webnovel

Ramuan Ke Sekian

Setelah menunggu dengan harap-harap cemas selama beberapa menit, sayangnya hari ini Ruri masih mendapatkan jawaban yang sama dari Arin. "Masih berkabut." Katanya dan semua orang pun kembali menghela napas berat.

Padahal hari ini Ruri sudah membuatkan ramuan pemutus energi sihir yang biasa digunakan untuk menghukum murid supaya mereka tidak bisa menggunakan sihirnya untuk sementara. Tapi ternyata masih tidak berhasil juga.

Walaupun anehnya dibanding Ruri, malah Hazel yang kelihatan paling tidak puas. "Kenapa tidak berhasil?" Protesnya. "Bukankah biasanya yang seperti ini langsung berhasil?"

"Yah, sesekali kan memang suka ada yang seperti ini." Sahut Ruri, meski Hazel malah semakin memicingkan matanya dengan curiga.

"Tapi kalau ramuan pemutus sihir saja tidak berhasil... Memangnya harus pakai ramuan apa lagi?" Komentar Hana yang juga ada di situ.

"Entah." Balas Ruri sama bingungnya.

"Anu… Kalau ramuan untukku mana?" Tiba-tiba Rio juga ikutan menyela. Soalnya dia juga dijadwal akan dapat ramuan keduanya hari ini. Tapi karena Ruri masih sibuk berdiskusi dengan Hana, dia pun menggeser kotak obatnya ke arah Alisa saja.

Dan setelah Alisa mengambil botol obat yang dimaksud, dia pun mengocoknya dulu sampai larutannya berubah jadi biru terang. Baru setelah itu dia buru-buru menyodorkannya ke arah Rio. "Cepat minum sebelum warnanya jadi bening lagi." Katanya. "Ah, tapi rasanya mungkin bakalan pahit, jadi…" Tambahnya lagi yang kemudian mengulurkan kaleng jus juga. Meski untungnya dia ingat untuk bertanya dulu ke arah Ruri. "Boleh kan?"

Ruri tersenyum agak senang. "Tentu."

Menuruti saran Alisa, Rio pun memegang kaleng jusnya saat dia akan meminum obatnya. Dan benar saja, dia kelihatan mengernyit tersiksa setelah meneguk obatnya dan langsung buru-buru meneguk jusnya juga. "Blehh…" Gerutunya masih merengut. Rambutnya yang sudah biasa kusut entah kenapa jadi terlihat lebih kusut saat dia seperti itu. Mungkin jusnya kurang manis.

Baru setelah obatnya habis dan Rio sudah selesai kepahitan, Alisa pun bertanya lagi. "Bagaimana?"

"Jangan mejaku!" Protes Hazel duluan. Sehingga Rio pun harus mencari benda lain untuk jadi percobaan. Dan setelah melihat-lihat sekitar, dia pun berlari ke dekat pagar untuk mengambil sekop yang ada di salah satu pot tanaman. "...Hh, Aku juga suka sekop itu." Keluh Hazel pelan.

Meski ternyata saat Rio mengetes kekuatannya, sekop itu ternyata masih bisa bengkok sedikit. Tapi sebelum dia melaporkannya, Ruri kemudian menyela duluan. "Kekuatannya memang tidak akan hilang sepenuhnya. Tapi seharusnya sudah lebih baik kan?"

"Yah, lumayan sih." Sahut Rio yang langsung menurut.

"Fiuh, untung yang ini langsung berhasil." Komentar Hazel lega.

Dan Hana yang juga kelihatan senang pun spontan mulai mengelus kepala Alisa. "Ruri bilang kau pintar mengikuti arahannya, tapi sepertinya kau memang pandai dengan ramuan." Katanya, yang spontan membuat Alisa agak tersipu. Alisa juga tadinya kaget saat melihat Ruri datang ke pondok dengan Hana. Tapi karena Hana sangat baik padanya, meski canggung, Alisa sudah lumayan menyukainya.

Walaupun kalau mau jujur, pujian tadi sebenarnya terasa agak aneh baginya. Soalnya sejak awal dia memang sudah tahu sedikit tentang ramuan sihir, sehingga Alisa jadi sedikit merasa tidak pantas menerima pujian itu. Dia tidak bohong pada siapapun, tapi rasanya tetap seperti sedang berbohong.

Habisnya siapa sangka kalau di Aviara ternyata juga ada ramuan sihir. Bahkan sampai tanaman sihir juga katanya ada! Jadi walaupun aslinya dia tidak segitunya pintar dalam meracik ramuan sihir, setidaknya Alisa lumayan familiar dengan cairan warna-warni yang suka dibawa Ruri ke situ karena situasinya mirip sekali dengan saat dia melihat bibinya.

Kalau dulu sih Alisa tidak begitu aneh melihatnya, tapi di sini entah kenapa jadi terlihat sangat mengagumkan, sehingga dia juga jadi tidak bisa berhenti memperhatikan Ruri.

"Tapi seriusan…" Tiba-tiba saja Hazel kembali memotong karena tidak bisa menahan pertanyaan yang sebenarnya sudah dia tahan daritadi. "Kak Hana sebenarnya kenapa ke sini juga?" Tanyanya dengan nada protes lagi.

"Aku… Tentu saja untuk bantu Ruri." Balas Hana.

Menyipitkan matanya, Hazel jelas tidak mau menelan jawaban itu. "Begitu? Kalau saja kakak melakukan sesuatu yang lain selain mengelusi kepala anak kucing itu, Aku mungkin mau percaya." Balasnya agak meledek.

"Malah daripada kakak, dia yang justru banyak membantu kak Ruri." Tambahnya, yang kemudian malah membuat Ruri jadi terkekeh pelan mendengar itu. Selagi Alisa justru malah jadi tidak yakin harus merasa bagaimana.

Menggigit bibirnya beberapa saat, Hana ternyata punya balasan untuk Hazel. "...Habisnya di sini kan ada orang yang suka membakar tanda penunjuk jalan, jadi Aku juga harus memastikan anggota baru di sini baik-baik saja." Balasnya yang langsung berhasil membuat Hazel terdiam, selagi Ruri malah semakin mengulum bibirnya geli.

"Uh, sebagai pembelaan, sebenarnya Aku sudah menggantinya dengan kertas. Tapi pasti sudah jatuh karena hujan kemarin." Kata Hazel yang ternyata masih berusaha membalas.

"Tapi kemarin tidak hujan…" Celetuk Arin yang kemudian langsung dipelototi Hazel.

Selagi di sisi lain, Ruri yang sudah selesai tertawa kemudian kembali memeriksa lembaran resep yang ada di tangannya dan bertanya pelan ke arah Alisa. "Menurutmu kenapa masih tidak berhasil juga?"

"Eh, Aku? Aku tidak tahu…" Sahut Alisa yang sama bingungnya. Soalnya kalau melihat resep yang digunakan Ruri tadi, harusnya sudah lumayan paten, jadi Alisa juga tidak tahu kenapa masih tidak berhasil. "Tapi harusnya sudah sesuai dengan resep kakak." Tambahnya.

"Karena sudah coba 2 macam ramuan dan tidak berhasil juga, apa artinya harus buat ramuan yang baru sekalian…" Gumam Ruri kemudian. Lalu setelah berpikir beberapa saat, Ruri pun kemudian memandang ke arah Arin lagi. "Untuk memastikannya, Aku mungkin perlu memeriksa darahmu dulu. Tidak apa-apa kan?" Katanya.

"Tidak apa-apa sih…" Balas Arin kemudian. "Tapi rasanya Aku jadi sangat merepotkan…"

"Sama sekali tidak. Bisa membuat ramuan yang sulit sesekali menyenangkan." Balas Ruri santai, yang kemudian melongok ke arah Hana yang kelihatannya memenangkan perdebatannya dengan Hazel tadi. "Hana, tolong ambilkan darahnya sedikit." Pintanya pada Hana langsung berdiri dan mendekati Arin.

Meski Hazel yang melihat itu malah jadi mengalihkan tatapan curiganya pada Ruri. "Kak Ruri juga aneh…" Katanya. "Kakak kan tidak pernah datang langsung ke sini, apalagi sampai 2 kali berturut-turut. Padahal biasanya kakak hanya mengirimkan ramuannya lewat burung kertas atau apa gitu."

Tidak langsung menjawab, Ruri terdiam sejenak untuk mencari alasan. "Yah, yang ini kan kasusnya beda." Katanya. "Lihat kan, Aku bahkan sampai perlu memeriksa darahnya." Tambahnya sambil menunjuk Hana lagi, yang sekarang sudah duduk di samping Arin.

Hana kelihatan membawa sebuah kotak kecil. Tapi beda dengan kotak milik Ruri, kotak miliknya lebih kelihatan seperti kotak p3k yang isinya jelas merupakan peralatan medis. Perban, obat merah, alkohol, dan beberapa botol kecil yang kelihatannya merupakan ramuan sihir juga. Lalu di sana juga ada beberapa suntikan yang ada isinya dan ada juga yang kosong.

Tapi karena menyadari pandangan Alisa dan Arin yang kelihatan sedikit terperangah melihat Hana tiba-tiba jadi seperti perawat, Ruri kemudian berkata, "Hana ahli dengan yang seperti itu." Tambahnya.

Walaupun anehnya orang yang disebut malah merengut tidak senang mendengar pujian itu. "Yaa, hanya karena Rei dan Fiona sering sekali terluka. Makanya Aku selalu bawa-bawa ini." Katanya dengan nada mengeluh sebelum akhirnya dia mulai menyuntik lengan Arin. "Tahan sedikit ya. Hanya akan kuambil sedikit kok." Katanya pelan.

Suasana sempat hening sejenak karena semua orang memperhatikan proses pengambilan darah itu. Tapi sembari melihatnya, tiba-tiba saja Hazel malah jadi teringat sesuatu. "Tapi dipikir-pikir, bukannya kak Rei juga punya kotak yang seperti itu? Walaupun isinya sedikit berbeda." Katanya.

"Yaa…" Sahut Ruri singkat selagi Hana juga hanya diam mengiyakannya.

Dan secara alami, otak Hazel pun jadi teringat ke arah anggota Vip yang satu lagi. "Jangan-jangan kak Fiona juga punya?" Tanyanya.

"Tidak… Aku tidak yakin Fiona punya kotak apapun." Sahut Ruri walaupun entah kenapa dia juga tidak kelihatan yakin sepenuhnya.

"Ini, sudah." Kata Hana kemudian sambil memberikan sampel darah Arin pada pada Ruri. "Tapi walaupun tidak punya kotak apapun, Fiona selalu saja punya benda yang aneh-aneh." Tambahnya juga.

"Atau lebih tepatnya benda-benda yang berbahaya…" Timpal Hazel getir yang kemudian membuat Hana dan Ruri jadi ikutan tertawa pahit sendiri mendengarnya.

Sama sekali tidak mengenal topik itu, tadinya 3 anak kelas satu yang ada di situ hanya diam mendengarkan. Tapi Alisa yang juga teringat sesuatu akhirnya malah jadi ingin ikutan. "Bicara tentang kak Fiona, tadi Aku tidak sengaja bertemu dengannya sebelum ke sini." Celetuknya ringan begitu saja.

--Yang efeknya justru sama sekali tidak ringan karena semua orang langsung terdiam menatapnya. Dan Alisa yang merasa familiar dengan reaksi itu, kemudian melanjutkan dengan hati-hati, "Itu… Kami cuma ngobrol sedikit—"

"Dia tidak melakukan apa-apa padamu?" Tanya Hana yang langsung buru-buru berjalan mendekat ke tempat Alisa lagi. "Kau harusnya bilang kalau kau ketemu Fiona."

"Benar. Anak kencur sepertimu mungkin tidak tahu, tapi tidak ada yang namanya 'tidak sengaja ketemu kak Fiona' di sini." Timpal Hazel juga. "Kalau kau ketemu dengannya, kemungkinan besar itu karena kak Fiona yang memang menemuimu." Tambahnya.

"Kalian hanya bicara? Tentang apa?" Tanya Ruri juga.

Langsung diinterogasi seperti itu, tentu saja Alisa jadi terdiam agak takut seakan dia sudah melakukan kesalahan besar menceritakannya. Tapi setelah dipandangi terus-terusan, Alisa pun akhirnya berusaha menjawab, "Ka-Kak Fiona cuma tanya sedikit tentang kak Ruri yang ke sini beberapa hari lalu. Itu saja… Ah, kak Fiona juga tanya tentang kesehatan kak Hazel."

"Pfft. Yep. Tentu saja kak Fiona penasaran dengan kesehatanku." Cibir Hazel geli.

"Itu saja? Dia tidak mengatakan atau melakukan hal yang lain?" Tanya Hana lagi. Soalnya kalau memang hanya itu, sebenarnya masih tidak terlalu mengkhawatirkan. Karena cepat atau lambat Fiona juga akan tahu tentang alasan Ruri ke sini. Ditambah, itu juga bukan hal yang perlu ditutupi. Tapi kalau ada yang lain, itu harus dicurigai.

Masih agak gemetar, Alisa kembali terdiam untuk beberapa saat. Tapi kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. "Kak Fiona juga memberikan bunga ini." Katanya sambil menunjukkan sebuah bunga kecil yang warnanya kuning.

"Bunga?" Ulang Hana. "Ruri, cepat lihat bunganya. Apa itu beracun?" Pintanya.

Meski Ruri—yang sebenarnya sudah melihat bunga itu daritadi—hanya memiringkan kepalanya agak heran. "Itu dari Fiona? Aku kira kau memetiknya sendiri." Tanyanya. "Itu cuma bunga Avia. Bunga yang tumbuh di sekitar halaman belakang asrama biasa." Jelasnya pada Hana yang masih kelihatan khawatir. "Malah, sebenarnya bunga itu bisa digunakan sebagai obat."

"Benarkah? Untung deh." Sahut Hana yang akhirnya bisa melemaskan bahunya sedikit.

'Tapi masalahnya…' Ruri masih curiga akan sesuatu. "Tapi sewaktu Aku pertama ke sini, Aku juga melihatmu mengantunginya. Yang warna biru." Kata Ruri lagi pada Alisa. "Jangan-jangan itu dari Fiona juga?" Tanyanya. Dan seperti yang dikhawatirkan, anaknya mengangguk.

"Maksudnya kau sudah pernah bertemu dengannya sebelum hari ini?" Tanya Hana lagi. Apalagi saat melihat Alisa malah memberikan pandangan diam yang aneh, perasaan Hana malah jadi semakin tidak enak. "...Jangan-jangan kau sering bertemu dengannya?"

"Hanya beberapa kali... Kurasa."