webnovel

Eh, Tidak...?

Padahal seingat Arin tadi pagi tempat itu masih dibatasi dengan garis polisi gambar hello kitty yang dipasang oleh anak-anak dari divisi keamanan kemarin. Tapi bukan cuma sudah dibuka, ternyata keadaannya juga sudah jauh lebih rapi dari kemarin—karena semua barang-barang yang kemarin beterbangan kemana-mana juga sudah mulai ditata.

Walaupun kalau melihat semua barang yang dijejer di pinggir lapangan, suasana ini jadi terlihat seperti acara bazar barang bekas—barang hancur malah. Dan bukan cuma mereka, ternyata semua orang yang mencari barang-barang mereka juga sudah mulai mengantri di pinggir lapangan.

"...Sepertinya itu handphoneku." Kata Alisa, menunjuk sebuah handphone dengan gantungan bunga miliknya. Tapi walaupun sudah tidak membeku, layarnya tetap saja kelihatan retak parah. Begitu juga tas Mary yang robek-robek mengerikan dan sepatu gosong yang mungkin merupakan milik Arin.

"Permisi, Aku mau ambil handphone, tas, dan sepatu itu." Pinta Mary kemudian pada orang yang menjaganya. Baru setelah mereka bertiga memegang barang yang sudah bodol itu, mereka pun berjalan ke arah deretan meja dengan papan bertuliskan 'perbaikan'..

"Jadi nanti ada yang bisa memperbaikinya?" Tanya Arin.

"Tentu." Sahut Mary. "Jarang-jarang kita bisa lihat divisi perbaikan secara langsung."

"Divisi perbaikan?" Ulang Alisa agak heran, soalnya dia tidak ingat ada divisi dengan nama seperti itu di Osis. "Ahh, maksudmu sub-divisi yang ada di bawah divisi penataan itu?"

"Oh. Ah, kurasa iya." Jawab Mary yang sebenarnya juga tidak begitu ingat detailnya. "Tapi meski Aku sudah menduganya, antriannya panjang sekali ya…" Komentarnya kemudian. Soalnya meski di situ ada sekitar 5 meja yang mengalami perbaikan, antrian muridnya bisa sampai 20-an per meja

Tapi selagi mereka melongokkan kepala mereka untuk memeriksa apa ada barisan yang lebih pendek, Alisa malah menemukan kalau jauh di ujung lapangan kelihatannya masih ada meja lagi. "Itu, di sana sepertinya sepi." Kata Alisa sambil menarik-narik lengan Mary. "Mungkin itu meja baru?"

"Benarkah? Kalau begitu cepat sebelum mulai ramai juga!" Celetuk Mary yang tidak mau membuang waktu sedetik pun dan langsung mulai lari ke ujung--

"ASDJK#$$--" Tapi begitu sampai, Mary malah menghentikan langkahnya.

"Kenapa? Katamu harus buru-buru." Alisa sudah akan berkata, tapi Mary malah sudah mendorong-dorong mereka balik untuk masuk ke antrian yang sebelah saja.

Tapi sayangnya si pemilik meja sudah melihat mereka duluan. "Hei, kalian!" Panggilnya sambil melambaikan tangannya.

Dan begitu Alisa dan Arin melihat wajah Fiona di balik meja itu, mereka berdua pun langsung ikutan Mary untuk sembunyi di antrian sebelah.

"Ke-Kenapa dia ada di situ?!" Celetuk Arin. "Apa tidak ada yang mengurungnya atau semacamnya?" Protesnya lagi.

"Mungkin karena tidak ada yang bisa!" Balas Mary.

"Atau mungkin kak Fiona memang sedang dihukum untuk bantu-bantu di sini?" Kata Alisa juga. Soalnya kalau tidak begitu anggota Osis yang lain juga harusnya tidak akan menyediakan meja untuknya kan?

Walaupun Fiona yang menurut juga masih harus dipertanyakan alasannya…

"Tapi kak Fiona tidak akan menghampiri kita ke sini kan…?" Tambah Mary sambil takut-takut mengintip ke meja itu lagi.

Fiona masih melambaikan tangannya, tapi untungnya dia hanya diam dan duduk di sana dengan santai. Sehingga untuk beberapa saat, ketiganya pun bisa mengantri dengan tenang di meja sebelah.

Tapi tidak berapa lama kemudian, Alisa mulai mendengar suara samar-samar seakan Fiona sedang bicara dengan seseorang--yang kedengarannya sedang protes kenapa Fiona tidak bekerja atau semacamnya. Dan Alisa yang tidak bisa tidak penasaran pun melongokkan kepalanya lagi untuk mengintip ke sana.

Dan begitu dia melihat sosok yang sedang berdiri di samping Fiona, Alisa tidak pakai pikir 2 kali untuk langsung lari ke sana. "Kak Hana!" Panggilnya.

Dia bahkan sampai memutar ke balik meja untuk langsung menggenggam tangan Hana. "Kak Hana, kakak baik-baik saja? Aku khawatir sekali sejak kemarin." Katanya.

"Ah, Alisa. Iya, Aku tidak apa-apa kok." Balas Hana, meski entah kenapa senyumnya terlihat agak getir saat menjawabnya.

"Kau sendiri sudah tidak apa-apa kan? Aku dengar kau banyak terluka kemarin, gara-gara menolongku juga…" Tanya Hana balik, meski Alisa langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.

Yang lagi-lagi justru malah membuat Hana semakin merasa bersalah. "Maaf ya, harusnya Aku berterima kasih padamu kemarin. Tapi banyak yang harus kulakukan… Pokoknya akan kubalas kapan-kapan." Katanya lagi.

Hana sudah merasakan ini berkali-kali, tapi mungkin karena kali ini Alisa sampai banyak terluka karenanya, perasaannya jadi lebih tidak enak dari biasanya. Soalnya apapun yang sudah Fiona lakukan pada semua orang di sini, Hana tidak punya banyak cara untuk menebus itu.

Membuatnya minta maaf jelas tidak bisa. Tapi menghukumnya juga tidak bisa dilakukan tanpa usaha yang besar. Menjanjikan kalau Fiona tidak akan melakukan itu lagi juga tidak bisa! Pokoknya setiap Fiona membuat masalah, Hana tidak bisa tidak merasa jadi manusia paling tidak berguna di sekolah.

Belum lagi kalau mengingat dia yang tertidur nyenyak saat semua kekacauan itu terjadi kemarin…

"A-Ah, apa kau ke sini karena ada barang milikmu yang rusak?" Kata Hana lagi akhirnya. "Sini berikan. Biar Fiona yang memperbaikinya."

Alisa kelihatan melirik sebentar ke arah Fiona dengan agak ragu, tapi akhirnya dia pun memberikan handphonenya yang rusak. Dan tanpa mengatakan apapun, Fiona ternyata langsung menyulap handphone Alisa jadi mulus lagi. Bahkan tidak lupa memberikan bonus bunga Avia juga padanya.

"...Te-Terima kasih." Celetuk Alisa.

"Wah, kau dengar itu?" Kata Fiona tiba-tiba sambil menyenggol-nyenggol lengan Hana. "Sudah lama Aku tidak dengar ada yang bilang terima kasih padaku."

"Kalau kau berhenti buat masalah terus, mungkin kau akan mendengarnya lagi." Balas Hana, meski Fiona hanya terkekeh mendengarnya.

Dan selagi keduanya sedang bicara begitu, Alisa ternyata sudah berlari untuk memanggil Mary dan Arin yang daritadi cuma mengintipi mereka dari antrian sebelah. Keduanya kelihatan tidak yakin, tapi setelah dibujuk oleh Alisa, mereka pun akhirnya ikutan ke meja Fiona.

"Mary dan Arin boleh minta barangnya diperbaiki juga tidak?" Tanya Alisa hati-hati.

"Tentu saja—Wa?!" Hana sudah akan menjawab, tapi Fiona malah tiba-tiba mendorongnya menjauh.

"Ada syaratnya." Kata Fiona kemudian. "Jawab pertanyaanku yang kemarin." Lanjutnya sambil langsung menyulap tas Mary dan sepatu Arin jadi mulus lagi. Meski tentu saja semuanya tetap terdiam melihat itu.

Kecuali Hana. "Pertanyaan apa?" Tanyanya, jelas tidak paham arah pertanyaannya.

"Itu lho, tentang cara Rei memberikan sihir padanya—"

ZIP! Dan Hana tentu saja langsung panik dan buru-buru menyumpal mulut Fiona sambil tengok kanan-kiri untuk melihat sekitar. "Fi—Kalau ada yang dengar bagaimana?!" Omelnya.

"Kenapa sih? Memangnya kau tidak penasaran?" Balas Fiona setelah menyingkirkan tangan Hana dari mulutnya. "Ruri saja mengaku padaku kalau dia penasaran setengah mati."

"Meski begitu! Mana boleh kau membicarakannya di tempat ramai begini."

Fiona memajukan mulutnya dengan cemberut, tapi setelah itu dia kembali mengalihkan pandangannya ke arah Arin. "Yasudah, kalau begitu setidaknya beritahu Aku sihir apa saja yang kau bisa. Yang jujur."

Glek. Mendengar itu rasanya Arin sudah langsung ingin kabur, tidak menyangka Fiona akan langsung menembaknya begitu. Karena selain tidak boleh mengatakan bagaimana cara Rei memberikan sihir-sihir itu padanya, sebenarnya ada 2 kemampuan sihir yang tidak boleh dia katakan pada siapapun.

"Tuh, kan. Pasti ada sihir khusus yang kau tidak boleh bilang juga." Celetuk Fiona saat melihat pupil mata Arin agak gemetar. "Pacarmu memang licik sekali." Lanjutnya lagi ke arah Hana.

Hana kelihatan ingin membalas itu, tapi akhirnya dia cuma menggigit bibirnya dan kembali memandang ke arah Arin. "Lupakan saja omongan Fiona ya. Tidak usah dijawab juga tidak masalah." Katanya.

"Lagipula menyembunyikan kemampuan sihir kan memang tidak melanggar peraturan." Tambahnya.

"Eh? Tidak...?" Alisa spontan menceletuk.

"..." Melihat reaksi Alisa yang aneh, Fiona sedikit melebarkan senyumnya. "Kenapa? Kau tidak tahu? Di buku peraturan kan memang tidak ada peraturan yang melarangnya." Kata Fiona kemudian.

"Walaupun yaa, yang tidak setuju juga sebenarnya ada banyak." Tambah Fiona dengan tawa sarkasnya.

"Begitu…" Alisa berusaha menyahut sebiasa mungkin.

"Bahkan! Dulu Rei juga--"

Sebelum teman embernya mulai bicara lebih banyak, Hana pun langsung menyumpal mulut Fiona lagi.