webnovel

(Un)Real

Dear Gaharu, Sekarang coba jawab pertanyaanku, siapa yang nyata di antara kita, diriku atau dirimu? Sebab aku masih tidak mengerti. Untuk apa kita dipertemukan jika hanya untuk sementara? Untuk apa kau datang jika suatu saat kau berencana untuk pergi? Untuk apa aku dipanggil jika akhirnya diusir pergi? Jika saja aku tahu di mana letak batas imaji itu, Gaharu. Sudah pasti sejak pertama kali aku datang ke tempatmu, aku akan segera lari menjauh. From your Angel(s), Z.V.

Tsyafiradea · Teen
Not enough ratings
10 Chs

Empat sahabat laki-laki

"Sepertinya dia memang tidak ingat." Lelaki beraut wajah dingin yang mengingatkanku dengan Kak Liam menyahut.

Aku berusaha menetralkan wajah. "Kalian bicara apa? Siapa yang hilang ingatan?"

"Kalau begitu siapa namaku?" tanya lelaki bertampang preman.

"Zef, kalau aku pasti kamu ingat, kan?" Salah satu laki-laki yang dari tadi diam karena asik mengemut permen batang ikut bertanya. Wajahnya terlihat imut dengan pipinya yang chubby.

Lelaki bertampang seram itu tidak mengenakan blazer sekolah, tidak ada nama di seragamnya. Jadi aku melirik nama di seragam laki-laki imut itu. "Tentu aku tahu kamu, Adzriel." Bleh, kenapa namanya terasa tidak nyaman di lidahku?

Adzriel ternganga. Matanya membesar, terlihat kecewa. "Kamu lupa! Mana pernah selama ini kamu memanggilku Adzriel." Selama ini? Apa mereka temanku?

"Mengaku saja." Si lesung pipi berwajah jahil menatapku, menyeringai. Sama seperti si muka preman, dia tidak mengenakan blazer sekolah. "Kamu pasti tidak ingat, kan?"

"Begini." Si muka preman mendekatkan kursinya dan mencondongkan tubuh ke arahku, yang lain lagi-lagi mengikuti. "Kami tahu apa yang menimpamu. Mamamu yang memberitahu semalam," ucapnya dengan suara pelan. Teman-temannya mengangguk. Mataku membesar.

"Kami ini-bukan," dia menggeleng, berdeham. "Zefanya, kita sudah bersahabat sejak kecil. Jadi kamu santai saja, kami akan menjagamu." Mulutku menganga. Jadi selama ini aku berteman dekat dengan 4 laki-laki?

"Bohong!" Aku tidak mau percaya.

"Tanya saja dengan pacarmu." Si muka seram menunjuk ke arah samping. Ternyata Gaharu datang dengan membawa nampan di tangannya.

"Ada yang berani mengganggunya?" tanya Gaharu pada keempat laki-laki itu. Mereka berempat serentak menggeleng.

"Di sekolah ini, siapa yang berani ganggu Zefanya?" ucap si muka jahil sambil menyeringai geli padaku.

"Zav, jangan lupakan geng kucing," si muka preman menyela. Zav -si jahil berlesung pipi- tertawa.

Gaharu duduk di sebelah kananku. Memang keempat laki-laki ini menyisakan satu bangku di sebelah kananku, seolah tahu ada pemiliknya di situ.

"Sebenarnya aku ingin mengambil menu makan siang lengkap, tapi batal karena kupikir kamu tidak berselera. Jadi ini, kamu tinggal pilih mau makan puding atau sandwich. Keduanya juga boleh."

Aku memang jadi tidak berselera makan setelah bertemu keempat orang yang mengaku sahabatku. Tapi aku harus tetap mengisi perut, puding strawberry-nya terlihat menggoda.

"Aku yang meminta mereka menemanimu di sini. Dengan ada mereka, aku bisa tambah yakin tidak ada yang bisa mengganggumu." Gaharu menjelaskan saat aku telah menelan dua sendok puding.

Pilihan Gaharu tepat. Tentu saja, siapa yang mau berurusan dengan 4 lelaki dengan salah satunya bertampang preman? Well, oke, wajahnya tidak preman-preman atau sangar sekali. Sebenarnya wajah lelaki itu tampan -maksudku, keempat orang ini punya wajah di atas rata-rata. Wajahnya itu lebih seperti-tunggu, akan lebih enak mendeskripsikannya saat aku tahu namanya bukan? Jadi aku akan bertanya.

"Oke, kalau benar kalian temanku-"

"Sahabat," lelaki dengan pipi chubby menyela. Wajahnya terlihat tidak setuju. "Ingat, Zef, denganku, kamu sudah bersahabat sejak SMP."

Aku memutar bola mata. "Okay, okay. Kalau benar kita bersahabat sedari kecil, mana buktinya?" Hei, aku perlu bukti, kan?

"Kamu masih belum percaya juga? Bahkan Kak Gaharu telah menjelaskan dialah yang meminta kami untuk menemanimu. Menurutmu dia mau memilih orang sembarangan untuk menjagamu, Zefanya?" Zav -si muka jahil berlesung pipi itu memandangiku tak percaya. Aku mengangkat bahu acuh.

Yah, aku hanya ingin membuktikannya saja. Aku ingin melihat kebenarannya dengan mata kepalaku sendiri. Agar aku bisa sepenuhnya percaya.

"Sudahlah, Zav. Kau tahu? Hal itu memang benar-benar Zefanya. Dia akan tetap ngotot sampai dia benar-benar puas." Si wajah preman tersenyum kecil padaku.

"Zefanya, biar kuberitahu. Sebelum insiden kamu menghilang, kita memang sempat bertengkar." Adzriel dan Zav mengangguk sementara lelaki berwajah dingin hanya fokus memperhatikan. "Sebenarnya di kamarmu terpasang foto-foto kita, tapi kamu menurunkannya. Aku tidak tahu kamu ke manakan foto-foto itu mengingat sangat banyak. Mungkin sudah kamu buang atau bakar?"

"Dari mana kamu tahu aku menurunkannya?" Aku saja tidak ingat.

"Waktu keluargamu bilang kalau kamu menghilang. Kami sempat menggeladah kamarmu. Tidak ada foto-foto kita di sana." Si wajah dingin menjelaskan.

"Kita bertengkar karena apa?" Mereka diam. Berpandangan sesaat sementara si wajah dingin menghela napas. "Masalah apa?"

"Sudahlah, mari kita lupakan masalah lama," Zav, menepuk tangannya sekali. "Kau sudah lihat ponsel-"

"Tidak, tunggu!" aku buru-buru memotong. "Kalau kalian tidak mau memberitahu, aku tidak ingin berbicara pada kalian berempat lagi. Buat apa? Bukankah kita masih bertengkar kalau begitu? Aku belum memaafkan kalian, kan?"

"Kenapa begitu?" Adzriel protes.

"Memang begitu. Ceritakan dulu apa masalahnya, baru aku ingin berbicara lagi."

Adzriel memandangi sahabat-sahabatnya dengan kesal. "Ini semua salah kalian berdua, tapi aku dan Kanz juga kena!"

Si wajah preman terlihat mengalah. "Baiklah, baiklah. Waktu itu kamu mendapati aku dan Zavier di club. Kamu marah karena kami berbohong."

"Jangan lupakan sambil mabuk-mabukan." Adzriel menambahi.

"Iya, mabuk-mabukan."

"Jangan lupakan kalian sebelumnya mengaku ingin kerja kelompok pada Zefanya. Tapi malah menuju club." Si wajah dingin, namanya Kanz, ikut menjelaskan. Aku tahu namanya begitu karena tadi Adzriel menunjuknya. Selain itu, namanya sudah terpajang di blazer sekolah miliknya.

"Iya, aku tidak lupa." Si wajah preman mengalah pada dua sahabatnya. "Kira-kira begitu," katanya lagi saat melihatku.

Aku menyendok puding strawberry-ku lagi dengan diam, kepalaku sedang berpikir. Aku cukup kaget mendengar pengakuan mereka. Anak sekolah sudah mabuk-mabukan di club? Astaga. Apa lagi yang mereka lakukan di dalam sana? Aku menggeleng, tidak mau berpikir jauh lagi.

"Sebelumnya, kalian sering ke club?" tanyaku.

"Soal itu Daffin juaranya. Aku cuma ikut-ikutan karena bosan saat itu." Zavier yang menjelaskan, dia menunjuk si pria bertampang preman. Nah, aku sudah tahu nama mereka.

Daffin meringis. "Tidak lagi-lagi. Itu yang terakhir."

"Jangan berjanji. Terakhir kau bilang itu, kau melakukannya lagi dan berbuntut panjang," Kanz menegur.

"Iya, baik!" Daffin mengangkat tangannya tanda menyerah lalu menoleh padaku. "Kemarin itu aku terpaksa, Zefanya. Sebisa mungkin aku tidak ke sana lagi."

Aku mengangkat bahu. "Terserah sajalah. Ini hidupmu, kau tahu apa yang terbaik," kataku. Aku yang dulu seperti apa? Menentang keras Daffin ke club? Sebagai sahabat yang baik seharusnya aku kembali menentang. Tapi saat kau tersadar kembali sebagai orang yang tidak ingat apa-apa, aku jadi merasa aneh untuk langsung melarangnya.

"Kau tidak mengecek ponselmu?" Zavier bertanya. "Di sana pasti ada foto-foto kita. Kecuali sudah kamu hapus."

"Aku belum mengecek ponselku sejak kemarin." Aku merogoh kantung blazer, mengeluarkan ponselku. "Sengaja tidak kuhidupkan." Aku menunjuk ponselku yang menampilkan layar hitam pada mereka.

Pudingku habis. Aku melirik sandwich, perutku masih lapar. Aneh, padahal sejak semalam, aku tidak terlalu nafsu makan. Mungkin keinginan makan itu kembali hari ini saat aku harus banyak mengeluarkan energi di sekolah.

"Mau kuambilkan sesuatu lagi?" Gaharu bertanya saat aku menggigit sandwich. Aku menggeleng, namun buru-buru mengangguk. "Kalau ada, aku ingin susu."

"Ada. Rasa apa?" katanya lagi sambil bersiap pergi.

"Um ... vanila? Ah, pisang saja," ralatku buru-buru saat melihat siswi di seberang tengah memegang susu rasa pisang. Aku penasaran dengan rasanya. "Eh, tapi, biar aku saja yang mengambilnya."

Alisnya menyudut, aku suka melihat matanya yang menajam. "Kenapa?"

"Nanti merepotkan."

Gaharu terkekeh, sementara itu, aku mendengar tawa dengusan dari arah 4 laki-laki itu. Gaharu tidak mengatakan apa-apa, dia hanya mengusap rambutku singkat lalu berjalan mengambil pesanan.