webnovel

Pengurus Kebun (2)

Setelah buang sampah di luar, tadinya Hana sudah akan berbalik untuk kembali ke kamarnya lagi. Tapi tepat saat dia akan membuka pintu, dia malah melihat ada sosok perempuan yang muncul dari arah tangga. "Oh, Ruri?" Hana langsung mengangkat tangannya untuk melambai, tapi Ruri sama sekali tidak melihatnya.

Familiar dengan situasi itu, Hana hanya mendesah pelan melihatnya. Soalnya melihat Ruri masih pakai seragam dan memeluki berkas begitu, pikirannya pasti sedang melayang ke mana-mana. "Ruri, kau baru pulang?" Panggilnya kemudian saat Ruri benar-benar sudah di dekatnya. Tapi karena orangnya masih tidak menyahut juga, Hana pun berdiri di depan pintu kamar Ruri untuk menghalanginya.

"Mm? Ah, Hana." Balas Ruri yang akhirnya mengangkat kepala. "Kau sudah pulang?"

"Tentu saja sudah. Ini kan sudah lewat jam 10." Balasnya. "Kau dari mana?"

Diam sejenak, Ruri pun berusaha mencari jawaban yang mudah. "Yaa, kau tahulah, ini-itu."

"Sampai malam begini? Tidak biasanya kau pulang lebih telat daripada Rei."

"Rei ada?" Balas Ruri yang malah bertanya balik. "Padahal daritadi Aku mencarinya, tapi sepertinya teleponnya mati."

"Ah, itu…" Hana jadi mulai berekspresi pahit lagi. "Mungkin dia mematikannya untuk menghindari teleponku juga…" Balasnya. "Tapi kau mencari Rei? Apa ada sesuatu? Terus itu berkas apa?" Tanya Hana mulai penasaran.

Tapi bukannya tidak mau menjawab, sebenarnya Ruri hanya tidak begitu yakin bagaimana harus menjelaskannya dengan singkat. Sehingga akhirnya dia memutuskan untuk menggunakan jalan pintas lagi. "Bukan apa-apa." Katanya singkat sambil mulai membuka kunci pintunya.

Tapi Hana yang sudah menduga jawaban itu ternyata malah ikutan melangkah masuk ke dalam. "Kau belum makan kan? Akan kubuatkan sesuatu." Katanya. Dan seluruh semesta tahu kalau tidak ada yang bisa menghentikan Hana kalau dia sudah begitu. Mungkin kecuali Rei dan Fiona yang tidak akan segan untuk melemparnya keluar kalau mereka memang tidak mau. Tapi yang pasti Ruri tidak begitu.

Atau malah, Ruri sebenarnya suka-suka saja kalau Hana peduli padanya. Hanya saja satu, Hana memang banyak bertanya. Makanya sebelum itu terjadi, Ruri sudah memastikan kalau dia duduk di sofa lantai empuk yang akan melindungi pantat dan punggungnya kalau-kalau Hana benar-benar akan menceramahinya.

Tapi tidak langsung masuk ke sesi interview, awalnya Hana membiarkan Ruri untuk makan spaghetti-nya terlebih dulu selagi dia sendiri melihat berkas-berkas yang tadi dibawa Ruri. "Ini resep-resep untuk ramuan sihir ya? Apa daritadi kau di kebun dan membuat ramuan yang sulit atau semacamnya?"

"Semacam itu? Lebih tepatnya Aku hanya sedang mencari resep ramuan."

"Ramuan untuk apa?"

"Ramuan untuk anak yang bisa lihat energi sihir." Jawab Ruri. "Tadi sih Aku sempat memberikan ramuan yang biasanya untuk anak yang bisa lihat roh, tapi sayangnya tidak bekerja. Makanya tadi Aku coba cari resep yang lain."

"Energi sihir…?"

"Anaknya sih hanya mengeluh karena pandangannya terganggu kabut-kabut tidak jelas. Tapi kalau perkiraanku benar, yang dia lihat itu sebenarnya energi sihir. Soalnya Aku pernah baca kalau energi sihir itu bentuknya memang seperti asap kabut."

Hana kelihatan ikut berpikir. "Mungkin karena kemampuan sihirnya? Dia bisa sihir apa?"

"Itu dia anehnya. Tidak ada. Soalnya dia termasuk anak yang tidak punya kemampuan sihir apapun." Balas Ruri dan Hana pun kembali diam. "Tidak biasa kan? Makanya Aku harus tanya Rei. Siapa tahu dia punya solusinya." Tambahnya.

Tapi karena Hana malah mulai memasang wajah getir lagi, Ruri pun akhirnya tidak bisa tidak bertanya. "Tapi kalian bertengkar lagi? Kalian sering sekali bertengkar, kau tahu?" Katanya dan kali ini Hana semakin menekuk bibirnya. "Dibanding dengan Fiona, anehnya Rei lebih sering bertengkar denganmu."

"Maksudmu Aku lebih menyebalkan dari Fiona?" Tanyanya sedih.

Sedikit menyesali komentarnya, Ruri jadi terdiam lagi. Tapi karena Hana sudah terlanjur masuk mode curhat, Ruri harus menemaninya sampai selesai atau Hana tidak akan mau pulang ke kamarnya sendiri.

"Yah, daripada itu, kau hanya terlalu peduli pada segala hal." Balas Ruri akhirnya. Dia agak sedikit menimbang-nimbang perkataan selanjutnya, tapi kemudian Ruri tetap melanjutkan dengan hati-hati. "Dan anehnya kau selalu berusaha melibatkan Rei untuk itu."

Semakin lemas, Hana menggeletakkan kepalanya ke meja. "Ya… Hilda juga bilang begitu tadi."

"Kalau kau sudah coba curhat ke Hilda, kurasa tidak ada yang bisa kukatakan lagi." Kata Ruri agak mendesah. "Tapi memangnya kalian bertengkar tentang apa?"

Mengalihkan pandangannya kembali ke arah Ruri, Hana kelihatan tidak yakin harus memberitahunya atau tidak. Tapi akhirnya dia tetap menjawab, "Itu, hanya, anggota Vip baru..."

Hana mengatakannya dengan suara super pelan, tapi Ruri ternyata mendengarnya. "Ahh, pantas saja." Balasnya dengan tawa pelan. "Kau masih iseng mengganggunya dengan itu? Bukankah Rei sudah menolakmu, berapa kali? Enam kali?"

"Delapan kali, ya." Balasnya cemberut. Tapi mendengar Ruri—seperti yang sudah diduga—masih tidak terlalu mendukungnya, Hana jadi gemas lagi. "Kau masih berpikir itu tidak perlu? Daripada lewat pemilihan langsung, kan lebih baik kalau kita yang memilih anggotanya sekarang."

"Tapi tahun depan kan kita juga sudah lulus. Siapapun yang jadi pengurus Osisnya sudah tidak ada urusannya dengan kita."

Terdiam sejenak, Hana berusaha mencari balasan untuk menyanggahnya. "Yaa, tapi sebenarnya secara teknis kita masih akan ada di sekolah untuk 2 bulan setelah pemilihan Osis sampai akhirnya kita lulus." Koreksi Hana tapi Ruri masih tidak kelihatan tertarik. "Atau setidaknya tidakkah kau ingin mencari orang yang bisa menggantikanmu mengurus kebun?"

"...Asalkan bukan orang seperti Fiona kurasa tidak masalah."

"Terus bagaimana kalau ada orang yang seperti Fiona?"

"Tentu saja tidak ada orang yang seperti Fiona."

"Ya tapi kalau ada bagaimana?"

"Tidak ada!" Putus Ruri. "Jangan mengatakan sesuatu yang menyeramkan begitu, ya ampun. Satu saja sudah merepotkan setengah mati. Apalagi kalau ada yang lain." Katanya dan Hana pun akhirnya mengubur kepalanya di meja lagi. "Tapi memangnya anak mana yang mau kau kenalkan ke Rei?"

"Ada. Anak kelas satu."

"Apa tipe anak yang naif lagi?" Tanya Ruri dengan nada agak mencibir. "Maksudku, ya, Rei lemah dengan orang baik. Tapi masalahnya kebanyakan orang naif tidak begitu pintar berurusan dengan masalah, yang justru paling dibenci Rei."

Hana mengangkat kepalanya untuk protes. Meski dia tidak langsung membalas dan malah memasang tatapan kesal dulu. "Yang ini tidak! Kurasa..." Balasnya. "Aku memang baru memperhatikannya sebentar, tapi kurasa Alisa cukup pintar dan teliti. Walaupun agak pemalu, kurasa dia tipe yang akan selalu berhati-hati dengan tindakannya. Terutama kalau mengenai orang lain… Pokoknya kau harus percaya padaku untuk kali ini. Tidak bisakah kau mendukungku?"

Ruri terdiam sejenak dengan wajah bingung. "Tunggu, coba ulang lagi."

"Percaya padaku!" Kata Hana sambil menggenggam tangan Ruri.

"Tidak. Maksudku namanya." Sela Ruri. "Alisa? Jangan-jangan Alisa yang anggota baru di tempat Hazel?"