webnovel

Penanggulangan Bencana

"—Maksudku, bagaimana bisa kau malah membiarkan Fiona mengurus makanan di sini? Atau setidaknya kan bisa panggil anggota Osis yang lain sebagai backup atau semacamnya? Dan kau bahkan tidak memanggil Hana atau Rei? Kau kan harusnya tahu kalau Fiona itu bla bla bla—"

Tidak bisa membantah banyak, Hilda hanya bisa diam sabar selagi semua anggota Osis lain mengajukan protes ke arahnya.

Tapi tiba-tiba saja Fiona yang ada di dekat situ—yang sedang pura-pura diikat di tiang—malah kedengaran tertawa geli. "Pfft! Maksudnya kalian bisa menghentikannya kalau saja kalian di sini lebih awal? Yaa, tentu saja. Lol." Cibirnya. "Hazel saja masih lebih berguna daripada kalian semua." Tambahnya.

Suasananya sempat jadi hening setelah itu. Tapi kemudian Loki, si ketua divisi keamanan akhirnya mendesah berat dan meremas jarinya sendiri. Padahal kalau sedang pakai seragam biasa dia hanya kelihatan tinggi. Tapi saat pakai baju olahraga sleeveless begitu, dia jadi kelihatan sangat besar dan bulky.

"Pokoknya awas saja kalau sampai ini terjadi lagi." Katanya pada Hilda. "Aku tidak akan membiarkannya begitu saja bahkan meski kau dekat dengan Rei." Tambahnya mengancam dan dia beserta yang lain pun pergi.

"Dia berisik sekali seperti biasa." Gerutu Fiona.

Terduduk lemas, Hilda pun akhirnya ikutan bersandar di meja yang ada di sebelah Fiona. "Hh, kau benar-benar tidak bisa pilih hari lain untuk buat masalah…" Desahnya.

"Memang ada bedanya kalau Aku melakukannya di hari lain?" Balas Fiona.

"Cuma… Mood-ku kan bagus kalau minggu."

"Ya, Aku juga. Mungkin itu sebabnya Aku dapat ide bagus saat bangun tidur tadi."

"...Fi, Aku tahu kau bisa memotong talinya sendiri, tapi tolong jangan kabur dulu atau mereka akan kembali mengomeliku." Kata Hilda lagi yang melihat Fiona kelihatan seperti sedang menggesek-gesek talinya.

"Ya tapi talinya bikin gatal." Keluh Fiona balik. "Kau tidak bisa cari tali yang lain…"

"Itu tali yang tadi digunakan kelincimu padaku."

Di lapangan sendiri, orang-orang masih sibuk dengan pemulihannya masing-masing. Kebanyakan sedang sibuk mencari handphone mereka yang hilang, atau cari jaket untuk menutupi baju mereka yang robek.

Tapi ada juga beberapa yang sudah sibuk mengobati orang lain yang terluka akibat kejadian tadi. Termasuk orang-orang galak tadi. Selagi Hilda dan Fiona cuma bisa diam untuk beberapa lama sembari memperhatikan semua kesibukan di lapangan.

Tapi kemudian Hilda merasa kalau dia harus menanyakannya setidaknya sekali. "Tapi kenapa kau melakukannya? Rei bahkan tidak di sini."

"Justru…" Balas Fiona yang malah mulai terkekeh. "Karena mengganggu Rei langsung sudah tidak ada efeknya, Aku jadi melakukannya di sini! Harusnya Aku sudah tahu, tapi yang seperti ini memang lebih efektif."

Agak bingung, Hilda memiringkan kepalanya. "Tapi Rei tidak peduli… Dia bahkan tidak begitu suka acara senam ini. Kurasa merusak acara ini tidak akan membuatnya kesal juga."

"Ya tapi beda ceritanya kalau saja Aku melukaimu." Balas Fiona dan Hilda jadi terdiam. "Tapi yaa, jatah itu juga sudah kuberikan pada Hana. Jadi tadi Aku cuma mau mengganggu Arin sedikit."

"Maksudnya—"

Tapi sebelum Hilda sempat melanjutkan pertanyaannya, dia akhirnya melihat wajah yang daritadi sudah ditunggu-tunggu. Yaitu Rei dan Ruri.

Ruri kelihatan masih memakai piyamanya, tapi karena dia memakai kardigan hitam di luarnya, penampilannya tidak segitunya lusuh. Beda dengan Rei yang pakai baju training. Dia justru kelihatan lebih kacau karena set baju yang harusnya berwarna putih itu kelihatan belepotan tanah seakan dia habis gali kubur seseorang. Atau mungkin juga menguburnya.

Hilda tidak bisa melihat ekspresi mereka dengan jelas karena mereka masih ada di seberang lapangan, tapi anehnya mereka berdua kelihatan agak bingung dengan situasi yang seperti habis diterpa badai itu. Seakan mereka memang bukan datang karena hal itu.

"...Rei! Ruri!" Tapi akhirnya Hilda tetap memanggil mereka.

"Ada apa di sini?" Tanya Ruri saat mereka berlari mendekat.

"Apa lagi…" Sahut Rei yang sudah bisa membayangkan ada apa setelah melihat kalau ada Fiona di situ--yang juga melambaikan tangannya pada mereka.

"Kalian ke mana saja? Tadi kacau sekali." Kata Hilda. "Tadi Fiona bawa kotak musik yang ada kelincinya, lalu mereka jadi raksasa…" Dan Hilda pun mulai menceritakan kejadian tadi.

Ruri mendengarkan dengan seksama sembari ikut menjelaskan kalau handphonenya hilang dan dia ada di kebun semalaman, jadi dia sama sekali tidak tahu berita apapun. Rei juga sama. Dia tadinya sedang main lumpur entah di mana, lalu saat kembali dia tidak bisa menemukan Hana. Jadi siapa tahu dia sedang ikutan acara senam di sini, mereka berdua pun mencarinya ke sini… Tapi ternyata di sini malah sudah ditimpa bencana duluan.

"Hana tidak ada…? Tapi dia tidak ke sini…" Balas Hilda dan semua orang pun mulai menoleh ke arah satu orang.

"Hana mana?" Tanya Rei, tapi Fiona cuma mengulum senyumnya. "Hana mana!"

"Entahlah. Tadi sih sama Hilda." Sahut Fiona akhirnya, meski orang yang namanya disebut sama sekali tidak paham dan cuma bisa menunjuk wajahnya sendiri dengan ekspresi kebingungan.

Sampai akhirnya dia ingat buku diary Hana yang tadi diberikan Alisa. "...!! Ya ampun!" Celetuknya panik yang langsung buru-buru mencari ke dalam tenda. Semoga saja bukunya tidak hilang apalagi terbakar.

Dan selagi Hilda kerepotan mengubrak-abrik tendanya, Fiona ternyata sudah melepaskan tali gatalnya. "Tapi apa kau habis mengubur seseorang? Kenapa kau dekil sekali—"

Tapi Rei sudah langsung menggunakan sihirnya untuk kembali mengikat Fiona ke tiang itu, bahkan sampai tiangnya bengkok. "Aku sedang tidak mood, jadi tutup mulutmu."

Dan tidak lama kemudian Hilda pun kembali dengan buku diary yang untungnya masih utuh itu. "Rei, ini—"

"Kak Rei!" Tapi tiba-tiba saja terdengar suara lain dari lapangan, yang ternyata adalah Hazel. Dia kelihatan sedang menggendong Alisa dengan tangannya seakan dia bayi kucing betulan.

Tapi semuanya justru tahu kalau itu bukan pertanda baik. Karena alasan Hazel menggendongnya seperti itu mungkin adalah supaya dia tidak menyentuh luka-luka Alisa. "Ini, cepat sembuhkan dia! Rusuknya banyak yang patah." Adunya kemudian.

"Anu, tidak banyak kok, cuma 3 mungkin…" Sahut anaknya yang untungnya masih bisa bicara.

Rei hanya mengerutkan alisnya bingung, tapi lagi-lagi Hilda memasang wajah panik. "Bukannya tadi Navi mengobatinya?" Selanya. Soalnya karena tahu dia akan sibuk diprotes oleh anggota Osis yang lain, tadi dia sudah memastikan untuk menyerahkannya dulu ke salah satu anggota Pmr untuk diobati.

"Iya, tapi si Kei sialan itu malah menariknya untuk menyembuhkan luka pacarnya dulu." Balas Hazel sambil menurunkan Alisa pelan-pelan ke atas meja.

"Itu, tadi kakinya juga kena api dan es!" Kata Arin kemudian. Bahkan Mary juga ikut menambahkan, "Tadi kepalanya juga terbentur keras dan berdarah!"

"..." Sebagai satu-satunya orang yang bisa sihir penyembuhan di situ, Rei pun dipandangi semua orang.

Orangnya sendiri lagi-lagi kelihatan enggan, tapi akhirnya dia pun mengalah. "Pandanganmu buram tidak? Ini berapa?" Tanyanya sambil mengacungkan jarinya dengan malas.

"Dua..." Jawabnya, yang untungnya benar. "Itu, tadi bukannya berdarah, tapi cuma tergores sedikit…"

"Kalau begitu tidak parah. Diobati nanti juga tidak masalah." Sahut Rei yang akhirnya tetap memilih untuk mengambil buku diary tadi.

"Tunggu, Rei, kau tidak mengobatinya dulu?" Kata Hilda sambil menahan lengannya.

"Hana bisa mengobatinya setelah Aku mengeluarkannya."

"Ta-Tapi…"

Rei kelihatan mengabaikannya lagi dan mulai membuka diary itu. Tapi entah apa yang dia lihat, dia malah langsung menutupnya lagi. "...Tapi ya kurasa Hana juga bisa menunggu." Celetuknya yang setelah itu kembali mendekat ke meja. "Sini kulihat sebentar."

Mulai dari kepalanya, Rei pun mulai memeriksa semua luka yang tadi diadukan oleh teman-teman Alisa. Tapi setelah beberapa saat, lagi-lagi Rei malah mengerutkan alisnya.

"Kenapa lukamu banyak sekali…" Gerutunya tidak senang, yang setelah itu langsung memandang Alisa dengan tatapan protes. "Kau pasti sok-sok an berusaha melawan kelinci Fiona hanya dengan sihir telekinesis saja ya?" Tuduhnya.

Anak yang ditanya cuma bisa gelagapan tanpa mengeluarkan suara apapun. Tapi Fiona yang masih menempel di tiang malah kedengaran terkekeh. "Dia seperti kecoa, kau tahu. Kalau kau mau lihat, Aku tadi merekam—BWRB."

Tapi untungnya kali ini Rei menyumpal mulutnya dengan lap yang tadinya ada di dekat kompor. Baru setelah suara Fiona sudah tidak kedengaran, Rei pun melemaskan bahunya dan mulai siap-siap menggunakan sihirnya. "Ruri, kau bawa obat bius kan?" Pintanya pada Ruri dulu.

Tapi saat Ruri sudah akan mengeluarkan kotak kecilnya, Alisa tiba-tiba saja bicara lagi. "I-Itu, anu, apa nanti Aku akan pingsan kalau pakai itu?" Tanya si pasien.

"..." Rei hanya diam, jadi akhirnya Ruri yang membalas, "Kalau kau tidak mau, Aku punya yang cuma bikin kebas dan ngantuk saja." Katanya.

Tapi entah kenapa, anaknya masih saja kelihatan enggan. "Itu, Alisa, tulangmu kelihatannya banyak yang bergeser, kau tahu. Jadi meski diobati dengan sihir, rasanya akan tetap sakit." Jelas Ruri lagi.

Tapi anaknya tetap saja menggeleng dan kembali memandang ke arah Rei. "Ka-Kalau tidak harus…"

"...Ya terserah. Kalau begitu gigit saja ini dan remas mejanya." Balas Rei yang langsung menyodorkan sapu tangan ke mulutnya. Walaupun bukannya meremas meja seperti yang disuruh, anaknya malah meremas jaket si dokter.

Rei kelihatan akan memprotes itu, tapi karena jaketnya juga sudah dekil, dia pun akhirnya membiarkannya. Dan tanpa aba-aba apapun, dia langsung mulai membetulkan semua tulangnya.