webnovel

Wrecked Night

Aku pun membuka sepatu dan menyimpannya di loker. Menaiki lantai berubin kayu yang mulus, sebuah kepala rusa dapat kulihat mencuat pada dinding sebelah kanan. Sedikit lagi menuju bagian samping kirinya ada sebuah lukisan yang dipajang.

Lukisan itu menampakkan pemandangan hutan. Terdapat sebuah batang pohon kayu lapuk yang ditumbuhi jamur dan seekor rusa sedang berada di sampingnya. Hewan ramah yang biasa aku lihat di Tv itu sedang memakan rumput.

Setelah itu aku menaiki tangga yang tidak jauh dari lorong sebelah kiri. Begitu aku sampai di lantai dua, kulihat ada beberapa kamar yang tertutup rapat. Mungkin semuanya telah di isi oleh orang lain, sehingga Nenek itu memberiku ruang di pojok sana.

Tidak lama kemudian aku pun masuk ke dalam kamarku. Untuk kamar dengan ukuran sebesar ini tidak terlalu buruk juga. Aku dijamu kembali dengan pemandangan sederhana, tapi penuh kehangatan.

Sebuah ranjang yang pas untuk satu orang, meja kecil cokelat terlihat tidak jauh darinya berdiri kokoh. Lalu di sebelah ranjang itu terdapat sebuah jendela geser dengan bahan dasar kertas dan kayu tradisional. Baik langit-langit dan lantainya pun terlihat bersih.

Aku terhenyak untuk sementara waktu karena sedang menghayati pengalaman pertamaku menginap di Vestarya ini. Belum sempat aku ingin menyimpan tas, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu kamar.

"Maaf mengganggu. Ini makan malam Anda, tuan"

"Ahh... ya, terima kasih."

Cepat sekali?! Apakah setiap orang di dunia ini memiliki kecepatan memasak seperti itu?

Makan yang ia siapkan juga tidak terlalu mewah. Hampir saja aku kena serangan panik karena mengetahui kecepatan memasaknya yang gila.

Penjamuannya juga lumayan. Dalam nampan yang ia bawa terdapat semangkuk sup kentang hangat dan beberapa sayuran terlihat di dalamnya. Dua buah roti bakar, satu buah ubi rebus, dan segelas air putih.

Setelah ia menaruhnya di atas meja kecil cokelat, ia pun pamit undur diri lalu kembali pergi meninggalkan kamarku.

"Huhh. Sepertinya untuk ukuran makanan seperti ini adalah hal biasa di tempat ini. Jangan terlalu mengeluh, mendapatkan makanan saja sudah bersyukur apalagi di tempat antah barantah seperti ini."

Aku pun memakannya dengan harapan esok hari adalah awal dari penantianku selama ini. Berharap yang terbaik dan melupakan kenangan buruk yang menghantuiku. Entah siapa dan apa maksud seseorang itu mengirimku ke dunia ini.

Apakah aku harus bersyukur atau mengutuknya karena tindakan aneh ini. Aku tidak tahu... bahkan aku tidak tahu kepada siapa aku harus menyalahkan semuanya. Yang pasti saat ini semua itu telah berlalu dan lembaran baru untuk petualanganku masih menanti.

Setelah semuanya selesai dan perutku gembira karena pasokannya kembali terisi. Aku pun langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang yang di dominasi oleh warna putih. Tidak ada selimut ataupun ekstra bantal peluk.

Saat ini aku sedang menatap langit-langit sambil memikirkan masa depanku. Apa yang akan aku lakukan mulai saat ini? ke mana aku akan pergi? Bagaimana caranya agar aku bisa bertahan di tempat ini? dan masih banyak lagi hingga rasa penasaranku mengusik.

Aku pun bangun dan membuka jendela kamarku. Pemandangan yang berbeda dengan nuansa kota di malam hari. Tidak terlalu ramai, tapi aku masih bisa mendengar suara alunan musik sebelumnya. Kali ini hanyalah bunyi merdu dari permainan

Violin. Ya, entah bagaimana bunyi salah satu instrumen ini pas sekali dengan kondisi kota di malam hari.

Lampu-lampu jalan mulai meredup secara perlahan dan muncul Orb-Orb berwarna kuning. Mereka seperti sebuah alternatif pengganti lampu tersebut, mengambang tenang di atas hilirnya udara malam.

Dengan biorama yang natural dan indah. Aku hanya bisa mendeskripsikannya percis seperti penggambaran sebuah novel fantasi generik yang mungkin tidak pernah ada.

Kuraih tas selempangku yang berada di samping lemari. Mengambil buku catatan dan menulis setiap kegiatan hari ini dalam bentuk poin-poin singkat.

"Mencari tempat tinggal sementara, cek. Mendapatkan uang, cek. Mungkin selanjutnya adalah mencari pekerjaan dan juga keperluanku seperti pakaian dan perlengkapan lainnya...."

Setelah selesai aku pun menutup buku itu lalu kumasukkan kembali ke dalam. Kemudian kembali dalam mode berbaring sambil melentangkan setiap anggota tubuhku.

"Ahhh... ini sangat nikmat. Setelah makan, lalu berbaring adalah sebuah kenikmatan tersendiri...."

Begitu aku ingin memejamkan mataku, tiba-tiba saja terlintas di pikiranku tentang perkataan Nenek itu. Aku mungkin tidak terlalu jelas mendengarnya, tetapi jika tidak salah ia mengatakan sesuatu tentang pukul sembilan malam.

"Lupakan saja. Sebaiknya aku tidak terlalu memikirkannya dan lagi jamku mati. Mungkin saja akan ada sebuah pertunjukan atau sejenisnya," ucapku sambil menguap. " Lagi pula ini adalah waktu yang tepat untuk mengistirahatkan tubuhku."

Tidak lama setelah aku menutup mataku dan mencoba untuk menyerahkan semuanya pada alam mimpi. Tiba-tiba saja tepat di samping kamarku sebuah suara keras layaknya ledakan terdengar mengentak dan itu berhasil menjatuhkan tubuhku ke lantai.

"Argghh—sialan. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah ini yang dimaksud Nenek itu?"

Aku yang sontak terbangun karena terjatuh dari tempat tidur merasa kesal karena tidurku yang pertama ini diganggu oleh

suara-suara yang berisik.

"HAHAHAHA... KALI INI AKU YANG MENANG!"

"TIDAK! AKU YANG MENANG!!"

"BAGAIMANA DENGAN PERTANDINGAN ULANG... HUH!?"

"PIRO TUNGGUU!! JANGAN KABUR!"

"KURRRR!!!"

"WAHAHAHA!!! AKHIRNYA AKU BERHASIL MENCIPTAKAN SENJATA BARU!"

Saat itulah kesabaranku diuji. Ingin kuberkata kasar, tapi tidak tahu siapa orangnya. Ingin kubanting dan menghajarnya, aku tidak yakin bisa mengalahkannya. Hanya ada satu cara untuk menghentikan keributan ini.

Yaitu dengan saling beradu keributan....

Pantas saja kenapa si Nenek itu ingin meminta bantuan. Ternyata penyebab dari masalah itu adalah ini, ya? Sialan!

Begitu aku membentak mereka sambil menghantam dinding, keributan itu pun mereda. Namun, beberapa saat kemudian keributan itu kembali terjadi lagi.

Namun, karena tak kunjung reda juga. Aku pun langsung beranjak menuju pintu kamar, di situlah aku mulai beraksi.

"BERISIK BANGSAT!" teriakku sambil membanting pintu.

Setelah itu aku kembali pada ranjangku. Masa bodo dengan mereka, kuharap kejadian ini tidak terjadi lagi. Jika masih tetap seperti ini, aku harus mencari penginapan baru.

Namun, langit tampaknya menjawab permintaanku. Dengan ajaibnya semua kembali tenang dan suara-suara berisik itu seakan-akan lenyap tertelan oleh sesuatu. Aku pun kembali tidur dengan nyaman tanpa gangguan sedikit pun.

Walaupun aku masih kesal, setidaknya sekarang aku bisa tidur dengan tenang.

***

Bagian Selatan Benua Vytair....

Genderang tabuh terdengar di sepanjang daerah pertempuran besar itu. Seorang Penyihir Agung perempuan menjadi komandan pasukan tersebut. Mereka sedang melawan seekor Black Hydra yang besarnya bukan main.

Banyak kesatria gagah berani yang menjadi korban. Untungnya sang komandan tersebut dibantu oleh seorang Priest yang andal dalam memainkan mantra penyembuhnya. Di depannya ada seorang Guardian yang menjadi perisai garda terdepan.

Beberapa Elf dan beberapa Bangsa Trent juga ikut membantu penyerangan tersebut. Pertempuran itu benar-benar luar biasa. Semburan api hitam yang mematikan memusnahkan hampir seperempat pasukan Aruna dalam sekejap.

Beberapa pasukan yang mengurus pertahanan adalah Ras Druid. Mereka memasang semacam pelindung yang tak terlihat di sekitar atas para pasukan yang maju. Archer yang mengurus bagian belakang, sedangkan para kesatria menjadi pasukan garda depan bersama pasukan Elf dan Trent.

Sementara komandan mereka sang Penyihir Agung sedang mempersiapkan sebuah kekuatan penghancur yang luar biasa. Beberapa kata terangkai dengan unik. Menyatu menjadi sebuah kalimat yang menggetarkan permukaan bumi dan dengan sekejap menghasilkan sebuah daya penghancur yang luar biasa.

Sebuah gumpalan cahaya hitam, biru, merah dan juga putih melayang di atas Penyihir Agung tersebut. Semua itu dilepaskan dengan sekejap, menghasilkan sebuah gelombang sinar penghancur. Hitam yang berasal dari elemen kegelapan, biru yang berasal dari elemen air, merah yang berasal dari elemen api dan putih yang berasal dari elemen cahaya menyatu bersama meluluh lantahkan tempat Hydra itu berada.

Semua ras dan bangsa yang ikut berperang dalam pertempuran itu berlindung dengan caranya masing-masing. Ledakan yang di timbulkan membuat Black Hydra itu menggeram kesakitan. Kedelapan kepalanya bersama-sama menembakkan bola-bola api hitam ke langit.

Langit pun kini dipenuhi oleh aura kegelapan yang berasal dari serangan sang Hydra. Langit yang kini menyuratkan sebuah pesan perpisahan mulai menampakkan jati dirinya. Berpuluh-puluhan bola api terjun bebas layaknya belasan meteor berkuatan besar.

Semua pasukan yang ikut berperang menggempur sang Hydra pun tersentak. Wajah mereka terlihat pucat ketika mengetahui serangan hebat itu akan meratakan mereka dalam waktu singkat.

Baik para Dwarf ataupun Elf tidak bisa berbuat apa-apa karena telah mencapai batas kekuatan mereka. Bahkan untuk sang komandan, ia pun hanya bisa pasrah karena Mana di dalam tubuhnya telah terkuras habis setelah melepaskan mantra sihir sebelumnya.

Namun, ketika semua bola api hitam itu akan melumatkan mereka menjadi gundukan abu pemakaman. Sebuah gelombang misterius berwarna abu berhasil menyapu bersih serangan bola-bola api hitam itu dalam sekejap.

Untuk kedua kalinya semua pasukan kembali terenyak. Mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat dengan kedua mata mereka. Tidak ada yang tahu dari mana asal gelombang itu berasal dan juga tidak tahu siapa yang bisa melakukannya.

Kini mereka terlihat seperti seorang anak kecil yang mainannya di ambil—mata melebar tak percaya dengan mulut yang menganga. Tidak lama setelah itu sebuah sorakan yang kemudian disusul oleh sorakan lainnya bergema di medan pertempuran itu.