webnovel

(Un)Real

Dear Gaharu, Sekarang coba jawab pertanyaanku, siapa yang nyata di antara kita, diriku atau dirimu? Sebab aku masih tidak mengerti. Untuk apa kita dipertemukan jika hanya untuk sementara? Untuk apa kau datang jika suatu saat kau berencana untuk pergi? Untuk apa aku dipanggil jika akhirnya diusir pergi? Jika saja aku tahu di mana letak batas imaji itu, Gaharu. Sudah pasti sejak pertama kali aku datang ke tempatmu, aku akan segera lari menjauh. From your Angel(s), Z.V.

Tsyafiradea · Teen
Not enough ratings
10 Chs

Pasang mode tidak ingin diganggu

Aku menyukai Gaharu dengan seragam sekolahnya. Postur tubuhnya terlihat tegas. Ini kali pertama aku benar-benar memperhatikan penampilannya. Seperti kebanyakan laki-laki, dia sangat tinggi. Kulitnya bersih, rambutnya berantakan dengan poni yang jatuh menutupi sebagian matanya. Tatapannya lembut saat memberikanku secangkir teh manis hangat.

"Perlu obat pereda sakit?"

Aku menggeleng. "Aku perlu ke kelasku."

"Nanti kuantar," katanya sambil menyeret kursi untuk bisa duduk di dekatku. "Kamu harus istirahat lebih banyak."

"Istirahatku sudah cukup kemarin. Sebentar lagi masuk, aku nggak mau terlambat."

"Justru kamu perlu terlambat. Udah rasain kejadian memusingkan kayak tadi, kan? Waktu teman-temanmu ajak ngobrol tentang keseharianmu. Kalau kamu datang lebih lambat, kesempatan mereka bertanya-tanya malah makin sedikit."

Benar juga. "Tapi aku takut dimarahi guru."

Dia tersenyum. "Biar nanti kujelaskan. Kamu tinggal ngangguk."

Aku jadi teringat sesuatu. "Kamu kelas berapa? Kita nggak sekelas?"

"Kenapa? Kamu mau kita sekelas?"

Aku tahu dia sengaja menggodaku. "Bukan gitu maksudku. Kupikir, kamu sudah kuliah."

"Mukaku kelihatan tua, Zefanya?" dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku spontan mundur. Dia tergelak, ikut mundur. "Kamu lucu, Zefanya. Mukamu merah."

Uh! Appa perlu dia jelaskan? "M-maksudnya, kamu tinggi dan dewasa. Eh, m-maksudku, kupikir kamu temannya kakak-kakakku."

"Aku kakak kelasmu sebenarnya."

Jadi aku berpacaran dengan senior? "Oh." Aku mengangguk.

"Nanti istirahat, kamu kujemput. Kita makan siang sama-sama," katanya saat kami berjalan ke kelasku. Aku mengangguk patuh. Lebih aman bersama Gaharu. Dia lebih tahu kondisiku.

Seperti yang dijanjikannya, Gaharulah yang menjelaskan kenapa aku datang terlambat. Guru yang mengajar mengangguk meski sempat melayangkan protes pada Gaharu.

Hanya ada satu bangku kosong di kelas ini dan letaknya persis di depan meja guru -aku langsung tahu bahwa itu kursiku. Aku mendesah lega, sangat mudah untuk aku temukan. Mungkin dengan duduk di depan sana, resiko aku tidak ditanya-tanya oleh teman sekelas berkurang. Semoga Gaharu menjemputku tepat waktu nanti.

Dengan duduk di depan, aku bisa lebih fokus. Kupikir aku akan mengalami kesulitan saat belajar, namun aku terkejut saat mendapati diriku mencerna semua penjelasan guru dengan sangat baik. Bahkan aku dapat menjawab dengan benar saat aku ditunjuk untuk mengerjakan soal matematika di depan kelas, tanpa kesulitan sama sekali. Padahal aku harus menjawab soal itu dengan rumus yang pastinya telah diajarkan sebelum aku hilang ingatan. Mengingat aku lupa apapun, aku senang mendapati aku tidak kesulitan dalam belajar. Wah, sepertinya aku cerdas.

Ah ya, hari ini ada tugas yang dikumpulkan. Aku cemas menatap buku pekerjaan rumahku, takut ternyata belum kukerjakan. Dan aku bisa menarik napas lega setelah melihat lembar berpena terakhir, aku telah mengerjakannya! Sepulang sekolah nanti aku berjanji akan mengecek buku-buku dan mengerjakan tugas rumah yang diberikan hari ini.

Gaharu mendatangi kelasku sebelum bel istirahat berbunyi. Dia menungguiku di depan pintu kelas sambil sesekali memainkan ponselnya.

Ah, ponsel!

Kenapa aku begitu bodoh? Aku kan bisa memeriksa ponselku. Membuka aplikasi pesan, galeri, atau bahkan sosial mediaku agar aku bisa tahu siapa-siapa saja yang dekat denganku di sekolah. Haduh, Zefanya, kenapa tidak berpikir ke arah sana? Istirahat nanti akan ku-cek.

3 menit kemudian, yang kutunggu-tunggu berbunyi. Gaharu memasuki kelas saat jarak guruku dan pintu kelas masih sisa setengah meter. Dia mengangguk dan tersenyum singkat, lalu mendatangiku.

"Kamu bolos kelas?" tanyaku ketika dia ikut memasukkan bukuku ke dalam loker -Gaharu yang menunjukkan di mana tempatnya.

"Pelajarannya udah selesai, jadi aku keluar."

"Atas izin gurumu?"

Dahinya mengerut. "Tentu."

Di sepanjang jalan menuju kantin, dia menggandeng tanganku. Letaknya terpisah dari gedung kelas. Kami harus melewati jalan sepetak yang di kiri dan kanannya terdapat rumput hijau dengan bunga warna-warni. Aku tidak tahu apa nama bunganya.

Ternyata kantin di sini berdiri sendiri, Gaharu bilang ada 2 tingkat. Di pintu masuknya ada tulisan kafetaria dengan font tulisan tegak bersambung. Dindingnya kaca, jadi kita bisa melihat pemandangan di luar. Di dalamnya sangat luas. Gaharu mengajakku ke lantai atas. Kami duduk di meja yang terletak di sudut ruangan agar dapat menikmati pemandangan di bawah.

"Mau makan apa? Biar kuambilkan," ucap Gaharu setelah memastikanku duduk dengan nyaman.

Aku tidak tahu menu apa saja yang disediakan di kafetaria ini. "Kamu tahu menu biasa yang kupesan?" Dia mengangguk. "Aku mau itu aja."

Gaharu tersenyum. "Oke. Tunggu sebentar. Kalau kamu sedang tidak mau diganggu, pakai ini." Dia menyerahkan headphone hitam yang tadi melingkari lehernya padaku. "Dan pasang muka cuekmu. Dijamin tidak ada satu orang pun yang berani mengganggumu."

Aku menurutinya. Alunan musik terdengar lembut di telingaku. Gaharu menyetel volume sedang. Aku duduk membelakangi yang lain dengan tangan memegang ponsel agar orang-orang yang melihatku menganggap aku tengah sibuk dan tidak ingin diganggu. Namun mataku tidak menatap layar redup itu, melainkan pemandangan di bawah sana. Dari sini, aku dapat memperhatikan dua lapangan outdoor tempat beberapa anak laki-laki bermain voli. Sementara di lapangan satunya mereka sibuk bermain basket. Pancuran di halaman depan juga dapat terlihat dari sini. Sekolahku benar-benar indah dan menenangkan.

Entah berapa lama aku memperhatikan sekitar sampai sebuah tangan menepuk pelan lenganku. Aku kira Gaharu, tapi saat aku berbalik yang kulihat adalah ... 4 orang murid laki-laki. Satu wajah yang paling dekat denganku terlihat menyeramkan. Sementara yang lainnya cukup bersahabat, meski yang paling belakang diam menatapku tajam. Aku jadi teringat Kak Liam ketika menatapnya. Dia terkesan dingin. Satu cowok akhirnya duduk di hadapanku, dia berbicara -entah apa- dan menampakkan lesung pipinya. Namun anehnya, di mataku dia tidak terlihat manis dengan lesung pipi itu, malah terlihat kekanakan dan jahil. Melihat temannya duduk, yang lain mengikuti. Di meja yang aku tempati berisi 4 kursi, jadi mereka menarik sisanya di meja sebelah. Ah, salah, mereka juga menarik mejanya, menyatukannya dengan mejaku. Posisiku jadi di tengah, aku melayangkan pandangan untuk mencari Gaharu. Tolooong, aku masih oke kalau yang mendatangiku perempuan. Tapi bukan sekelompok lelaki dengan salah satunya tampak seperti preman.

Dan sialnya, lelaki berwajah preman itu duduk di samping kiriku. Dia menatapku, berbicara sesuatu lalu berdecak. Rasanya aku ingin kabur ketika dia mendekat ke arahku. A-apa mereka geng pembuli di sekolah ini? Geng berbahaya? Apa mereka sekelompok anak pembuat masalah yang ditakuti satu sekolah?

Tangannya terulur, aku ingin segera beranjak namun kakiku beku. Oke, aku akan mengeluarkan jurus mematikan. Putar otak! Cari kelemahan laki-laki! Ah, tendang selangkangan! Aku ingin menangis, d-dia kan tengah duduk. Posisiku yang malah tidak menguntungkan. Gaharu ... kamu di mana? Ternyata masih ada orang-orang yang berani menggangguku ketika aku tengah berakting menjadi orang yang tidak ingin diganggu.

Tangannya terus mendekati wajahku hingga ... suara ramai terdengar jelas. Mataku menyipit, berani-beraninya laki-laki bertampang preman ini melepaskannya tanpa seizinku. Tidak sopan.

"Nah, kalau gini kan enak. Kita bisa bicara," ucap lelaki itu santai.

"Zef," yang punya lesung pipi dan berambut cokelat itu memanggilku, "kamu benaran hilang ingatan?"

ASTAGA, SIAPA MEREKA?

Apa kabar bahwa aku hilang ingatan sudah tersebar di sekolah?