webnovel

(Un)Real

Dear Gaharu, Sekarang coba jawab pertanyaanku, siapa yang nyata di antara kita, diriku atau dirimu? Sebab aku masih tidak mengerti. Untuk apa kita dipertemukan jika hanya untuk sementara? Untuk apa kau datang jika suatu saat kau berencana untuk pergi? Untuk apa aku dipanggil jika akhirnya diusir pergi? Jika saja aku tahu di mana letak batas imaji itu, Gaharu. Sudah pasti sejak pertama kali aku datang ke tempatmu, aku akan segera lari menjauh. From your Angel(s), Z.V.

Tsyafiradea · Teen
Not enough ratings
10 Chs

Vedirra

Mengapa aku tidak pernah merasa segar saat bangun tidur? Badanku selalu lemas dan kepalaku terasa berat. Padahal aku jarang tidur larut. Apa kasur dan bantalku perlu diganti? Siapa tahu berpengaruh. Lagipula, sudah berapa tahun aku tidak pernah mengganti bantal? Lihat itu, di balik sarung bantal kusam itu terdapat bantal yang sudah menipis dan keras. Ya, mungkin karena itu kepalaku jadi sakit.

Jika ingin mandi memakai air panas, aku harus memasak air terlebih dahulu. Dan aku terlalu malas untuk melakukannya. Jadi aku tetap mandi dengan air yang sangat dingin saat hujan deras pada pukul setengah lima pagi. Dingin, tapi kan aku sudah terbiasa, jadi tidak masalah. Kamar mandiku terpisah dengan kamar. Aku harus melewati dapur, ruang makan, dan ruang keluarga yang tidak seberapa luas itu untuk menuju ke kamarku. Namun tetap saja aku menggigil sedikit dengan tubuh yang hanya terbungkus handuk.

Setelah berpakaian, aku memasak air untuk membuat teh. Selagi menunggu tehku dalam kondisi bisa diminum, aku kembali ke kamar untuk memakai bedak dan mengikat rambut menjadi kuncir kuda. Aku harus berseragam rapi agar tidak dihukum di sekolah. Memakai dasi, pakai ikat pinggang, rok di bawah lutut. Lalu tambahkan kacamata agar aku bisa melihat dengan jelas. Aku meraih tasku yang besar dan meletakkannya dengan hati-hati di bahu. Tasku tidak pernah ringan. Aku selalu heran melihat teman-temanku yang ke sekolah dengan membawa tas berukuran kecil. Aku saja masih harus membawa beberapa tumpuk buku di tangan. Kalau semuanya ditaruh di tas, aku khawatir laju pertumbuhanku terhambat. Setelah semua itu, aku melihat pantulan diriku di cermin. Huh ... penampilanku terlihat membosankan.

Aku tidak langsung ke dapur setelah keluar dari kamar, melainkan ke kamar orang tuaku. Di dalam masih gelap, aku menggoyang-goyangkan kaki ibuku agar terbangun.

"Hm?" Mata Ibu masih setengah terpejam.

"Aku pergi dulu."

Ibu mengangguk. "Uang jajan ada?"

"Ada." Sisa dua ribu dari uang jajan kemarin -lima ribu.

"Udah buat teh?"

"Udah."

Begitu saja. Setelahnya aku ke dapur. Menyesap tehku dan mengisi botol minumanku dengan air putih. Biasanya aku campur dengan air panas sisa teh tadi. Berhubung air panasnya pas-pasan, jadi air putih biasa saja sudah cukup. Ada roti di meja, aku segera mengolesinya dengan selai cokelat untuk bekalku di jalan. Ke sekolah, aku harus berjalan kaki. Berjarak 3 kilometer dari rumahku. Sampai di sekolah tampilanku sudah kusut dan berkeringat. Padahal aku sudah memakai parfum tadi.

Di kelas, aku langsung membuka buku dan tenggelam dalam soal dan rumus dari tugas yang belum aku selesaikan. Materinya lumayan sulit, konsentrasiku sering buyar karena keributan yang ditimbulkan teman-temanku. Aku melirik ke seberang kiriku, temanku sedang asik menulis sesuatu di mejanya. Ah, contekan. Aku ingat nanti akan ada ulangan. Menyontek saat ulangan bukan hal yang aneh di sini. Hampir semua temanku melakukannya. Tapi aku tidak bisa. Ada sesuatu di dalam diriku yang meneriakkan kata-kata salah berulangkali.

Aku menghela napas. Ke mana aku harus pergi agar bisa belajar dengan tenang? Di kelas selalu ribut. Lagipula sekolahku tidak pernah ada tempat yang hening. Ujian saja masih bisa saling berbisik-bisik. Ah, ada satu tempat. Perpustakaan. Tapi jam segini baru buka. Isinya pasti cuma pegawai perpustakaan yang baru menata tas dan barang-barang bawaannya di meja kerja yang terletak di sudut kanan perpustakaan itu. Kalau aku ke sana sekarang, nanti malah disuruh menyapu perpustakaan itu. Waktu belajarku akan terpotong.

"Vedirra!"

Suara nyaring itu datang ketika aku tengah berjuang memahami salah satu rumus yang sering kulupakan -sebenarnya lebih tidak mengerti. Yang memanggilku itu salah satu teman kelasku. Baru datang dengan tangan yang menenteng helm dan baju seragam yang terbungkus cardigan pink. Aku ingin memiliki satu yang seperti itu. Aku juga ingin datang ke sekolah dengan kondisi wajah yang segar dan bibir yang cerah sepertinya.

Dia mengintip bukuku yang terbuka di meja. "Itu tugas yang kemarin, ya? Aku boleh lihat?"

"Belum selesai. Kan lagi aku kerjakan."

"Oh, nanti aku lihat, ya." Kemudian dia kembali melongok jawabanku tanpa perlu izin. Menyebalkan. "A, A, C, sama. Eh, nomor 12 itu D? Jawabanku A."

"Masa?" Aku kembali membaca soal dan cara penyelesaianku.

"Jawabanku sama kayak punya Diana" Diana, teman sekalas kami yang jago hitung-hitungan.

"Ooh." Aku memastikan sekali lagi, pun membuka contoh soal yang lain. Memang hasilnya seperti punyaku. Mungkin punya mereka yang keliru. "Nanti deh aku cek lagi." Malas saja mengatakan punyaku kemungkinan benar.

"Eh, kalau gitu lihat tugas merangkum sejarahmu dong! Punyaku tinggal sedikit lagi, tapi pusing waktu lihat sub-bab lanjutannya. Panjang!"

Aku menimbang sebentar. Untuk tugas merangkum saja dia harus menyontek. Padahal tinggal dibaca sebentar lalu ditulis yang penting. Ah, benar, dia terlalu malas untuk membaca. Padahal membaca itu menyenangkan. Tapi aku tidak bisa menolak karena sangat susah untuk bilang tidak. Dasar Vedirra payah!

"Ulangan nanti jangan lupa beritahu jawabannya, ya," ucapnya saat menerima buku catatanku. Bibirnya yang merah karena liptint itu tersenyum. Kan perlu bermanis-manis dulu untuk merayu orang lain.

"Lihat nantilah. Jarak bangku kita kan jauh." Belum juga mulai ulangan, sudah minta contekan.

"Bisa diatur kalau itu. Ya, Vedirra, ya?"

"Lihat nanti."

"Ih, gitu! Pokoknya nanti gampanglah. Kamu tinggal tulis jawabannya di kertas. Kalau malas ngelempar ke aku, suruh yang lain kasih. Oke? Dadah Vedirra."

Namaku Vedirra. Selain payah, aku juga gampang dimanfaatkan.