webnovel

First Battle

Belum lama aku berjalan pergi menuju kota itu, ada dua pertanyaan yang benar-benar harus aku pilih.

Jika ini perang, maka hanya ada membunuh atau dibunuh. Jadi aku akan memilih pilihan pertama yaitu membunuh. Aku harus bertahan hidup meskipun nyawa yang jadi taruhannya. Semua terdengar jelas ketika aku mulai mendekati suatu tempat.

Suara aduan pedang terdengar saling beradu mengeluarkan bunyi dentangan. Sepercik cahaya terlihat dari arah himpitan pohon tidak jauh dari tempatku berada. Aku pun segera berlari ke sana sambil membawa tas selempangku. Mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan sebilah pedang panjang, tapi tas selempang ini akan berguna pada saat waktunya.

"Apakah ini kenyataan?" tanyaku dengan mata melebar, "ini benar-benar luar biasa...."

Aku terkagum-kagum ketika melihat seorang Pemanah yang sedang bertarung melawan monster bersayap—Gargoyle. Pemanah tersebut membawa busur yang terbuat dari kayu, segunduk panah menumpuk di pinggang kirinya. Tersimpan dalam quiver yang apik..

Setidaknya aku memiliki pengetahuan dasar tentang beberapa pekerjaan seperti itu ataupun tentang monster yang sedang melawannya. Ternyata permainan RPG punya kegunaan lain juga.

Pemanah itu melepaskan tiga buah anak panah secara terpisah yang dilanjut dengan empat buah dengan intensitas yang cukup cepat. Sayangnya semua serangan itu meleset dan sang Gargoyle mulai terbang tinggi hingga akhirnya menukik tajam mengeluarkan kuku tajam dari kedua tangannya.

Serangannya berhasil menorehkan luka pada bahu kiri sang Pemanah. Namun, sang Pemanah berhasil menghindari serangan selanjutnya. Lengan kanannya bergerak cepat mengambil belati yang ia disimpan pada bagian belakang tubuhnya.

Ketika makhluk bersayap itu kembali menyerang, sang Pemanah pun ikut menerjang. Berhasil menghindari serangan ketiga dari monster itu, ia pun melakukan gerakan cepat sambil menghunjamkan belatinya kuat-kuat tepat ke arah kepala sang Gargoyle.

Sensasi seperti ini memang sangat berbeda jika dibandingkan dengan menonton Tv biasa. Mungkin terdengar hebat dengan bantuan suara bass yang besar, audio jernih, dan layar lebar. Namun, perasaan ketika melihatnya secara langsung dalam hidup ini memang tidak pernah bisa dibayangkan semudah itu.

Hunjam itu berhasil membuat Sang Gargoyle memekik, tapi serangan itu ia lanjutkan hingga membelah kepalanya. Tidak lama kemudian makhluk bersayap pun mati terkulai lemas dalam timbunan salju. Pada akhirnya si Pemanah yang memenangkan pertarungan itu.

Tidak jauh di belakangnya terdapat seekor Orc raksasa yang sedang memanggul pohon hancur dibahunya. Dengan helm yang terbuat dari tengkorak serigala dan kalung tulang yang menggantel pada dadanya. Ia mengibaskan pohon itu ke arah beberapa prajurit berpedang.

Semua prajurit itu terhempas mundur jauh ke belakang. Mereka semua kalah telak dengan seekor Orc raksasa. Tiba-tiba saja seorang kesatria datang. Ia menggunakan jubah putih, baju zirah tempur sebagai seragam kebesarannya dan sebuah pedang besar yang setara dengan tingginya.

Apakah itu Paladin? Mungkin..., tapi mengapa ia tidak membawa perisainya dan malah memakai pedang besar itu sebagai senjatanya?

Itu adalah seorang Paladin. Aku yang hanya bisa bersembunyi dari semak-semak dan menyaksikannya saja sudah dibuat berdebar-debar. Lagi pula aku hanyalah manusia biasa yang membawa tas selempang sebagai alat jaminannya, mana mungkin monster sebesar itu dengan hanya atribut sekolah, benar, kan?

Paladin itu berlari dengan cepat memutari sang Orc agar dapat membingungkannya. Namun, lagi-lagi sang monster besar itu mengibaskan pohonnya sekuat mungkin. Aku bisa mendengar geramannya dengan sangat jelas dari sini.

Sang Paladin pun tidak diam saja, ia langsung mengayunkan pedangnya, dengan satu ayunan pohon itu pun terbelah menjadi dua. Monster itu kemudian berlari ke arah lawannya dengan entakkan kaki yang kuat, lalu menghantamnya dengan pukulan tangan kanan.

Namun, sebelum pukulan itu mengenainya, sebuah anak panah tiba-tiba saja menancap pada lengannya. Darah pun membuncah dan membuatnya panik, sang Paladin pun langsung memanfaatkan momentum yang ada, dan langsung mengayunkan pedang besarnya.

Dalam satu serangan kuat itu sang Orc yang tak berdaya langsung terbelah menjadi dua, lagi-lagi kemenangan berhasil didapatkan oleh Aruna, dan sorakan gembira terdengar menggema di sana.

Jika dipikir-pikir lagi sepertinya ini bukanlah pertarungan berskala besar, tetapi hanya berskala kecil.

Pertempuran itu menyisakan beberapa prajurit yang terluka akibat serangan sang Orc dan sebuah luka goresan pada bahu kiri sang Pemanah. Mereka pun pergi meninggalkan tempat itu tidak lama kemudian dan pada saat itulah aku memanfaatkan kesempatan ini untuk ikut pergi bersama mereka secara diam-diam.

"Apa ini? Mungkinkah sebuah belati?"

Saat aku mengikuti rombongan mereka. Aku secara tidak sengaja menendang benda atau lebih tepatnya sebilah belati yang berkarat. Aku membawanya semoga saja akan berguna. Selagi aku melamun dan memikirkan tentang sebilah belati berkarat ini, ternyata rombongan yang tadi telah pergi jauh dan aku tertinggal.

"AAAAAAAAAHHHHHH!!! "

"Huh?! Sebuah teriakan?"

Aku tidak tahu mengapa, tetapi refleksku tiba-tiba saja beraksi, dan kini aku sedang berlari menuju ke arah suara teriakan tersebut. Dalam cuaca seperti ini aku tidak apakah suara itu milik perempuan atau laki-laki, tetapi yang pasti aku harus pergi ke sana.

Ini bukan karena aku ingin membantunya atau apa. Hanya saja tubuhku bergerak sendiri, seakan-akan ada sesuatu yang menggerakkannya dan memintaku untuk pergi ke sana.

Kuharap aku tidak terlambat.

Napasku memberat dan uap pun mengepul keluar dari luapan hembusannya. Kakiku bergerak cepat meski beratnya tumpukan salju yang menghadang dan terus berlari sekencang mungkin hingga menyentuh batasku

Tidak lama kemudian akhirnya aku sampai. Aku bisa melihat seekor makhluk berkulit hijau yang membawa kampak batu sedang berdiri di hadapan seorang gadis kecil.

Gadis itu seperti sedang mengumpulkan bunga biru. Itulah yang bisa aku simpulkan dari pemandangan di sekitarnya. Selain itu juga tampaknya sikut dan lututnya terluka, pantas saja ia terkulai seperti itu.

"Sial, tebing ini sedikit curam, tapi sisi baiknya bagian bawahnya landai. Meskipun seperti itu satu kesalahan saja maka bukan gadis itu yang berteriak, melainkan akulah yang akan menjemput ajal," rutukku.

Aku pun mengeluarkan belati yang sebelumnya. Kondisinya memang tidak terlalu bagus, tetapi aku berharap ini akan berhasil.

Sial... mengapa aku harus melakukan hal seperti ini? Apakah aku sedang mencari sensasi baru? Atau sedang mencari sesuatu yang hanya aku bisa lakukan?

Pada saat itu pikiranku sedikit kacau karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan mempertanyakan kewarasanku sendiri. Menghadapi monster seperti itu sebagai lawan pertamaku, bukankah itu terdengar cukup gila?

Namun sayangnya nalarku berkata lain dan gerak otot tubuhku bergerak berpacu dengan adrenalin. Dengan teriakan dalam pikiranku, aku pun meluncur dari atas tebing sambil mempersiapkan belatiku.

"AAAAAAAAAAhhhhh!!!"

Rencanaku adalah mengalihkan perhatian monster itu dengan teriakanku. Begitu jarakku semakin dekat, aku pun langsung melemparkan tas selempang ke arahnya.

Demi dewa keberuntungan, tasku berhasil mengenai kepalanya. Masih dalam keadaan meluncur yang penuh gaya, aku pun langsung berguling karena melihat monster itu kebingungan.

Saat perhatiannya kembali seperti semula, kutendang kakinya hingga jatuh menghantam tanah. Menindihnya lalu menikam dadanya dengan belati milikku. Awalnya ia berusaha melawanku, tetapi karena posisiku cukup strategis... ya, berada di atas seseorang menimbulkan kesan dominasi.

Aku pun memeluk kepalanya dengan tangan kiri hingga membuatnya memekik kencang. Namun, apa yang aku dengar lebih mirip kutukan dibandingkan dengan pekikan. Setelah itu aku tekan tangan kanan untuk meneruskan seranganku.

Akhirnya monster itu mengerang kesakitan karena dadanya berhasil kutikam. Menjauh darinya, aku pun segera menjaga jarak. Berharap bahwa seranganku itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bertemu dengan penciptanya.

Namun, seperti kulit salak yang sulit kukupas. Ia benar-benar keras kepala, meskipun dadanya terluka hebat, ia masih tetap bisa bangkit.

Aku pun sadar adanya potensi bahaya yang akan segera datang. Tanpa basa-basi lagi aku mencari sebongkah batu untuk kulempar. Namun, siapa yang akan menyangka jika gadis kecil di belakangku menyerahkan sebuah pisau tajam.

Sejak kapan gadis kecil seperti dirinya diperbolehkan membawa senjata tajam seperti ini?

Kemudian aku pun mengambilnya tanpa ragu-ragu. Bukannya bongkahan batu, melainkan pisau tajam yang akan aku lempar saat ini.

"Melempar pisau pada makhluk hidup... terdengar epik!"

Setelah itu aku pun langsung melemparkannya sekuat mungkin dan bueno bingo! Lemparanku tepat mengenai kepalanya.

Mungkin saat ini dewa keberuntungan sedang berada di sampingku, bagaimana tidak? Sebelumnya kan tas, sekarang pisau, aku benar-benar merasa lega.

Monster itu pun akhirnya tumbang dengan posisi terlentang. Tubuhnya perlahan-lahan mulai ditimpuk salju yang langit keluarkan.

Aku pun pergi mendekatinya dengan niat untuk mengambil kembali pisau milik gadis itu dan juga belati milikku. Setelah itu aku kembali berjalan mendekati gadis kecil sebelumnya yang sedang menatap laki-laki asing sepertiku pergi ke arahnya.

Setelah itu aku mengembalikan pisau kecil miliknya. Mengelus kepalanya pelan sambil tersenyum, lalu berdiri meregangkan persendianku.