webnovel

Lucky Kiss

"Kau bisa memanggilku 'Raven'," jawabku sambil kembali sedikit menyeruput teh hangat.

"Jadi, Raven mengapa kau masuk ke rumahku tanpa seizin pemiliknya?" tanyanya dengan sedikit cemberut. Sepertinya kali ini aku sedang diinterogasi, tetapi oleh petugas yang menggemaskan.

"Hmm... Iris kau sepertinya salah paham"

"Maksudmu—"

Tiba-tiba saja suara yang tak asing kembali terdengar.

"Kau pasti bisa mendengarnya, 'kan?"

"Jangan-jangan... "

"Seperti yang kau tebak... aku lapar."

Ia pun langsung tertawa geli setelah mendengarnya. Entah mengapa suaranya dapat membuat hatiku tenang. Sungguh damai sekali rupanya, tidak seperti apa yang dikatakan oleh Vice.

Sebuah perang... ya?

"Sepertinya ada yang sedang lapar, benarkan, Raven?" ucapnya ramah dengan nada yang riang, "aku akan menyiapkannya sebentar lagi. Jadi tunggu di sini sebentar," lanjutnya.

"Baiklah...."

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak dibuatkan makanan oleh seseorang dan karena itulah secara tidak sadar aku tersenyum tipis.

Tidak ada yang mencurigakan di sini. Aku masih berpikir tentang suara itu, suara ketika berada di makam sahabatku. Mungkin saja aku dikirim ke dunia ini untuk menyelamatkannya atau menyelamatkan dunia, bukankah seperti itu biasanya yang terjadi ketika seseorang terkirim ke dunia Fantasi seperti ini.

Selain itu berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Sekarang yang aku harapkan adalah sebuah makanan penenang predator dalam diriku. Asap samar terlihat keluar dari belakang sana. Wangi itu tercium kembali, harum, dan itu membuat semua kelima pancaindraku mulai bereaksi.

Aku mengkhayal, mungkin saja makanannya adalah daging ayam. Bisa saja yang lain, sup bisa saja bahkan makanan yang lain pun akan muncul di hadapanku. Tidak membutuhkan waktu yang lama kali ini Iris datang dengan membawa nampan yang cukup besar.

Di atasnya terdapat lima buah roti panggang manis yang masih hangat, dua buah mangkuk sup hangat, dan anggur yang cukup banyak.

Aku bisa melihat uap mengepul dari atasnya, seakan-akan mereka memintaku untuk memakannya. Ini seperti menemukan sebuah keajaiban di dalam tempat yang asing dan keajaiban itu kini datang kepadaku.

"Terima kasih, Iris. Padahal kita baru bertemu "

"Tidak, tidak. Sama-sama, bukankah sesama manusia harus saling membantu," sahutnya lalu duduk di depanku.

Aku pun yang tadinya masih duduk di atas ranjang kini turun dan ikut duduk bersamanya di atas sebuah alas. Dalam bahasa keren anak muda di kotaku ini biasa disebut lesehan.

"Bolehkah aku bertanya, Iris?"

"Tentu saja, " balasnya dengan tersenyum kecil.

Kedua sisi bibirnya sungguh menggemaskan ditambah lagi dengan pipinya yang mengembung seperti tadi. Aku seperti melihat seekor hamster yang sedang mengunyah wortel.

"Aku dengar ada perang antara Bangsa Devaria dan Aruna. Sebenarnya apa yang terjadi di sini?"

"Apakah kau bukan berasal dari dunia ini?" tanyanya balik.

"Ya—tunggu sebentar, bagaimana kau bisa mengetahuinya?"

Namun, ia hanya tersenyum seperti biasa. Penuh misteri dan teka-teki, mengapa ia bisa mengetahuinya. Padahal aku sama sekali tidak pernah menyinggung tentang hal itu, tunggu... tunggu, tunggu, tunggu... mengapa aku bisa sebodoh itu?

"Tentu saja aku tahu, Raven. Karena siapa yang tidak tahu tentang hal itu di dunia ini?"

"Huhh... mungkin karena kelaparan, otakku jadi sempit."

Iris pun tertawa kecil mendengarnya.

"Ya. Seperti yang tadi kau katakan, Raven. Pertempuran antara Bangsa Devaria dan Aruna itu sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu dan masih berlanjut hingga sekarang"

"Lalu mengapa tempat ini tidak terkena—"

Ia pun langsung mengunci mulutku dengan jari telunjuknya.

"Pelan-pelan... dan tentang itu," tuturnya sambil memejamkan mata, "rahasia."

Semakin lama aku mencoba menggali sifat perempuan ini, semakin lama juga aku dibuat pusing olehnya. Di satu sisi ia memiliki kepribadian seperti gadis seumurannya, tetapi di sisi yang lain ia juga memiliki sifat yang bahkan membuatku terkejut.

"Untuk jelasnya aku juga tidak terlalu mengeri. Namun, yang pasti ini semua ada kaitannya dengan kebangkitan dewa kuno," jelasnya sambil memetahkan kue kering lalu memakan bagian setengahnya.

"Dewa Kuno? Apakah itu semacam iblis seperti bangsa Devaria?"

Namun, Iris menggelengkan kepalanya.

"Bukankah aku tadi mengatakannya?"

"Maaf... "

"Selain itu aku bisa menceritakanmu tentang dunia ini, bagaimana? Apa kau tertarik?"

"Huhh. Baiklah aku terima tawaranmu itu, nona muda," sahutku sambil mengunyah roti manis yang masih hangat.

"Vestarya ini terbagi menjadi tiga dimensi atau tiga bagian dunia yang dikuasai oleh tiga jenis kasta," tuturnya dengan wajah serius, tetapi terkesan lucu jika dipandang dariku. "Pertama adalah Fanarya yang dihuni oleh makhluk langit, kedua adalah Vytair yaitu tempat kita saat ini, dan yang ketiga adalah Ruinsheim tempat yang dikuasai oleh makhluk-makhluk kegelapan. Nah... Raven jadi tanah yang kau pijak adalah dunia Vytair dunia kedua dari Vestarya," lanjutnya dengan senyum yang mengembang.

"Kalau saja ini mimpi mungkin aku bisa mempercayainya dengan mudah, tetapi sayangnya ini bukanlah mimpi, dan juga aku membutuhkan waktu untuk mempercayai semua itu, Iris. Kau tidak keberatan, 'kan?"

"Tenang saja... Raven?"

"Ya"

"Apakah kau benar-benar bukan berasal dari sini ?" tanyanya memastikan

"Seperti itulah. Aku berasal dari dunia yang berbeda dari Vestarya"

"Hmm... sepertinya menarik, lalu seperti apa duniamu itu, Raven?"

"Apa kau tidak keberatan dengan dongeng pengantar tidur?"

"Ya! Aku tidak keberatan!" tukasnya dengan semangat.

"Kalau begitu persiapkanlah dirimu, nona muda...."

Setelah itu aku menceritakannya dengan pelan-pelan. Di mulai dari tradisi, bagaimana keadaan di sana, teknologi, makanan, budaya, hingga pada akhirnya peradaban dan juga sejarah. Namun, apa yang membuat Iris paling semangat adalah ketika aku menceritakan kisah keseharianku.

Jarang sekali ada yang mau mendengarkan kisah membosankan seperti itu, tetapi tidak bagi dirinya yang penasaran denganku. Ya... mau bagaimana lagi, kita memang berbeda dari hal apapun. Meskipun ada beberapa bagian yang sama, semisalnya makanan, mungkin?

"Ngomong-ngomong apakah kau tahu kota di dekat sini?"

"Kota? Apakah kau mendengarnya dari seseorang?"

"Bukan seseorang, tapi seekor"

"Seekor?"

"Huhh... seekor Kobold"

"Kobold?! Kau hebat sekali tidak dimakan hidup-hidup oleh mereka," celetuknya kaget, "dan tentang kota itu memang tidak terlalu jauh dari sini," lanjutnya.

"Apakah sebegitu seramnya Kobold bagimu, Iris?"

"Ehhh... kau belum tahu, ya, kalau Kobold itu pemangsa manusia. Kau sungguh beruntung tidak dimakan oleh mereka, Raven. Apalagi kau mengerti bahasa mereka...."

Aku bingung antara kaget atau kagum, sebenarnya ia ingin mengekspresikan yang mana?

"Jangan bercanda, mana mungkin aku takut dengan gumpalan bulu berkumis yang hobi melompat-lompat, Iris. Malahan aku yang memberinya makanan dan yang lebih parahnya lagi itu adalah makan siangku."

Aku yang masih mengunyah roti manis sesekali mencicipi sup hangat buatannya. Tanganku terangkat sambil terkibas-kibas seperti mengatakan "Tidak mungkin aku dimakan oleh makhluk menggemaskan seperti itu".

"Hahahaha. Ternyata kau lucu juga, ya, Raven. Ohh... tentang Kota yang kau sebut itu hanya tinggal beberapa ratus meter lagi dari sini, tidak terlalu jauh kok."

Kemudian ia pun mulai berdiri sambil menggenggam sebuah roti, lalu berjalan menuju jendela di belakangku.

"Kau hanya harus pergi ke arah barat saja," tuturnya sambil menunjuk sebuah siluet bayang-bayang panjang di kejauhan sana.

"Jadi itu, ya? Aku benar-benar berterima kasih kepadamu, Iris. Terutama makanan dan kejutan yang menimpa pada kepalaku yang tak bersalah ini," ucapku dengan senyum penuh arti.

Setelah itu aku kembali mengemas barang-barangku. Ehh... di mana belati itu? Apakah belati itu terjatuh saat aku berlari tadi?

"Kalau begitu aku harus segera pergi dan sekali lagi terima kasih untuk semuanya, Iris," lanjutku sambil bergegas pergi keluar

"Tunggu sebentar, bawalah ini, Raven."

Ia pun memberikan sebuah kantung cokelat dengan simpul mati kepadaku.

"Apa ini?" tanyaku sambil mengguncangkannya sedikit, bunyinya seperti benda logam, "apakah ini mata uang di sini?" tanyaku sambil menebak sebuah keberuntungan yang terdapat pada kantung kecil ini.

"Yup, itu adalah sekantung perak mungkin kau bisa menggunakannya untuk keperluanmu nanti. Oh, satu lagi—"

Kali ini aku mendapatkan sebuah serangan telak dari ciuman hangat pada pipiku.

"—Semoga beruntung," lanjutnya dengan senyum manis.