webnovel

D+1

Sebagai sekolah sihir yang penjelasan dan keberadaannya tidak jelas, Aviara jelas punya segudang aturan untuk membatasi murid-muridnya. Mulai dari pembatasan daerah sekolah, penggunaan sihir semua murid dan pegawai, sampai mengenai akses internet ke luar sekolah. Yang artinya 'No Social Media'!

Tapi meski begitu, penyebaran berita di Aviara sebenarnya termasuk lumayan ekspres. Karena walaupun tidak bisa mengunggah apapun ke sosial media umum, Aviara tetap punya forum khusus di mana semua murid boleh mengupload apapun yang mereka mau ke sana.

Dengan syarat harus berupa tulisan lebih dari 3 paragraf yang disertai foto, yang artinya harus berbentuk artikel dan bukannya cuma update status tidak penting.

Makanya jika ada kejadian apa-apa—seperti kemarin—murid-murid yang tadinya punya hobi lain pun langsung berubah haluan jadi pembaca berita atau bahkan sampai ikutan menulis esai juga.

Walaupun daripada ikutan baca artikel di forum—yang sudah pasti mereka tahu karena melihatnya langsung—Mary dan Arin jelas lebih tertarik mendengar cerita Alisa. Bahkan saat mereka sudah mendengarnya berkali-kali.

"Terus bagaimana lagi ceritanya setelah kak Rei membunuh monster golem itu??" Pinta Mary untuk kesekian kalinya.

"Ya, itu, kak Rei cuma pergi membawa kak Hana pergi. Lalu Aku dan yang lain pergi ke pondok kak Hazel untuk istirahat."

"Terus yang menyembuhkan luka kalian siapa?" Tanya Arin juga.

"Kami ketemu kakak kelas yang bisa sihir penyembuhan di jalan…"

"Kya! Andai saja Aku bisa lihat langsung!" Teriak Mary akhirnya karena gemas sendiri. "Wah, tapi sampai bisa membunuh golem itu dalam sekejap, bahkan setelah mengeluarkan kak Hana... Ketua Osis kita memang beda level ya." Lanjutnya.

Meski Arin yang menyadari ekspresi getir Alisa pun kemudian menendang kaki Mary. Soalnya meski cerita itu kedengarannya seru, Alisa yang mengalami semua itu secara langsung jelas tidak melihatnya seperti itu.

Walaupun tentu saja Arin juga bukannya tidak penasaran dengan ini-itu. "Tapi itu artinya kak Rei minta tolong kak Kei karena sihir pelindungnya? Apa sihir itu segitunya khusus?" Komentarnya.

"Tentu saja! Sihir pelindung, sihir penyembuhan, dan sihir-sihir yang seperti itu kan tidak banyak yang bisa menggunakannya." Balas Mary. "Makanya Osis juga sebisa mungkin selalu merekrut orang yang bisa untuk jadi anggota. Kak Kei juga katanya termasuk yang sulit diajak masuk." Tambahnya.

"Benarkah…?" Celetuk Alisa agak heran. Karena di bayangannya, orang seperti Kei sepertinya akan langsung senang-senang saja kalau diminta masuk Osis.

Tapi karena reaksi kedua temannya tidak seperti yang diharapkan, Mary pun melanjutkan, "Apa? Mentang-mentang sekarang kau juga bisa sihir pelindung, kau pikir itu bukan sesuatu yang hebat?" Cibirnya ke arah Arin.

Arin sempat mengerucutkan bibirnya dengan getir mendengar itu, tapi dia sendiri masih penasaran dengan penjelasan lanjutannya. "Cuma ya gitu… Lagian sihir-sihir 'seperti itu' maksudnya sihir yang bagaimana?"

"Yaa… Ya pokoknya seperti itu." Balas Mary, meski Arin masih memandanginya dengan pandangan tidak puas. "Seperti itu, ya, seperti itu. Memangnya kau mau Aku jelaskan apa lagi?" Katanya yang malah protes balik.

"Entahlah. Aku kan hanya penasaran apa ada kriterianya." Balas Arin yang tidak senang malah diprotes. "Kalau tidak tahu bilang saja."

"Kata siapa Aku tidak tahu? Aku tahu kok." Balas Mary. "Itu kan, kesamaan sihir penyembuhan dan sihir pelindung, mm, itu…" Tapi karena dia tidak juga mendapatkan jawabannya, dia pun akhirnya menepuk-nepuk pundak Alisa. "Itu lho, Alisa, kau tahu tidak?"

"Eh? A-Apa?" Sahutnya yang ternyata tidak begitu mendengarkan perdebatan mereka. Maklum saja, pikirannya masih suka melayang ke mana-mana gara-gara kemarin.

"Itu, persamaan sihir penyembuhan dan sihir pelindung. Menurutmu kenapa tidak banyak murid yang bisa menggunakannya?" Jelas Mary lagi.

"Ah, itu… Mm, mungkin karena itu termasuk sihir yang abstrak."

"Iya, itu maksudku!" Timpal Mary, meski tentu saja dia juga tidak begitu memahaminya. "Abstrak itu maksudnya…?"

Tidak langsung menjawab, Alisa juga perlu terdiam sejenak untuk mencari penjelasan yang mudah. "Mm, maksudnya adalah sihir yang tidak benar-benar punya bentuk solid dan pasti." Kata Alisa akhirnya.

Tapi karena kedua temannya masih diam, dia pun melanjutkan, "Itu lho, sihir-sihir seperti itu kan wujudnya kadang sulit terlihat dan sensasinya kebanyakan tidak bisa dirasakan selain orang yang kena efeknya langsung. Makanya orang yang bisa menggunakannya juga belum tentu bisa mengendalikannya dengan baik." Tambahnya.

"Yep, itu. Itu yang tadi mau kukatakan." Timpal Mary lagi yang masih tidak mau kehilangan harga dirinya.

Walaupun daripada meladeni Mary, Arin masih terdiam dengan ekspresi herannya. Makanya Alisa bertanya lagi padanya. "Apa masih belum jelas…?"

"Tidak… Hanya saja kau terdengar seperti bisa menggunakannya." Balas Arin.

Untuk sedetik jantung Alisa sempat mencelos mendengar itu. Padahal selama ini dia hampir tidak pernah keceplosan tentang hal-hal ini, tapi sepertinya pikirannya masih belum benar-benar lurus semenjak kejadian kemarin.

Tapi karena Alisa agak lelah untuk mencari balasan yang cepat pada Arin, dia pun hanya tersenyum dengan getir. Kalau ditanya sekali lagi, Alisa mungkin akan langsung menceritakannya begitu saja. 'Aku memang bisa sihir lain', begitu.

Padahal karena tidak pernah begitu membutuhkannya, Alisa sama sekali tidak punya masalah menyembunyikan kemampuan sihirnya. Alisa sih berjanji dalam hati akan mengatakannya pada Mary dan Arin suatu saat, tapi sejauh ini perasaan itu belum mepet-mepet banget. Sampai kemarin.

Siapa sangka kalau Fiona benar-benar SEBERBAHAYA itu?!

Padahal Alisa bisa saja menggunakan sihirnya kalau memang perlu, terlepas dari hukuman yang mungkin akan dia dapatkan dari Osis. Tapi karena sudah terlanjur menyembunyikannya, Alisa jadi tidak bisa tidak ragu saat akan menggunakannya.

Dan saat ragu seperti itu, masalahnya malah sudah selesai duluan, sewaktu senam maupun sewaktu menyelamatkan Hana. Yang justru mungkin bagus?? Tapi entah kenapa setelah memikirkannya sekarang, rasanya Alisa jadi berharap kalau dia harusnya ketahuan saja kemarin…

Lalu satu lagi, karena sihir Rei yang dia lihat kemarin…

Alisa bukannya punya ingatan yang bagus. Tapi sihir bayangan yang digunakan Rei kemarin benar-benar terlihat seperti sihir yang dipakai oleh salah satu tamu bibinya, yang ujung-ujungnya berusaha menguburnya hidup-hidup. Sihir hitam.

'Tapi apa itu mungkin?' Bahkan meski sekolah ini punya kekuatan untuk memberikan kemampuan sihir pada orang biasa, apa iya sampai ada yang bisa sihir hitam begitu saja? 'Belum lagi, perkataan kak Rei kemarin juga rasanya--'

"Alisa… Kau tidak apa-apa?" Tanya Arin lagi karena dia mulai merasa khawatir melihat raut wajah Alisa yang semakin muram. Bahkan lebih muram daripada saat tulangnya banyak yang patah kemarin. "Ah, apa kau masih khawatir dengan keadaan kak Hana?" Tebaknya.

Tapi seperti diingatkan oleh masalah baru, Alisa pun semakin menekuk bibirnya turun. "Ah, benar. Itu juga." Celetuknya sedih. Padahal dia sudah minta Ruri dan Hazel untuk memberitahunya kalau mereka tahu keadaan Hana. Tapi sampai sekarang dia belum dapat pesan apa-apa.

"Yah, kak Rei kan sudah mengurusnya, jadi kak Hana juga harusnya sudah baik-baik saja—Oh, itu bis kalian." Kata Arin kemudian. "Kalau begitu Aku ke asrama ya—"

"Eh, tunggu!" Tahan Mary. "Kita kan juga mau ke asrama. Jadi bareng saja."

Tapi karena bingung, Arin pun menaikkan sebelah alisnya. "Kalian tidak ke Osis hari ini?"

"Aku bisa ke sana nanti, dan Alisa juga katanya boleh libur dulu." Jelas Mary. "Jadi untuk sekarang kita akan ke lapangan dulu untuk mengambil tasku yang hilang kemarin. Handphone Alisa yang rusak juga. Soalnya katanya semua barang yang hilang kemarin sudah mulai dikumpulkan." Jawab Mary.

Tidak tahu ada informasi itu, Arin kelihatan agak kaget. "Ada yang seperti itu?"

"Makanya. Rajin-rajin baca forum sepertiku." Balas Mary. "Bukankah sepatumu juga hilang sebelah kemarin? Siapa tahu sudah ketemu juga." Katanya lagi.

Meski Arin yang mendengar itu malah tidak kelihatan tertarik. "Aku lihat sepatuku terbakar kemarin, jadi kurasa sudah tidak ada harapan."

"Heyy, kau lupa kita ada di sekolah apa?"