webnovel

The Old Lady Inn

"Setidaknya ini di luar ekspektasiku...."

Pandanganku terpaku pada suatu pemandangan luar biasa dengan kearifan sekitar. Orang-orang berlalu lalang seperti tidak terjadi sesuatu, meskipun aku mendengar ada peperangan yang terjadi antar bangsa. Mereka sama sekali tidak terlihat panik ataupun ketakutan.

Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka, tetapi yang pasti aku ingin menikmati pemandangan seperti ini sedikit lebih lama.

Bangunan ditata dengan rapi dengan warna yang beragam. Warna di kota ini sungguh hidup. Lampu jalan yang menerangi kota juga sungguh bervariasi. Ada yang seperti lampion, kotak, lilin bahkan ada yang seperti balon mengapung di atas kota.

Di depan sana terdapat sebuah jembatan penghubung antar bagian daerah. Sedangkan pada jalan tepat di sampingnya terdapat sebuah susunan warna menyerupai tangga nada lagu berwarna hitam dan putih dengan setiap bagiannya yang memiliki knot nada.

Aku bisa mendengar alunan musik dari sini. Baik itu suara bassnya, trompet, seruling, trombon, bahkan bunyi-bunyi lainnya bersatu menjadi suatu kesatuan lagu yang menyejukkan hati. Beberapa balon cahaya bermunculan di atasnya, berdansa dengan riangnya.

Beberapa ada yang ikut berdansa dan beberapa lagi ada yang bertepuk tangan sebagai pemeriah. Ada yang mempertunjukkan sebuah atraksi seperti melempar dan memutar enam buah pisau sekaligus. Seorang anak terpaku dengan pertunjukan itu.

Dengan mata yang melebar, mulut terbuka dan raut wajah penuh rasa kagum itu ia terlihat bahagia.

"Suara aneh apalagi ini?" tanyaku spontan sambil menoleh mencari asal sumber suara tersebut. "Bukankah mereka rombongan prajurit dan kesatria itu, ya?"

Siapa yang akan menyangkanya kalau itu adalah rombongan para kesatria dan juga prajurit sebelumnya. Beberapa di antara mereka ada yang bersorak penuh kegembiraan. Aku pun turut berbahagia melihat mereka, setidaknya tidak ada yang gugur dalam pertempuran itu.

Selain itu aku juga menemukan sesuatu yang lebih luar biasa. Sebuah jamuan makan dengan tambahan ekstra kecupan dari bibir seorang perempuan cantik. Hanya mengingatnya saja dapat membuat kepalaku meledak.

Setelah itu aku berjalan santai sambil menikmati setiap pengalaman baru di kota ini. Butiran salju yang turun tidak pernah berubah. Kecil, tetapi banyak, dan mungkin hampir menyelimuti seisi kota ini.

Banyak sekali aktivitas yang terjadi di kota ini. Bahkan tidak hanya para Aruna saja, tetapi ada juga yang lain seperti mereka yang memiliki penampilan layaknya manusia dengan bagian tubuh ekstra.

Kerlap-kerlip lampu jalanan seperti cahaya pemandu bagi pendatang baru. Semua begitu tampak nyata. Kini aku benar-benar yakin bahwa ini adalah dunia yang berbeda. Semua kejadian ini pasti ada kaitannya dengan sesuatu—aku harus mencari tahunya.

Bangunan di sepanjang jalan berbeda satu dengan yang lainnya. Di pojok kanan setelah jembatan berakhir. Sebuah rumah dengan gaya sederhana beratap merah terlihat membuka kedua bagian atasnya dan dari balik itu aku bisa melihat cahaya yang bersinar dari dalamnya.

Tidak ada yang spesial dari bangunan itu selain bahan dasarnya berupa kayu dan juga beberapa ukiran unik yang dapat terlihat dari luar sini.

Selain itu di sebelahnya terdapat juga dua bangunan yang sama hanya saja terpisah oleh sebuah tiang lampu berwarna hitam pudar. Sisi kiri maupun kanannya juga ada beberapa toko seperti toko senjata, kedai makanan, beberapa toko minuman dan lain-lain.

Semakin lama aku berjalan di kota malam ini, aku bisa melihat bagaimana setiap orang saling berkomunikasi dengan baik. Mereka tersenyum seperti tidak merasa ada yang aneh, tertawa gembira layaknya anak kecil berumur lima tahun yang baru saja dibelikan sebuah balon, bahkan terdapat beberapa Stand makanan dengan payung putih di atasnya penuh akan pelanggan.

Perang? Devaria dan Aruna? Para monster? Kesatria dan prajurit? Mereka semua seperti sesuatu yang tidak ada, bahkan terdengar seperti sebuah mitos. Tetapi, meskipun seperti itu... aku masih tetap percaya dengan semua mitos itu, karena buktinya adalah diriku sendiri.

Aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri, merasakan ketegangannya, dan tubuhku gemetar hanya karena mengingatnya. Sebuah sensasi dan rangsangan baru seperti itu baru pertama kali aku merasakannya.

Dalam dunia yang damai dan penuh kebohongan, kata perang adalah kejahatan paling besar. Mereka bersembunyi dalam senyum penuh kegelisahan, tawa dengan balutan kesengsaraan, dan sebuah hari tanpa warna.

Aku tidak tahu apakah hal seperti inilah yang selama ini aku cari? Aku inginkan?

Mungkin, bisa saja mungkin, dan kemungkinan itu masih terasa samar bagiku. Hingga sentuhan dingin yang menyengat menyadarkanku kembali.

"Sial, aku lupa kalau jaketku telah kuberikan pada gadis itu. Sekarang aku merasa sekujur tubuhku mati rasa, penginapan?

Aku membutuhkan penginapan sekarang juga," rutukku sembari memeluk tubuhku sendiri dan segera berlari mencari penginapan terdekat.

Untuk mencari penginapan yang masih tersedia, aku harus mencarinya ke beberapa tempat. Awalnya aku kira akan mudah mencarinya, tetapi setiap kali aku bertanya, sang pemilik penginapan selalu berkata maaf.

"Ini sudah yang keenam... a-apakah tidak ada yang kosong?" gumamku.

Mungkin memang semua penginapan telah penuh dan tidak ada tempat yang kosong. Hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita tua yang terlihat butuh bantuan, karena aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, akhirnya kuputuskan untuk pergi membantunya.

"Hoho.. anak muda kenapa kau terlihat panik?" tanyanya ramah.

"Hmm? Panik? Bukankah Anda yang terlihat seperti ingin meminta bantuan?"

"Oh! Ya, saya memang sedang membutuhkan bantuan. Apa kau ingin membantu nenek tua ini, anak muda?"

"Emmm... ok. Lagi pula aku juga belum menemukan penginapan," sahutku sambil menghela napas.

"Ahahaha! Kebetulan sekali, bantuan yang saya inginkan adalah seorang pengunjung. Ayo masuk, di sini dingin," timpalnya dengan tawa khas.

Aku seperti orang bodoh saat ini. Aku juga tidak tahu seperti apa ekspresi wajahku sekarang, nenek ini memiliki ilmu promosi yang luar biasa, dan tidak aneh-aneh.

Setelah itu aku dituntun menuju sebuah bangunan yang tidak jauh dari sana. Berjalan di antara kerumunan orang-orang aku berusaha mengikuti sang nenek dengan cermat, setidaknya aku juga tidak kehilangan jejaknya, tidak seperti sebelumnya saat bersama rombongan itu.

Begitu aku membuka pintu, tiba-tiba saja sebuah bunyi lonceng kecil menyambutku. Sang nenek pun kini melihatku dengan mata sayu dan wajah keriputnya, tersenyum lalu memanggilku.

"Ke sinilah, jangan berdiam diri saja di sana, anak muda"

"Ah. Emm... baiklah."

Tempat ini tidak terlalu buruk dan bisa aku katakan lumayan. Jika aku bandingkan dengan rumah penginapan yang ada di Bandung, maka tentunya ini seperti rumah pada pedesaan. Tidak ada kemewahan seperti teknologi, ruang ber-AC, atau mungkin kamar mandi yang modern. Namun, setidaknya tempat ini memberiku kesan seperti ada di rumah.

Saat ini aku berada tepat di bagian depan ruang penyambutan. Terdapat sebuah loker di samping kiri dan meja kasir, mungkin? Atau bisa disebut reservasi di sebelah kanan. Sang Nenek kini berada di dalam meja reservasi itu.

"Nek!!! Apakah ada pengunjung?"

"Seperti itulah, karena itu cepat segera buat makan malam untuk tamu kita."

Tiba-tiba saja muncul seorang wanita paruh baya datang. Penampilannya tidak terlalu mewah, mungkin aku bisa menyebutnya tradisional karena pakaiannya saja terlihat rapi. Begitu mata kami saling bertemu, ia pun membungkuk, lalu berkata, "Tunggu sebentar, ya. Akan saya buatkan makan malam terlebih dahulu, saya harap Nenek saya tidak merepotkan Anda"

"Ya. Malah berkatnya aku tertolong"

"Kalau begitu semoga Anda nyaman dan betah dengan rumah sederhana ini," ucapnya dengan senyum tipis lalu sosoknya menghilang setelah pergi menuju ruangan di sebelahnya.

"Ambil ini, anak muda. Ruanganmu berada di lantai dua pojok kanan," tuturnya lalu memberiku sebuah kunci.

"Terima kasih."

Ia pun mengangguk, "berapa lama kau akan menginap di sini?"

Aku pun mengambil kunci itu, "Hmm. Mungkin untuk saat ini hanya beberapa hari"

"Kalau begitu semuanya menjadi empat koin perak. Kau bisa meninggalkannya di sini."

Sebelumnya aku kira Nenek ini adalah orang baik, tapi lama-lama aku melihat seperti seorang preman terminal kota sebelah.

Mungkin hanya perasaanku saja, saat ini yang perlu aku lakukan adalah memastikan semuanya dengan baik.