webnovel

(Un)Real

Dear Gaharu, Sekarang coba jawab pertanyaanku, siapa yang nyata di antara kita, diriku atau dirimu? Sebab aku masih tidak mengerti. Untuk apa kita dipertemukan jika hanya untuk sementara? Untuk apa kau datang jika suatu saat kau berencana untuk pergi? Untuk apa aku dipanggil jika akhirnya diusir pergi? Jika saja aku tahu di mana letak batas imaji itu, Gaharu. Sudah pasti sejak pertama kali aku datang ke tempatmu, aku akan segera lari menjauh. From your Angel(s), Z.V.

Tsyafiradea · Teen
Not enough ratings
10 Chs

Mereka adalah ....

"Jadi, dari tadi aku hanya menebak saat kalian berbicara," ucapku pada keempat laki-laki itu. "Terus terang aku tidak ingat nama kalian. Jadi, berdasarkan kesimpulanku, aku akan mengatakan dugaan nama kalian di kepalaku."

"Dimulai darimu," aku menunjuk lelaki berwajah preman itu. Dia langsung duduk tegak dengan tampang serius, tapi jelas dia menggodaku saat kulihat kilat jahil melintas di bola matanya yang hitam. "Namamu Daffin," ucapku final.

Dia bertepuk tangan sekali. "Benar! Apalagi?"

"Apanya? Aku cuma dengar nama itu saat kalian berempat berbicara." Mataku menatapnya kesal. "Makanya, blazer sekolah itu dipakai biar bisa kulihat nama di name tag-mu! Aku heran kenapa sekolah kita tidak ikut memasangnya di kemeja juga."

Daffin menyeringai, "pokoknya namaku memang Daffin. Lengkapnya nanti kamu juga tahu sendiri. Biar kuberitahu agar kamu lebih cepat ingat dan mengerti, rumahku yang paling dekat dengan rumahmu dibanding tiga sahabat kita yang lainnya. Kita berlima seangkatan, tapi saling beda jurusan. Kadang waktu istirahat kita sama, tak jarang juga beda. Dan ingat, Daffin yang paling ganteng di sini." Ketiga temannya protes sementara Daffin tertawa puas.

Benar, saat aku mengatakan dia terlihat seram dan seperti preman. Aku juga tidak salah. Begini, dia tampan sebenarnya. Rambutnya cukup panjang. Gondrong dengan rambut bagian belakang diikat setengahnya. Rahangnya tegas dengan tatapan mata tajam. Di pipi kirinya terdapat parut, kira-kira sepanjang tiga senti. Dilihat dari luar, badannya paling atletis dibanding tiga sahabatnya yang lain.

"Jangan lupakan, Zef. Dia yang paling banyak pacar." Si wajah jahil berlesung pipi menjelaskan. Daffin tidak terlihat kesal, dia malah tersenyum bangga. Aku menggeleng pelan.

"Dan kamu ... Kanz?" tunjukku pada lelaki berwajah dingin di ujung meja. Dia tidak banyak bicara dari tadi.

Dia mengangguk. "Kita sekelas."

"Oh ya?!" Aku jelas-jelas terkejut. Kenapa aku tidak sadar dari tadi?

"Kadang Kanz suka menyamar jadi dinding saking diamnya," Daffin berceletuk.

"Saat masuk, kamu tidak pernah menatap sekeliling. Kepalamu lurus ke depan," jelas Kanz. Aku meringis, memang seperti itu. Aku takut ada yang bertanya macam-macam.

Si wajah jahil tertawa. "Wah, Zefanya, apa kepalamu tidak sakit? Coba regangkan sekarang." Aku cemberut, kemudian melemparnya dengan bungkus sandwich.

"Aku duduk di sudut belakang. Kalau ada apa-apa, kamu bisa bertanya apa pun kepadaku. Nanti aku akan pindah ke sampingmu jika kau mau."

Aku mengangguk antusias. "Boleh? Aku mau kalau tidak merepotkan."

Kanz tertawa mendengus. "Zefanya, sejak kamu hilang kemarin, kamu menjadi sopan sekali, ya?"

"Biasanya aku bagaimana?" tanyaku penasaran.

"Cerewet." Daffin yang menjawab.

"Kejam." Kali ini si jahil yang mengatakan.

"Bagiku kamu baik, tapi memang sedikit galak." Adzriel tersenyum memandangku.

"Kamu cukup terkenal di sini," ucap Kanz tiba-tiba.

"Oh ya? Memangnya aku terkenal kenapa?"

"Senior galak."

Aku melebarkan mata. "Benar?"

"Jangan percaya Daffin, dia tukang tipu." Adzriel meralat. "Kamu terkenal karena baik dan cantik, berprestasi, dan juga karena pacarnya Kak Gaharu. Eh, tapi di beberapa kalangan, kamu memang dikenal cukup galak."

Aku tidak peduli kalimat akhirnya, aku tertarik dengan kata-jata sebelumnya. "Memangnya kenapa kalau aku berpacaran dengan Gaharu?"

"Dia berpengaruh di sini. Banyak yang takut dan segan padanya," Daffin menjelaskan.

"Kak Gaharu juga punya wajah di atas rata-rata, jelas banyak gadis yang ingin jadi pacarnya. Kamu saja-" ucapan Adzriel berhenti saat seorang siswa mendekati kami.

"Kak Zefanya, ini dari Kak Gaharu." Siswa itu menyerahkan susu pisang padaku.

"Gaharu mana?"

Siswa itu menggeleng, "Kak Gaharu hanya bilang tolong berikan ini pada Zefanya. Setelah itu dia pergi."

"Oh." Aku mengangguk, melirik namanya. "Terima kasih, ya, Faraz."

Wajahnya berbinar. Senyumnya lebar namun terlihat malu-malu. "Iya, sama-sama Kak Zefanya."

"Menurut kalian, Gaharu ke mana?" tanyaku sambil menusukkan sedotan ke penutup botol.

"Dia memang sibuk," ujar Daffin singkat. Aku mengangguk. Dia sedang berada di kelas akhir, mungkin tugasnya lebih banyak.

"Kamu Zavier." Aku menunjuk lelaki berwajah jahil yang mempunyai lesung pipi itu, kembali melanjutkan kegiatanku sebelumnya. "Dan kamu menyebalkan."

Mereka berempat terbahak. Sepertinya mereka setuju.

Aku menatap lelaki berpipi chubby itu. Permennya sudah habis. "Namamu bukan Adzriel?" tanyaku bingung.

"Itu memang namaku. Tapi kamu biasa memanggilku Ziel. Makanya aku semakin yakin kalau kamu hilang ingatan."

"Kamu hanya memanggil nama lengkapnya kalau sedang marah," Kanz membantu menjelaskan.

Aku mengangguk-angguk. Ziel terasa lebih pas di lidahku.

"Masih banyak yang harus kamu tahu. Tapi sepertinya segini dulu cukup," Daffin memperhatikan jam tangannya. "Waktu istirahatku sudah habis. Aku duluan. Kanz, titip Zefanya." Kanz mengangguk.

"Kalian tidak makan?" tanyaku.

"Itu sih bisa diatur. Lagipula tadi pagi kami sudah makan banyak." Zavier yang menjawab. Dia menarik lengan Ziel dan membawanya pergi.

"Zavier dan Ziel satu jurusan. Tapi jam istirahat mereka sama dengan jurusan Daffin," Kanz menjelaskannya padaku setalah tinggal kami berdua di meja ini.

Dia memesan makanan setelah kafetaria cukup sepi. Kami berbincang banyak. Sebenarnya aku yang lebih banyak bertanya. Tentang keseharian dan hubungan persahabatan kami, tentang teman-teman sekelas dan guru-guru. Itu semua sangat membantuku.

Selesai menyantap makan siang, kami berjalan kembali ke kelas. Ketika ada tanda-tanda orang yang ingin mendekat -menyapaku- Kanz cepat-cepat membisikkan nama mereka, kadang dengan biodata singkatnya padaku. Kami berjumpa dengan Gaharu di depan lift lantai dua.

"Aku baru saja ingin menjemputmu," ucapnya.

"Padahal aku sudah ingat jalan ke kelas kok," balasku ketika melihat tampilannya sedikit berantakan. Dia berkeringat dengan nafas tidak beraturan. Padahal setiap sudut sekolah kami terasa dingin karena penyejuk ruangan. Apa mungkin dia dari lapangan outdoor? "Lagipula ada Kanz. Kami kan sekelas."

"Aku tahu. Tapi kamu pergi ke sana denganku, Zefanya. Pulangnya juga harus denganku -kuantar."

Aku tertawa mendengar jawabannya. Berlebihan sekali. Kanz yang berjalan di sisi kiriku diam saja.

Gaharu benar-benar mengantarku sampai ke kelas. Bahkan dia ikut masuk sampai ke bangkuku. Kanz menepati janjinya untuk pindah duduk di dekatku. Gaharu mengangguk setuju, lebih mudah bagi Zefanya -itu katanya.

Aku jadi penasaran akan sesuatu. Jadi setelah Gaharu pamit saat guruku masuk -dia tidak mau beranjak bahkan setelah bel berbunyi dan aku mengusirnya- aku berucap pelan pada Kanz.

"Apa Gaharu tidak cemburu kalau aku punya sahabat laki-laki?"

"Kenapa tanya padaku?"

"Siapa tahu kamu tahu."

"Kalau dia cemburu, pasti dia tidak akan menitipkanmu pada kami berempat tadi."

"Tidak pernah cemburu sedikitpun?"

"Kalau itu mana kutahu, sudah kubilang, tanya sendiri sana." Kanz mulai berdesis kesal. Guru sedang menjelaskan dan aku masih bertanya-tanya. Hei, tempat duduk kami kan tepat di depan!

Tapi aku belum peduli.

"Memang kamu tidak pernah melihat atau merasakannya sedikit pun? Aku kan sedang lupa ingatan, kalau tidak, aku pasti tidak akan bertanya."

Dia mendesah kasar. "Buat apa dia cemburu? Kita memang murni bersahabat. Sudah seperti keluarga. Dan masing-masing dari kita sudah punya pacar."

Oh! Aku tersentak. Sekarang timbul lagi pertanyaanku. Apa perempuan-perempuan itu tidak cemburu saat aku dekat dengan pacar mereka?

Kanz tahu apa yang ada di otakku. Jadi dia menoleh tajam dan sedikit beringsut menjauh. Aku cemberut. Baiklah, pertanyaannya bisa disimpan nanti saja. Guru di depan sepertinya sadar ada seorang murid di bangku terdepan berani-beraninya tidak memperhatikan pelajaran.