webnovel

(Un)Real

Dear Gaharu, Sekarang coba jawab pertanyaanku, siapa yang nyata di antara kita, diriku atau dirimu? Sebab aku masih tidak mengerti. Untuk apa kita dipertemukan jika hanya untuk sementara? Untuk apa kau datang jika suatu saat kau berencana untuk pergi? Untuk apa aku dipanggil jika akhirnya diusir pergi? Jika saja aku tahu di mana letak batas imaji itu, Gaharu. Sudah pasti sejak pertama kali aku datang ke tempatmu, aku akan segera lari menjauh. From your Angel(s), Z.V.

Tsyafiradea · Teen
Not enough ratings
10 Chs

Dua kata : Membosankan dan menyebalkan. (Ah, ternyata tiga) (Tidak, lebih dari tiga kata sebenarnya)

Ketika yang lain berseru kecewa, aku berteriak girang dalam hati. Sebelumya teman-teman kelasku itu juga gembira saat mengetahui guru yang akan mengadakan ulangan tidak hadir. Tapi kegembiraan mereka segera hilang saat diberitahu ulangan akan tetap berjalan dengan diawasi oleh guru piket yang terkenal killer. Haha! Dengan itu, aku tidak perlu merasa kesal karena namaku dipanggil-panggil dalam bentuk bisikan -yang menurutku terlalu keras untuk dinamakan bisikan- guna meminta contekan.

Kertas-kertas berisi soal ulangan dibagikan. Ah, aku akan santai mengerjakan soal-soal ini. Tidak ada yang berani menggangguku saat guru killer itu mengawasi kami dengan terus berjalan berkeliling kelas. Jika berhenti pun, dia akan berdiri diam di belakang kelas dengan durasi lima menit sebelum melakukan tugasnya berkeliling. Sangat sempurna!

Karena aku menyukai pelajaran yang sedang diulangankan, aku bisa mengerjakannya dengan cepat. Setelah tiga kali melakukan pengecekan soal dan jawaban, aku menyerahkan lembar ulanganku pada guru pengawas. Aku bisa merasakan berpasang-pasang mata menghujamiku dari balik punggung. Biarkan saja. Terserah mau dibilang pelit atau tidak setia kawan. Mereka saja datang kepadaku hanya saat butuh. Peduli apa aku.

Aku diizinkan keluar lebih dulu. Jadi aku mengambil tugasku yang belum selesai kukerjakan tadi dan pergi. Kantin pasti masih sepi karena belum waktunya istirahat. Jika aku membawa uang lebih, aku akan berlama-lama di sana dengan memesan makanan yang kusuka tanpa perlu bersusah-susah mengantri. Berhubung uangku sedikit dan harus berhemat, aku hanya membeli satu potong roti cokelat.

Ketika bel istirahat berbunyi, aku buru-buru ke perpustakaan. Tinggal di kantin saat istirahat adalah masalah besar saat kau perlu konsentrasi untuk mengerjakan soal. Dan kehadiran teman-teman pengganggu yang menginginkan contekan darimu adalah petaka. Mereka tidak akan mau masuk perpustakaan kalau tidak terpaksa. Semoga tugas kali ini tidak membuat mereka dalam keadaan terpaksa. Sungguh, kehadiran mereka tanpa meminta contekan saja sudah membuatku tidak nyaman.

Aku tidak mengerti mengapa bisa sekumpulan murid kelas 3 SMA itu benar-benar terlihat kekanakan saat berada di perpustakaan. Maksudku, hello!!!! Di luar sana mereka kelihatan sok keren. Menjaga wibawa. Ke mana perginya penjaga perpustakaan? Kenapa bisa dia pergi dengan meninggalkan perpus dalam keadaan bising dan berantakan dengan sekumpulan monyet di dalamnya. Hey, aku tidak mengada-ngada. Lima orang kakak kelasku itu tertawa-tawa kencang, memakan kacang kulit, bahkan dua di antara mereka tengah joget di atas meja besar untuk tempat membaca. Hah, kupikir perpustakaan adalah tempat yang damai di sekolah namun ternyata sama saja. Yang namanya sekolah, tidak akan ada tempat yang benar-benar sepi, sunyi, dan damai.

Aku sudah terlanjur masuk ke sini, jadi aku mencari meja dan bangku yang paling jauh dari senior-seniorku itu. Aku menemukan tempat yang membuat tubuhku tertutup dari pandangan mereka. Kecuali jika mereka berjalan sedikit ke belokan gang satunya. Aku tidak membawa earphone, jadi kupaksa diriku melupakan keributan monyet-monyet di sekitarku. Agak susah awalnya, dahiku sampai berkeringat. Namun pemikiran bahwa lebih baik di sini dibanding mengerjakan tugas di kelas dengan teman-temanmu merengek mengantre untuk mencontek bisa membuatku tetap bersemangat untuk memusatkan pikiran. Beberapa menit setelahnya, aku cukup sibuk memasukkan angka di antara rumus-rumus yang panjang. Sampai-sampai, aku tidak sadar ada benda melayang yang menghantam kepalaku. Hantamannya tidak keras, tidak sakit, tapi tentu saja membuatku kaget. Yang aku rasakan kemudian adalah lembab dan -ugh- bau!!!

Tawa cekikikan menyambutku.

Monyet-monyet kurang ajar!

*****

Aku pulang dalam kondisi kumal. Memang kapan sih aku pergi dan pulang dalam kondisi segar? Keringat yang membanjir, baju kusut, rambut acak-acakan, dan bau. Ditambah lagi aku masih bisa mencium aroma keringat dari baju senior laki-laki itu padahal sebelumnya aku sudah cuci muka. Aaaah, kurang ajar! Kurang ajar!

Kenapa sih kelakuan mereka seperti anak-anak padahal sudah tua? -Hei, mereka kan seniorku, jadi aku pantas menyebut mereka tua. Tidak ada raut penyesalan, tidak ada raut permintamaafan di wajah mereka. Yang aku dapat cuma raut mengejek. Dan saat aku melepaskan dan melemparkan baju itu dari kepala yang otomatis menutupi wajahku, mereka malah bersorak. Salah satunya malah bilang begini, "kurang ajar dia, Ren, masa bajumu dibuang!" Padahal mereka yang kurang ajar membuang baju itu ke kepalaku!

Lalu yang cewek berkata begini, "enak keringatnya Rendi, Dek?" Dengan raut menyebalkan yang membuatku ingin menyumpal baju bau sialan itu ke wajahnya! Aku yakin dia yang melemparnya ke arahku tadi.

Dari semua perkataan mereka, aku tidak menjawab atau berbicara atau menyumpah apa pun. Aku malas berdebat walau aku ingin. Jadi aku membereskan bukuku dan keluar. Aku ingin ke toilet. Wajahku harus disucikan lagi. Di tengah jalan saat di koridor, aku bertemu penjaga perpustakaan yang membawa cangkir kecil putih. Mungkin isinya kopi. Lalu aku bilang, "Bu, cepat ke perpustakaan. Isinya sudah diacak-acak oleh sekumpulan monyet liar."

Aku tidak tahu kelanjutannya. Mungkin mereka sudah pergi sebelum ibu itu datang atau mereka tertangkap lalu dihukum membersihkan perpustakaan. Tetapi saat pelajaran sedang berlangsung, di tengah terik matahari, aku melihat monyet-monyet lepas itu tengah berjemur di depan bendera. Yeah, sebentar lagi mereka akan jadi monyet gosong.

Pulang sekolah bukan berarti aku bisa santai. Aku harus melakukan berbagai pekerjaan rumah -walau tidak semuanya. Setelah itu aku bisa mengerjakan tugas sekolah. Ini yang menyebalkan, di sekolah, aku diganggu oleh teman-temanku. Kalau di rumah, aku diganggu adikku. Dia memintaku mengambilkan apa pun yang diinginkannya. Mainan, minuman, makanan, memijit kakinya ketika kesemutan, menemaninya pipis, mengajakku bermain, dan ikut menyoreti buku tugasku. Jika aku memarahinya, dia akan menangis. Ujung-ujungnya aku yang dimarahi. Jadi kakak itu tidak mudah, tahu!

"Kak Dirra, ayo main."

Hah, lagi-lagi! Padahal aku ingin mengistirahatkan badanku di kasur tipisku setelah mengerjakan tugas sekolah yang tak kunjung habis.

"Udah malam. Besok aja. Sekarang waktunya tidur."

Dia menurut. Tapi aku tahu ada kelanjutannya.

"Garukan punggung."

Ingat, aku tidak bisa membantah. Nanti aku yang dimarahi. Sambil menggaruk punggungya yang kecil, aku menghela napas lelah.

Namaku Vedirra, hidupku selalu membosankan dan menyebalkan.