webnovel

Sabotase Pondok

Walaupun tidak suka dengan divisinya sendiri, Hazel tentu saja suka dengan pondoknya. Sendirian—kecuali pada bagian di mana ada saja orang dari Osis yang suka mengganggunya seperti Heka dan yang lain. Tapi pokoknya pondok itu memang sudah hampir seperti rumah pribadinya. Di mana dia bisa mengerjakan pr-nya yang sedikit bahkan sampai begadang nonton film dan menginap di sana.

Hanya saja semua kenyamanan itu tetap tidak sebanding dengan nyawanya. Pekerjaan divisi ini bisa mengancam nyawa. Itulah kenapa dia terus meminta dan mencibir Rei--tidak berani mengancam--untuk membubarkan divisi ini. Tapi bukan cuma tidak dikabulkan, sekarang divisinya malah mendapatkan anggota baru, yang anehnya hanya seorang anak yang bisa sihir telekinesis. Hence, anak itu tidak akan banyak berguna.

Kalau saja bukan Hana yang memasukkannya, Hazel mungkin akan berpikir kalau dia punya dendam pada Alisa atau semacamnya mengingat divisi ini adalah divisi yang pekerjaannya paling kasar.

Dan yaa, oke. Kalau mau mengabaikan bagian itu, cuma satu anak perempuan yang kikuk, ramah nan baik hati kedengarannya tidak akan terlalu mengganggu. Bahkan kalau mau, Hazel bisa membuatnya jadi pesuruh pribadinya sekalian.

Tapi bagaimana mau membuatnya jadi pesuruh kalau malah ada 3 wanita menyeramkan yang ikutan nongkrong di pondoknya…

"Pertama kak Ruri, lalu kak Hana, dan sekarang kak Fiona juga ke sini?!" Gerutu Hazel dari jauh selagi dia menahan dirinya untuk tidak kalap saat semua orang sibuk menyabotase halaman kesayangannya.

Merasa tingkat kegelisahannya meningkat, Hazel pun memutuskan untuk kembali saja ke asrama dan meninggalkan mereka. Tapi tepat saat dia akan mengambil tasnya, Hana malah kelihatan menerobos masuk ke pondok sambil membawa satu kotak besar di tangannya "Ruri bilang yang ini perlu ditaruh di kulkas." Katanya.

"Tapi kulkasku penuh--" Hazel berusaha membalas, tapi Hana sudah keburu memberikan kotak itu padanya dan lari keluar lagi. "Hh."

Bahkan seperti belum cukup menderita, sekarang ada Fiona yang juga membawa beanbag pororo besar ke dalam pondoknya begitu saja. "Ahh, ini baru empuk." Kata Fiona yang langsung duduk di atasnya. "Sofamu kurang empuk tahu. Kau harus beli yang baru." Komentarnya.

Tapi karena tidak mau berdebat dengan Fiona, Hazel pun menelantarkan kotak tadi dan buru-buru membuka jendela untuk langsung protes pada Ruri yang sedang mencari sekop di samping pondok.

"Sebenarnya ada apa ini tiba-tiba?" Tanya Hazel akhirnya. "Hanya karena kakak harus membuat ramuan untuk anak itu, kalian semua sampai pindahan ke sini? Harus banget?"

"Hanya seminggu, oke? Jadi tahan sebentar saja." Balas Ruri.

Tidak langsung percaya, Hazel menyipitkan matanya. "Cuma seminggu? Yang benar?"

"Lebih tepatnya 8 hari. Tapi iya, betulan." Balas Ruri lagi.

Memaksakan diri untuk menelan jawaban itu, Hazel pun menurut dulu untuk sementara. Meski saat dia sudah akan berbalik dan memasukkan kotak Hana ke kulkas seperti suruhannya, dia jadi teringat satu lagi pertanyaan yang paling penting. "Eh tapi… Jangan bilang nanti kak Rei ke sini juga?" Tanyanya.

"...Tidak. Dia tidak akan ke sini." Jawabnya. Tapi bahkan Hazel bisa merasakan ada nada getir yang aneh saat Ruri mengatakannya.

"Jangan-jangan memang kak Rei yang mengusir kalian ke sini ya?"

JLEB. Ruri tentu saja langsung diam, tapi Hana yang mendengar itu juga kelihatan menoleh dengan wajah pahit.

Tapi Fiona yang beda spesies tentu saja malah tertawa. "Yaa mirip." Sahutnya geli. Hana kelihatan tidak setuju dengan persetujuan itu, tapi Fiona tetap melanjutkan. "Tidak salah kan? Rei memang tidak satu tujuan dengan kita kali ini." Katanya.

Mencerna perkataan Fiona, Hazel setidaknya jadi tahu kalau mereka bertiga memang sedang bertengkar dengan Rei. Hanya saja itu juga masih belum cukup untuk menjelaskan kenapa mereka malah berencana mengerahkan semua ini hanya untuk membantu Ruri menyelesaikan ramuan Arin. 'Jangan-jangan…'

Dan setelah beberapa saat, mereka pun kelihatan sudah mulai selesai mengatur semuanya untuk menjalankan misi mereka selama 8 hari ke depan. Jadi halaman Hazel yang tadinya kosong, kini bukan hanya ada meja panjang—yang juga sudah disihir jadi 2 kali lebih panjang—sekarang juga sudah dibangun sebuah tenda terpisah. Soalnya walaupun Ruri lebih suka melakukannya di dalam ruangan, pondok Hazel sayangnya tidak cukup luas untuk menaruh semua peralatannya.

Dan tidak lama kemudian, para anak kelas 1 yang tidak tahu apa-apapun akhirnya datang memasuki halaman dengan ekspresi super bingung. Baik itu Alisa, Arin, atau Mary.

"Alisa, divisimu sejak awal memang begini atau…" Celetuk Mary bingung. Tapi sebelum Alisa bisa menjawabnya, matanya malah sudah tertuju duluan ke arah tenda. "Wah, itu kak Ruri?" Kata Mary yang kemudian langsung lari mendekat ke tenda duluan karena penasaran.

Melihat ada anak asing di depannya, Ruri langsung bingung. "Oh, halo…?" Sapa Ruri akhirnya.

"Boleh Aku minta foto?" Tanya Mary langsung, meski tentu saja Ruri hanya diam.

"Ah, ini temanku, namanya Mary." Jelas Alisa yang buru-buru mendekat juga. "Sebelum ke gedung Osis dia bilang ingin ke sini sebentar untuk lihat-lihat, tapi... Kakak sedang apa?" Lanjutnya sambil memandang ke sekitar, yang sebenarnya kalau dilihat jawabannya mudah ditebak. 'Wah, semuanya jadi semakin mirip dengan lab bibi…'

"Apa lagi? Tentu saja semuanya untuk membantu anak yang namanya Arin sampai keluhannya selesai." Jawab Fiona yang kemudian datang ke tenda juga. "Mm, tapi yang mana yang namanya Arin…?" Tanyanya lagi sambil memandangi 2 teman Alisa.

Di situasi itu—di mana Mary langsung membeku kaget melihat Fiona—mungkin harusnya Alisa yang menyahut. Tapi karena orangnya masih sibuk terpana dengan perubahan di sekitar pondok, Arin pun mengangkat tangannya sendiri takut-takut.

"Ah, benar juga. Kalau kau sepertinya Aku pernah lihat…" Tambah Fiona sambil melirik ke arah Mary yang jelas-jelas memasang ekspresi yang sama seperti saat briefing Osis pertama.

"Oh, bukankah kau Mary?" Kata Hana yang kemudian muncul juga. "Kalau tidak salah anak yang di divisi Eri kan? Kalian berteman ya?"

Melihat Hana tersenyum padanya, seketika Mary jadi sedikit lebih tenang lagi. "Iya, Aku sekelas dengan Alisa." Jawabnya.

"Kalau begitu kebetulan. Kau ikut makan juga ya di sini." Balas Hana tiba-tiba, yang kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Ruri dan Fiona.

"Aku baru lihat kotak makanan yang diberikan Hilda tadi, dan dia memasukkan segunung sandwich di sana." Ceritanya. "Tapi karena kulkas Hazel sudah penuh, kita harus menghabiskannya sekarang."

"Yah, untung Aku tidak makan siang tadi." Sahut Fiona yang kemudian pergi ke arah meja duluan, yang kemudian disusul juga oleh Ruri dan Hana.

Selagi ketiga anak kelas satu itu masih terdiam untuk memproses keadaan aneh ini.