webnovel

Iris

"Hmm. Sekarang bagaimana aku bisa pergi ke kota itu?" gumamku.

Sebelum aku pergi meninggalkannya, kututupi tubuhnya yang kedinginan dengan jaketku.

"Kuharap kau tidak pergi ke tempat seperti ini. Akan berbahaya sekali jika kau bertemu dengan monster seperti itu lagi, 'kan?"

"A-anu—"

"Hahh... lupakan saja. Bukan tempatku untuk menceramahimu, kalau begitu selamat tinggal," ucapku lalu berbalik dan pergi meninggalkannya.

Kembali bersama dengan diriku, si laki-laki pemberani yang bodohnya gak ketolongan. Bukannya mengikuti rombongan para kesatria, tetapi malah pergi menyelamatkan seorang gadis kecil tidak berdaya. Akhirnya aku tersesat juga di hutan luas ini, tanpa tahu arah, tetapi tahu tujuan.

Semua berjalan baik hingga akhirnya sebuah suara membuat kesadaran dan indra bertahan hidupku bekerja secara maksimal. Sayangnya itu bukanlah suara monster atau pertempuran seperti sebelumnya, itu hanyalah suara perutku yang minta di isi.

Benar juga, saat ini aku memang kelaparan karena makananku di embat oleh Vice. Bukan hanya roti isian cokelat kismis saja, bahkan susu kotakku habis di minum olehnya.

"Sebaiknya aku mencari makanan dulu," gumamku sambil mengingat kembali ekspresi bahagia Vice yang berujung pada penderitaanku saat ini, "dari pada berharap sesuatu yang telah tiada, lebih baik sekarang aku mencari makanan, tapi di mana?"

Sementara aku menahan rasa lapar ini dengan sekuat tenaga. Pepohonan di sekitarku mulai berkurang dan aku bisa melihat ada beberapa jalan setapak di tempat aku berjalan sekarang.

Aku hanya bisa berharap jika jalan ini memanglah jalan menuju kota itu, maka aku tidak harus repot lagi mencari jalan yang lain.

Antara halusinasiku atau memang mataku masih bekerja dengan normal. Aku bisa mendengar suara air yang sedang mengalir dan lagi sebuah bayang-bayang cukup besar muncul di ujung penglihatanku.

Apakah itu sebuah rumah?

Tanpa memikirkan apapun lagi, aku pun mengerahkan semua tenagaku untuk berlari ke arah bayang-bayang itu, dan berharap yang terbaik jika dugaanku benar.

Begitu aku tiba, benar saja kalau ini adalah sebuah rumah. Apalagi terbuat dari kayu dan anehnya sungai di sampingnya tidak membeku sama sekali. Mungkin aku harus segera makan agar bisa meyakinkan diriku kalau semua ini adalah kenyataan.

Selain itu tidak ada yang aneh dari rumah ini. Hampir semuanya terbuat dari kayu selain dari cerobong asapnya yang sedang mengepul. Mungkin bagian aneh lainnya adalah ukiran sepasang sayap pada pintunya dan juga aroma lezat yang keluar dari dalam.

Namun, aku tidak memikirkan hal itu dan langsung mencoba membukanya. Apa yang aku dapatkan adalah sebuah objek berwarna hitam yang kini sedang melayang ke arahku. Ya... objek hitam itu kalau dalam bahasaku adalah wajah.

"Wahhh... k-kenapa kepalaku jadi pusing?" tanyaku sambil sempoyongan lalu akhirnya jatuh tidak sadarkan diri.

***

Semua terasa samar hingga kesadaranku perlahan mulai tersadar.

"Arghh... kepalaku sakit...."

Perlahan aku mencoba melihat sekitarku dengan penglihatan kunang-kunang.

Langit-langit kayu? Aroma yang enak? Di mana aku sekarang?

Hal pertama yang membuatku terkenang adalah aroma ini, ya aroma lezat ini. Namun, sebelum itu aku kebingungan karena saat ini tubuh bagian atasku telanjang. Ya, telanjang—tunggu sebentar, telanjang?

"Ehhh?!! Ke mana bajuku? Kenapa aku telanjang?!" teriakku kaget.

Setelah itu aku benar-benar sadar karena telah sepenuhnya bangun dan baru menyadari saat ini aku berada di sebuah ranjang.

Namun, yang luar biasanya lagi adalah seorang perempuan yang berada tepat di sampingku pun sama kagetnya.

Ekspresi penuh kejutan dengan sebuah teriakan lengking bernada "Hiiiii!!!" hampir saja berhasil memecahkan gendang telingaku dan kembali memaksaku tumbang dalam tidur yang nyenyak.

Tidak lama setelah itu aku bisa melihat kembali kumpulan domba yang sedang melompati pagar di atasku dan untuk kedua kalinya aku kembali tumbang dengan sebab yang sangat misterius.

***

"Huhh... di mana ini? Seingatku tadi ada sesuatu yang menghantam kepalaku dua kali" ucapku pelan sambil meraba-raba kepala bagian belakangku, "ini sungguh menyakitkan."

Aku bisa merasakan sensasi menyengat pada bagian belakang dan samping kepalaku.

"Ini adalah rumahku"

"Hmm?" aku pun menoleh dan mendapati sesosok perempuan sedang duduk di sampingku.

"Sebelumnya maafkan aku karena telah memukul kepalamu dua kali," ucapnya lembut seperti mengkhawatirkan sesuatu.

"Maaf...?" tanyaku bingung, sedikit rasa khawatir terbesit dari dalam kepalaku. "Siapa?....," lanjutku dengan kepala yang memiring.

"Maaf, untuk yang tadi," ucapnya sekali lagi. "Namaku adalah Iris," lanjutnya, ia tersenyum kecil kepadaku.

Perempuan yang kini di hadapanku tidak seperti perempuan pada biasanya. Rambutnya panjang hingga sepinggul, putih. Di bagian kirinya tersimpul beberapa simpulan memutar dengan sebuah hiasan gantung berbentuk bulan sabit berwarna perak.

Pupil matanya putih seputih salju, sama seperti warna kulitnya yang putih kecokelatan. Bibirnya pun merah muda merona... begitu natural, dengan hidung yang tidak terlalu mancung.

Ia menggunakan sebuah gaun putih berwarna hitam belang merah yang sedikit kontras dengan warna kulitnya.

Pada saat ini yang ingin aku tanyakan hanyalah satu. Yaitu, bagaimana aku bisa pingsan? Dan itu dua kali, jika ingatanku benar, maka benda yang sedang ia genggam mungkin adalah penyebabnya.

"Oh! Aku belum mengetahui namamu?" tanyanya, ia berbalik ke belakang.

Setelah itu ia berjalan menuju sebuah meja kecil berbentuk kotak. Tidak terlalu tinggi, di atasnya ada sebuah poci. Uap tampak terlihat dari lubang penghubung dalam dan luar teko tersebut.

Mungkin ia sedang membuat minuman hangat, tapi aku tidak tahu apa itu.

"Apa kau menyukai teh?"

"Teh? Tidak masalah... "

"Baiklah kalau begitu, tunggu sebentar."

Sepertinya ia memang sedang membuat teh. Aku jadi penasaran jenis teh seperti apa yang akan ia berikan padaku.

Tidak lama setelah itu ia menghampiriku sambil membawa sebuah nampan kayu. Di atasnya terdapat sebuah teko dan juga dua buah cangkir kayu. Tepat di sebelahnya ada beberapa tumpukan kue kering berwarna putih dengan taburan beberapa gula.

Setelah itu ia menuangkan teh untukku dan bertanya apakah aku menginginkan teh manis atau biasa. Saat itu aku hanya bisa berkata "Umm ...." dan ia pun memasukkan dua buah gula kotak ke dalam cangkir teh itu.

"Apakah ada orang di sana?" tanyanya sambil melambai-lambai berusaha mencoba membangunkanku dari lamunan. Ia

kembali tersenyum dengan secangkir teh hangat yang berada di dalam pangkuan kedua tangannya.

Ia mengangkat secangkir teh itu cukup tinggi. Lalu menempelkannya ke dekat dengan pipi kananku. Rasa yang mulai merambat itu mulai membangunkanku.

"Whoaaa!! Panas. Apa itu tadi?" celetukku kaget, rasanya seperti disiram oleh air panas. Namun, kenyataannya adalah secangkir teh hangat yang menyentuh pipi kananku.

"Akhirnya, tuan pelamun sadar juga"

"Huh..?"

"Ini tehnya," ucapnya ramah. Ia menyerahkan secangkir teh harum itu kepadaku.

"Ahh... terima kasih. Iris, 'kan?" tanyaku memastikan. Tidak lupa berterima kasih. Alis mataku terangkat sebelah sambil meniup pelan teh itu lalu menyeruput selagi hangat.

"Ya, saya Iris, dan tuan pelamun siapakah nama Anda?" tanyanya sambil tersenyum kecil.

Telunjuknya tangan kanannya menyentuh bibir merah muda miliknya, seakan-akan sedang mencoba menebak siapa identitas asliku.

"Maaf... kau pasti bertanya tanya siapa orang asing bodoh ini yang menerobos rumah orang lain secara tiba-tiba, kan?"

Irin pun mengangguk pelan sambil mencoba menyembunyikan tawa kecilnya.

"Kau bisa memanggilku 'Raven'," jawabku sambil kembali sedikit menyeruput teh hangat.