webnovel

(Un)Real

Dear Gaharu, Sekarang coba jawab pertanyaanku, siapa yang nyata di antara kita, diriku atau dirimu? Sebab aku masih tidak mengerti. Untuk apa kita dipertemukan jika hanya untuk sementara? Untuk apa kau datang jika suatu saat kau berencana untuk pergi? Untuk apa aku dipanggil jika akhirnya diusir pergi? Jika saja aku tahu di mana letak batas imaji itu, Gaharu. Sudah pasti sejak pertama kali aku datang ke tempatmu, aku akan segera lari menjauh. From your Angel(s), Z.V.

Tsyafiradea · Teen
Not enough ratings
10 Chs

Hari pertama sekolah

Hari ini aku siap ke sekolah. Aku tahu akan ada banyak serbuan rasa bingung dan kepalaku akan sakit mengingat aku masih tidak ingat apa-apa. Tapi ya sudahlah, aku tidak mungkin membolos terlalu lama. Terlalu sering di rumah juga akan membuatku bosan.

Hari ini aku bersiap sendiri tanpa bantuan Mama dan asisten-asistenku. Seragam sekolahku terlihat keren. Kak Finn bilang -dia memaksaku memanggilnya kakak ketika aku berbicara menggunakan aku-kamu padanya- SMA-ku termasuk sekolah swasta elite di kota ini. Aku sudah menduganya mengingat keadaan ekonomi orang tuaku. Mereka pasti menyekolahkan anak-anaknya di sekolah terbaik. Aku sendiri yang mengemas buku-bukuku berdasarkan jadwal pelajaran yang tertempel di meja belajar. Ternyata aku cukup rapi menyusun buku pelajaran di rak meja belajar, mudah saja mencari buku yang dimaksud.

"Benar udah siap sekolah hari ini?" Saat menuruni tangga, aku tersentak saat kakakku tiba-tiba berujar di sampingku. Sejak kapan dia berjalan di dekatku? Apa aku terlalu banyak melamun?

Aku meliriknya, mencoba menerka dia Liam atau Finn. Raut wajahnya serius dan lebih dingin. "Kak Liam?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk singkat. Aku tersenyum kecil, pelan-pelan aku bisa membedakan mereka berdua. "Hari ini aku siap. Bosan di rumah nggak ada orang."

"Mama bisa temenin kamu di rumah."

"Nggak usah, mama kan harus kerja." Sama seperti Papa, Mama juga kerja. Beliau owner butik dan salon. Tadi malam Mama bilang akan bekerja di rumah saja agar bisa menemaniku. Aku tahu itu merepotkan, jadi aku menolak.

"Kakak mau berangkat kuliah?" Kak Liam mengangguk lagi. "Sebenarnya kita beda berapa tahun?"

"3."

"Kakak dan Kak Finn?"

"10 menit." Aku mengangguk. Sebelumnya aku memang sudah menduga kalau Kak Liam yang paling tua.

Hari pertamaku ke sekolah, Kak Liam yang mengantar menggunakan mobilnya. Finn lebih senang menggunakan motor. Mereka beda kampus. Aku menatap jalan yang ramai. Suasana kota ini tidak familiar bagiku. Aku tidak mengenal sudut-sudutnya.

"Itu sekolahmu." Kak Liam menunjuk sebuah gerbang tak jauh di depan kami. Bahkan jarak antara gerbang dan lobinya saja sangat jauh.

Sekolah ini benar-benar megah, seperti Istana kepresidenan. Tamannya begitu tertata. Bahkan air mancur di tengah-tengahnya sangat bergaya. Aku memperhatikan siswa-siswi yang berkeliaran. Wajah mereka sangat asing. Suara klakson mobil mengejutkanku. Aku lupa banyak yang mengantri di belakang. Aku melirik Kak Liam yang ternyata masih memperhatikanku. Sambil meringis, aku buru-buru keluar setelah mengucapkan terima kasih telah mengantarku ke sekolah. Padahal kata Papa, aku mempunyai supir pribadi yang siap mengantarku ke mana saja.

Mobil Kak Liam bergerak maju setelah membunyikan klakson tanda pamit, aku melambai singkat. Mengambil napas, aku menyiapkan diri. Pelan aku menaiki anak tangga. Aku tahu berada di kelas apa. Aku sempat melihatnya di salah satu buku sekolahku, tapi aku tidak tahu kelasku terletak di mana. Sekolah sebesar ini, dengan begitu banyaknya ruangan, bahkan banyak bangunan yang terpisah, aku ragu akan menemuinya dengan mudah.

"Zefanya!"

Suara perempuan, aku balik badan. Dia adalah perempuan dengan rambut lurus panjang sepinggang, tersenyum lebar, dan ketika dia berhenti di dekatku, wah, aku merasa pendek.

"Lagi nyari siapa sih?" tanyanya sambil memperhatikan sekitar.

"Enggak nyari siapa-siapa kok."

Dia mengangguk. Mulai berjalan, aku mengikutinya. Apa dia teman sekelasku. Astaga, siapa namanya? Dia kelas berapa? Aah! Kenapa dia tidak memakai blazer sekolah alih-alih jaket kulit hitam kebesaran? Aku jadi tidak bisa melihat identitasnya.

"Kirain. Kamu kayak lagi nyari sesuatu, malah kayak lagi bingung." Apa raut wajahku terpampang begitu jelas? Aku harus bisa menetralkannya. Ayo wajah!

"Oh, bukan apa-apa kok."

Kami terus berjalan. Perempuan ini terus berbicara. Sesekali aku menanggapinya dengan tersenyum atau ikut tertawa. Atau tanggapan klise lainnya. Obrolannya tidak kupahami. Dia membahas tentang cowok yang kukira gebetan atau malah jadi pacarnya. Jaket kulit yang dipakainya milik cowok itu. Dia sama sekali tidak menyebutkan namanya atau berada di kelas berapa. Jelas saja, buat apa kita menyebut-nyebut hal itu lagi saat sudah saling kenal, kan?

Kami terus berjalan, aku harus menghafal rute ini. Pada persimpangan pertama, belok kiri menuju lift. Lantai 4. Di sepanjang jalan, banyak siswa-siswi yang menyapaku. Bahkan ada yang mengajukan beberapa pertanyaan seperti, 'besok jadi pergi nggak?' 'bukunya sudah selesai dibaca? Habis ini giliranku, ya.' Lihatlah, mana aku tahu jawabannya. Jadi kujawab sembarang seperti lihat nanti atau belum. Aku tidak tahu ada tugas-tugas itu. Astaga, apa di kelasku ada tugas yang harus dikumpulkan sekarang? Aku tidak menemukan jurnal-jurnal hal remeh lainnya di tumpukan buku notesku.

"Kamu kenapa ke sini?"

Lagi-lagi aku tersentak. Aku harus lebih berkonsentrasi. Wah, sejak kapan aku sudah sampai kelas?

"Sebentar lagi mau masuk. Kamu mau ikut gosip, ya? Duduk. Nggak mau taruh tasmu dulu ke kelas?"

Uwahh ... berarti ini bukan kelasku. Mana kelasku? Beberapa murid perempuan di sana menyapa dan melambai kepadaku, memintaku untuk bergabung. Tapi aku menolak, aku harus segera menemukan kelasku. Mau tidak mau, aku harus memperhatikan tanda setiap kelas. Bisa saja aku meminta perempuan tinggi ini untuk mengantarku ke kelas, tapi nanti malah timbul kecurigaan.

"Kamu sakit, Zef? Mukamu pucat, tingkahmu juga aneh. Kuantar ke Uks, ya?" Mau! Aku lebih mau bersembunyi ke Uks daripada menghadapi satu sekolahan. Kepalaku sudah sakit dari tadi.

Namun aku menolak. Sampai kapan bersembunyi terus? "Nggak usah. Aku baik. Kalau gitu aku ke kelas dulu, ya. Daah."

Aku tahu di luar sini lebih banyak orang yang berlalu-lalang dan bisa saja memperhatikanku. Tapi kepalaku pusing. Jadi aku bersandar di dinding, menunduk dan memijat pelan kepalaku. Hidungku membaui aroma yang tidak asing. Tubuhku terasa lebih hangat. Ada deru nafas di dahiku.

"Kita ke Uks sebentar, ya?"

Suaranya yang lembut dan dalam membuatku ingin menangis. Aku lega mendengar suara ini. Dengan mata yang terpejam erat, aku tahu dia berdiri melindungiku dari tatapan orang-orang. Dan aku mulai mengadu,

"Gaharu ... kepalaku sakit."

Tangannya menggenggam pergelangan tanganku dan aku mengikutinya tanpa menaruh rasa curiga lagi.