webnovel

(Un)Real

Dear Gaharu, Sekarang coba jawab pertanyaanku, siapa yang nyata di antara kita, diriku atau dirimu? Sebab aku masih tidak mengerti. Untuk apa kita dipertemukan jika hanya untuk sementara? Untuk apa kau datang jika suatu saat kau berencana untuk pergi? Untuk apa aku dipanggil jika akhirnya diusir pergi? Jika saja aku tahu di mana letak batas imaji itu, Gaharu. Sudah pasti sejak pertama kali aku datang ke tempatmu, aku akan segera lari menjauh. From your Angel(s), Z.V.

Tsyafiradea · Teen
Not enough ratings
10 Chs

Mulai beradaptasi

Dokter yang memeriksaku sudah pulang. Dia tidak mengatakan apapun padaku kecuali memintaku untuk lebih banyak beristirahat ketika aku menanyakan apakah aku mungkin terkena amnesia dadakan?

Di sore harinya, aku memutuskan untuk mandi. Astaga, bahkan kamar mandinya luas dan mewah. Aku sempat bingung bagaimana cara menggunakan jacuzzi serta toilet duduknya yang dipenuhi tombol-tombol. Apa benar ini kamar mandiku dulu? Beruntung ada Mama yang membantu menjelaskan kegunaannya. Di dalam kamar mandiku ada sebuah pintu menuju walk in closet -yang juga terhubung lewat pintu di kamar, jadi walk ini closetku ada dua pintu. Satu menuju toilet, satu lagi kamar. Ketika aku memasukinya, kupikir ini mall mini yang tersembunyi. Pakaiannya begitu banyak, mewah, dan tersusun rapi. Di sudut lainnya juga tidak ketinggalan berbagai aksesoris wanita seperti tas, sepatu, dan lain-lain. Dan untuk mengambil semuanya, aku harus memasukkan sandi di pintunya terlebih dahulu. Beruntungnya semua sandi di pintu ini sama dan Mama mengetahuinya. Kalau tidak, terpaksa aku memakai baju yang aku kugunakan tadi. Kata Mama, sebelumnya mereka sempat menggunakan sidik jariku untuk pengaman aksesorisku. Ah, tentu saja di rumah ini terdapat banyak asisten rumah tangga. Kata Mama tadi, yang mengurusi keperluan pribadiku ada tiga orang. Namun karena kondisiku sekarang yang tidak memungkinkan, Mama yang mengambil alih. Beliau ingin membuatku nyaman dan mudah beradaptasi kembali.

Aku bingung ingin menggunakan baju yang mana, terlalu banyak. Akhirnya Mama yang memilihkannya untukku. Sebuah dress di bawah lutut berwarna putih gading dengan bunga-bunga mawar kecil yang menghiasinya, dilapisi cardigan rajut berwarna merah bata. Mama juga memilihkan alas kaki yang berwarna senada. Aku memakainya meski dalam hati ingin menggunakan sandal kamar berkarakter kelinci pink lembut itu saja.

"Zef mau ikut ke bawah? Sekarang waktunya minum teh." Sebenarnya aku ingin tiduran di kasur sambil memikirkan kejadian yang menimpaku. Namun akhirnya aku memilih mengiyakan ajakan Mama. Mungkin nanti aku teringat pada sesuatu.

"Sebenarnya aku kenapa, Ma? Apa kata dokter tadi?" tanyaku saat kami berjalan menuju tempat minum teh. Mama bilang, letaknya di taman bekalang rumah.

Beliau diam sebentar, seperti sedang menimbang sesuatu. "Kamu~ kata dokter kepalamu sempat terbentur, jadi-"

"Ma."

Aku dan Mama menoleh, di belakang kami menyusul... eh, siapa ya namanya? Finn atau Liam? Pakaian yang dikenakannya berbeda, sudah diganti. Atau mungkin mereka kembar tiga?

"Kamu mau ke mana, Finn?" Oh jadi dia Finn. Itu berarti tidak ada kembar ketiga. Aku bisa pusing jika harus serumah dengan tiga kakak kembar yang sama persis.

Finn menyeringai, ekspresinya seperti anak kecil yang ingin berbuat nakal. "Pergi dulu, Ma."

"Penting banget? Kamu nggak kelihatan kayak mau kerja kelompok." Ya, tidak ada tas ataupun buku yang dipegangnya.

"Ketemu temen sebentar."

"Pacar kamu? Bawa aja ke sini. Ajak minum teh sama-sama." Mama menggandeng tanganku, membawaku ikut kembali melangkah. Di belakang kami, Finn mengejar.

"Bukan gitu, Ma." Dia mengacak rambutnya frustasi. Rambut cokelatnya terlihat panjang, tidak segondrong itu tapi. Hanya sebatas melewati telinga. Potongannya sama seperti punya Liam.

"Lalu apa? Mending kamu di rumah. Jangan terlalu sering keluyuran, Finn." Sepertinya Finn menyerah, dia tetap mengikuti kami setelah menghembuskan nafasnya keras-keras.

Setelah melewati pintu belakang rumah yang harus dibuka oleh dua orang pelayan, kami berjalan menuju gazebo bergaya Eropa yang terletak di tengah taman. Di sana sudah menunggu Papa yang tengah berbicara pada Liam. Ketika kami sampai, Papa berdiri menyambut kami. Dia tersenyum lembut sambil menuntunku untuk duduk di dekatnya. Ah, mungkin saat beliau berdiri tadi untuk menyambutku saja. Buktinya Papa tidak menghiraukan Finn yang duduk cemberut dan Mama yang langsung memasukkan teh dan gula ke dalam cangkirku. Papa bertubuh tinggi tegap, kulitnya berwarna sawo matang. Rambutnya berwarna hitam dengan tatapan mata yang tajam namun ramah. Beliau mempunyai lesung pipi di kedua sisi wajahnya. Auranya sangat berkharisma, namun tetap manis. Dia terlihat seperti pria yang sayang keluarga.

"Zefanya, keadaan kamu sekarang bagaimana? Ada yang sakit?" Papa bertanya.

"Sudah lebih enakan," jawabku singkat. Sakit di kepalaku sudah tidak terasa. Badanku juga sudah tidak sakit lagi.

Acara minum teh berlangsung, mereka banyak mengobrol tentang keseharian. Ternyata si kembar sudah kuliah. Kupikir masih SMA sama sepertiku. Di sini aku bisa melihat perbedaan keduanya jika sedang berbicara. Liam lebih terlihat tenang, menjawab dengan singkat, terlihat lebih dingin. Sedangkan kembarannya Finn lebih ekspresif juga humoris.

Aku, Finn, dan Liam mendapat warna rambut dan kulit dari Mama. Aku mendapat lesung pipi dari Papa, selebihnya mungkin dari Mama. Sedangkan Finn dan Liam tidak memiliki lesung pipi. Namun mata, bentuk hidung, bibir, dan ciri-ciri fisik lainnya mirip Papa. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, jika di keluarga ini hanya terdiri dari dua orang tua dan tiga anak -tentu aku harus mengesampingkan pekerja rumah ini dulu- jadi siapa yang mengantarkanku ke sini tadi?

"Di mana orang yang membawaku tadi?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Siapa, Zefanya?" Mama yang duduk di sebelah kiriku bertanya.

"Lelaki yang menemukanku, yang mengantarku ke sini. Dia bukan anggota keluarga ini?"

"Oh, Gaharu? Dia bukan anggota keluarga kita." Mama diam sebentar. Lalu bergumam sesuatu, aku tidak dengar. Ketika kutanya dia tengah mengatakan apa, beliau menjawab, "Gaharu memang bukan anggota keluarga kita, tapi dia sudah dianggap menjadi bagian kita."

"Of course." Finn menyeringai padaku. Matanya berkilat jahil. Ada apa?

"Bukannya dia mau datang ikut minum teh hari ini, Liam? Mana dia?" Papa bertanya pada Liam. Ah, jadi lelaki yang bernama Gaharu itu teman mereka berdua.

Liam mengecek ponselnya, kemudian berujar, "batal, Pa. Katanya ada urusan mendadak."

"Sayang sekali," Mama mendesah kecewa. Menilik ekspresi Mama, sepertinya Gaharu itu sudah benar-benar lengket dengan keluarga ini. Ah, buktinya, dia juga bersedia membantu untuk mencariku, kan? Dia yang menemukanku dan membawaku pulang. Baik sekali.

Finn tertawa kecil. "Biasanya Papa nanyain kabar Gaharu sama Zefanya. Sekarang enggak, jadi terasa aneh." Eh, gimana?

"Ya, biasanya Mama atau Papa cuma nanya keberadaan Gaharu sama Liam kalau Zefanya sedang tidak ada di rumah," sahut Liam. Cowok itu mengangguk setuju dengan Finn.

"Ada apa?" tanyaku saat mereka semua memandangiku dengan tatapan penuh arti. Seperti menunggu sesuatu.

"Kamu juga nggak ingat, Zefanya?" Mama kembali berdesah pelan. Aku menggeleng, kenapa aku harus mengingat dia? Gaharu kan teman Liam dan Finn, bukan temanku.

"Zefanya, biar kuberitahu." Finn memandangiku. "Gaharu itu pacarmu."

Oh tolong, jantungku terasa lenyap.