidak saat dia menatap lurus ke arahnya.

"...Kupikir kau tidak peduli siapa yang jadi Vip setelah kita lulus." Tanyanya dingin.

JLEB. Mereka sudah ketahuan sepenuhnya.

Hana mungkin sudah sering bertengkar dengan Rei tentang masalah ini, tapi ini pertama kalinya Ruri melihat langsung sosok Rei saat sedang membicarakan hal ini. Dan dari pandangan matanya yang mengkilat-kilat, bisa dikonfirmasi kalau Rei memang sangat benci topik ini.

Apalagi kalau Rei malah mulai tertawa pelan setelah memberikan pandangan dingin begitu… "Ahh, itu sebabnya kau memasukkannya ke tempat Hazel? Pintar sekali…" Kata Rei sambil melirik arah Hana.

Meski tatapannya tetap kembali dingin begitu dia kembali menatap Ruri. "Hana tidak aneh, tapi kenapa kau mendukungnya?"

Menyerah untuk terus menyembunyikannya, Ruri pun akhirnya memilih untuk mengaku seadanya saja. "Karena dia punya bakat membuat ramuan, oke?" Jawabnya.

"Tunggu, kau membuat anak kelas satu membantumu membuat ramuan?" Balas Rei dengan alis berkerut. "Kan tidak boleh—"

"Dia hanya membantuku sedikit!" Sela Ruri cepat. "Tapi seriusan. Bukan cuma pintar mengikuti resep, sense-nya juga sangat bagus sepertimu." Balas Ruri lagi.

"Aku bahkan ingat gesture-nya agak mirip denganmu. Contohnya saat dia mengocok ramuannya atau menggoyangkan botolnya... Pokoknya dia pintar, oke? Aku lumayan menyukainya." Tambahnya.

Mendengar Ruri sampai memujinya seperti itu, bahkan Rei jadi tidak bisa langsung menyanggahnya. Untuk sesaat, Rei sempat memandang kesal ke arah Hana yang ternyata sudah mempengaruhi Ruri sampai seperti itu.

Tapi belum ingin berdebat dengan Hana, Rei malah mengarahkan pandangannya ke arah Fiona lagi. "Terus apa? Kau mengganggu anaknya karena tidak setuju dengan mereka? Atau malah sebaliknya?"

Tapi saat ditanya begitu, Fiona malah memiringkan bibirnya seakan sedang menimbang sesuatu. "Mm, anak yang kelihatan baik sebenarnya bukan tipeku, tapi kuakui orangnya memang manis." Balas Fiona yang ternyata sudah bisa bicara.

Kelihatannya saat semua orang sedang sibuk berdebat, Fiona sempat mencuri kotak Ruri dan membuat obat penawarnya sendiri. "Lagipula karena Hana menyukainya, Aku juga sedikit penasaran. Jadi…"

Tidak terlalu kaget, Rei hanya terdiam sambil merendahkan kelopak matanya. "...Jadi itu yang sedang kalian lakukan daritadi." Celetuknya. Soalnya kalau Fiona tertarik dengan seseorang, itu justru jadi alasan lebih kenapa anak itu tidak boleh jadi anggota Vip. Bisa bahaya untuk anaknya.

"Kalau begitu sudah jelas. Siapapun itu, tidak boleh—"

"Ta-Tapi kau harus lihat anaknya." Balas Hana akhirnya. "Aku yakin kau akan berubah pikiran kalau bertemu dengannya langsung."

"Tidak."

Lalu Ruri pun ikutan. "Tapi Aku juga berpikir--"

"Tidak."

"Haha, Rei, kau kalah suara tahu." Kata Fiona agak tertawa. "Maksudku, kau memang bisa, dan boleh melakukannya. Tapi masa iya kau mau mengabaikannya begitu saja saat Aku, Hana, dan Ruri sedang sepemikiran begini? Ini kejadian jarang, kau tahu. Aku jamin kau akan tetap kepikiran meski menolaknya."

Merasa mulai terpojok, Rei menggigit bibirnya sesaat. "...Tidak."

"Setidaknya lihat anaknya dulu, ya? Ya? Kumohon." Kata Hana lagi. "Dan kalau masalah Fiona, nanti Aku dan Ruri juga akan mengawasinya supaya dia tidak terlalu mengganggunya." Tambahnya.

"Tsk..." Decak Rei mulai kesal sendiri. 'Kenapa mereka malah satu pemikiran di saat seperti ini?' Gerutunya dalam hati.

Karena seperti yang dikatakan Fiona, ini memang bukan hal yang terjadi setiap hari. Hampir tidak pernah malah.

Makanya sembari memandangi tiga perempuan itu satu-persatu, Rei pun terdiam sangat lama. Mulai dari Hana yang benar-benar kelihatan berharap kalau Rei mau merubah pikirannya, lalu Ruri yang kelihatannya mulai bersikap pasrah untuk menerima apapun keputusannya, sampai Fiona yang kelihatannya yakin-yakin saja kalau segala hal akan berjalan sesuai keinginannya.

Sesekali Rei memang suka menyesali keputusannya untuk membuat mereka bertiga jadi anggota Vip. Tapi kali ini rasa penyesalannya lumayan besar.

Walaupun daripada mempertimbangkan permintaan mereka, Rei sebenarnya masih berusaha mencari ide untuk membalik keadaannya yang sedang terpojok.

Dan untungnya, dia mendapatkannya. "Oke, kalau kalian memang memaksa--"

"Benarkah?" Sahut Hana sudah senang.

"Tapi, ada syaratnya."

"Ooh! Apa ini? Apa kita akan taruhan?" Sela Fiona yang malah jadi semangat. "Tunggu, biar kurekam dulu." Tambahnya sambil mulai mencari handphone siapa saja yang tergeletak di meja.

Hanya saja, taruhan dengan Rei kedengarannya bukan sesuatu yang mudah dimenangkan. Makanya Hana dan Ruri justru merengut agak khawatir saat Rei malah ingin mengajukan syarat tertentu.

"Kalian, apalagi Ruri kan bilang kalau dia sangat pintar dan berbakat dalam membuat ramuan..." Kata Rei memulai. "Jadi bagaimana kalau kalian pastikan dia berhasil membuat ramuan untuk anak yang bisa lihat energi sihir itu, baru nanti Aku akan menyetujui permintaan menyebalkan kalian."

"Dan tentu saja, kalian boleh membantunya sebanyak yang kalian mau." Tambahnya lagi, terutama pada Ruri.

Mengingat kalau mereka punya pengurus kebun di sisi mereka, Hana dan Fiona sebenarnya tidak merasa kalau itu syarat yang sulit. Tapi untuk jaga-jaga, mereka pun diam dulu sampai Ruri sendiri yang menyahut. Meski orangnya kelihatan terdiam agak lama sebelum akhirnya membalas, "Maksudmu Aku boleh membawanya ke kebun?"

"Apa? Tentu saja tidak!" Sangkal Rei cepat. "Kalau memang sangat butuh, kurasa kau bisa membawa beberapa ramuan dan peralatanmu untuk sementara ke tempat Hazel. Walaupun mungkin dia tidak akan suka." Koreksi Rei. "Tapi hanya ramuannya, bukan tanaman sihirnya langsung."

Terdiam lagi, Ruri pun berusaha menimbang-nimbang semua perkataan Rei dari awal. Dan mencurigakannya, semuanya terdengar oke. Walaupun kelihatannya masih ada satu masalah lagi. "Tapi Aku butuh referensi tambahan juga." Katanya kemudian.

Tapi lagi-lagi Rei juga masih tidak kelihatan keberatan. Tanpa protes apa-apa, Rei langsung berbalik sedikit dan menerbangkan satu berkas tebal dari mejanya dan memberikannya pada Ruri.

"Setelah baca pesanmu, Aku sebenarnya sudah mencari beberapa berkas di lantai 5. Dan di situ masih ada beberapa resep lagi juga catatan lain yang berhubungan dengan energi sihir dan kawan-kawannya." Jelasnya. "Kalau masih kurang juga akan kucarikan lagi."

Dengan cepat Ruri langsung membaca sekilas isi berkas-berkas itu dan kelihatannya Rei memang tidak asal memberikannya kertas coretan.

Tapi Fiona yang juga curiga pun akhirnya menceletuk sambil tertawa pelan. "Kau yakin tidak merencanakan ini semua?" Sindirnya

"Aku bahkan tidak tahu kalian semua ada di sini." Cibir Rei balik. "Apalagi tentang kalian bertiga yang sedang sibuk mengurusi anak kelas satu yang Aku baru dengar namanya." Tambahnya.

"Tapi kalau sudah tidak ada pertanyaan lagi, berarti tinggal batas waktunya saja."

"Eh? Pakai batas waktu?" Protes Hana duluan.

"Tentu saja. Aku kan tidak bisa mendengarkan ini terus sepanjang tahun. Jadi kalau kalian kalah kali ini, kalian harus janji tidak akan menggangguku lagi tentang 'anggota Vip baru' atau apapun itu." Jawabnya. "...Atau Aku sumpah, kita akan perang betulan." Tambahnya dengan suara mengancam.

"Seminggu bagaimana?"

"Seminggu? Tidakkah itu terlalu singkat?" Keluh Hana.

"Ruri kan biasa membuat puluhan ramuan dalam sehari, jadi harusnya seminggu sudah cukup lama." Balas Rei. Tapi karena kasihan, dia pun menambahkan waktunya. "Kalau begitu 8 hari."

Meski Fiona yang mendengar itu akhirnya malah tertawa lagi. "Rei, kau tidak pikir Ruri bisa membuat ramuannya ya? Jahat sekali." Katanya.

"...Pikirkan sebaliknya."