webnovel

Prolog

Cahaya kekuningan menyembur pada tanah dan pepohonan. Bunga mekar di atas tanah menandakan bahwa pagi telah tiba mengunjungi kota Tanjung Balai.

Damai tentram di wajah tiap-tiap orang. Robi menarik bibir, menarik mata penuh kebahagiaan. Semua orang berlagak sama di rumah masing-masing. Tetangganya, Zefri yang notabene seorang sipir membalas sapaan Robi dari depan pagar rumah. Tubuh pria itu yang bidang nampak menutupi dua gadis berumur jauh di sebelahnya.

Beberapa langkah lagi, dia menyapa dan di balas sapa. Bahkan kucing-kucing jalanan yang seringkali saling teriak dan cakar-cakaran tengah melakukan gencatan senjata. Kedua kucing besar, kotor, penuh luka di sekujur tubuh berbaring berdekatan di pojok beralaskan kotak.

Anak-anak sudah siap dengan seragam sekolahnya. Para suami sudah lengkap dengan pakaian rapinya. Anak menyalam ibu, istri menyalam suami. Itu menenangkan jiwa siapapun yang melihatnya.

Melihat anak remaja itu, ada dorongan keinginan di hati kecil Robi. Ingin rasanya buah hatinya yang baru saja lahir sudah sebesar cucu si nenek tua. Ingin dia rasakan senyum ramahnya pada kedua orang tua. Tapi dia singkirkan gelitik hatinya jauh-jauh, karena walau bagaimanapun juga, tak boleh ada khayalan konyol di hari barunya.

Zefri yang keluar dari rumah pasti sudah sampai di penjara untuk melaksanakan tugas. Robi mendongak menatap dinding penjara. Tinggi di baluti kawat di ujung, lebar hingga membidang dan mencakup beberapa gang dan rumah Zefri.

Mau bagaimanapun harinya, pasti tetap ada yang tak senang. Robi mendengus, tak ada yang bisa dia perbuat untuk hal itu.

Di ujung bertolak belakang dengan sebuah gang berkerikil-pecah ada satu keluarga. Keluarga kecil tanpa ayah dan ibu. Kediaman petak yang memang di isi dari batu dan dihidupi oleh gaji pensiun memang di tinggali oleh dua orang sahaja.

Remaja SMA yang tidak terlalu sering bertutur ramah dengan masyarakat dan juga nenek tua yang paling ramah sejagad raya.

Hendak rasanya dia menegur remaja itu. Bahkan mungkin si Remaja tak dapat memasukkan suara karena telinganya sudah tersumbat headset. Dari balik kacamata petaknya juga nampak tatapan dialihkan ke arah lain yang mungkin saja neneknya tak sadari karena nenek itu sudah rabun amat parah. Tapi dia tak melakukan apa-apa, itu biasa, toh karena dia masih seorang remaja.

"Argh, T-tolong!" Teriakan serak dan senyap tapi lantang menusuk dari dalam gang berkerikil-pecah.

Penasaran dia segera mencari pasti asal suara. Pemuda-pemuda yang belum masuk kerja—atau tak bekerja—bergerombol mencari asal suara. Perampok, begal? Ah, tidak mungkin ada yang berani merusak hari bahagia ini. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi.

Di perumahan—di gang antara dinding penjara dan perumahan warga—ada rumah megah, tanpa pagar tapi tinggi dan lebar sudah banyak berkerumun orang di terasnya. Robi mengingat-ngingat, itu rumah temannya, bosnya, Hong Tian.

Dia mendecih, kesal hati dan gundah. Orang gunung macam apa yang merampok rumah orang berduka. Itu terlalu bejat, terbejat dari yang pernah diketahuinya.

Sialnya, ibu-ibu malah yang paling memadati teras. Itu wajar karena para suami pergi bekerja. Yang ada hanya beberapa pemuda yang belum bekerja yang malahan terikut gelombang bergosip bersama.

"Apa ini?" Robi mau tak mau, tidak ada pilihan lain, harus bertanya pada ibu-ibu seribu kata.

Apa yang didapat? Tidak ada. spekulasi-spekulasi tak berguna malah mereka ungkapkan. Ada lah yang bilang istri Hong Tian histerianya menjadi-jadi. Ada lagi yang berkata ritual aneh dijalankan. Satu-satunya jawaban yang menenangkan walau tidak sebegitu memuaskan adalah; tidak tau.

Tanpa seorang pria lagi, para wanita menggosipkan hal-hal lain yang malahan semakin melenceng dari sebelumnya sesaat ketika para pria masuk ke rumah Hong Tian.

Pintu dua terbuka amat mudahnya. Robi mengiris mata dan menutup mulut tak percaya. Sungguh penampakkan yang tak mengenakkan.

Keramik berkilat terkena cahaya dijatuhi bercak darah. Tetes menetes mengarah langsung ke lorong kanan. Bantal sofa beterbangan, lampu tegak berjatuhan. Semua orang disana menghitung berapa harga lampu mahal itu. Sungguh disayangkan.

"Woi, anak orang, tuh!" seseorang berteriak.

Robi dan yang lainnya bergegas ke kanan, ke lorong kecil yang tak kalah menariknya dari ruang tamu Hong Tian. Kembali, Robi menutup mulut.

Dia mengenalinya, itu anak putih oriental, bermata sipit dan berambut hitam legam. Di pulau simardan ini, anak siapa lagi kalau bukan anak mendiang Hong Tian.

Robi selaku tertua disana menyuruh beberapa pemuda mengangkat anak malang ini keluar. Mau tak mau, mereka harus melakukannya walau sedikit jijik akan darah di leher. Ambang nyawa anak itu kelihatannya sudah berada di batas.

Pintu di depan anak tadi terbaring adalah pintu kamar Hong Tian. Tak perlu dia tahu karena itu sudah ada tertanda di depan pintu, Hong.

Mayat kemalangan, sebelum diistirahatkan di peristirahatan terakhir akan dibaringkan dulu dikamarnya. Itu sudah wajar dan saat ini pintu kamar Hong Tian penuh akan bercak darah. Mau di gagang maupun di dinding-dindingnya.

Laknat tak berhati! Dia berseru sendiri, mengutuk semua orang yang tak memiliki tata krama maupun hati nurani. Tapi sekejap dia merasa bersalah. Dia baru sadar bahwa dirinya telah mengutuk seluruh umat manusia itu sendiri.

Dinding kamar yang indah di lompati darah. Pemandangan ngeri lebih ngeri daripada ruang tamu disuguhkan saat pintu kamar terbuka. Di lantai kamar, di atas ranjang, di bawah ranjang berserakan tubuh-tubuh yang mungkin sudah tak bernyawa. Kaca jendela pecah berserak ke lantai.

Robi mendekatkan diri pada tubuh seorang wanita. Wajah keriput itu marah dengan mata membuncah. Rambutnya yang sudah putih sedikit basah akan merah. Bibir yang sering merah karena gincu, pucat tak bewarna lagi.

Dengan segala hormat, sapuan diberikan Robi pada kedua belah mata agar tertutup.

Tetap terbuka.

Tak berputus asa dan tak memikirkan sesuatu yang aneh, dia kembali menyapu mata. Kali ini dengan sedikit kasar.

Ada rasa ngeri hinggap padanya saat ini. Tubuh orang ini bergetar dan kedua bola mata tak kunjung tertutup. Robi menarik napas panjang-panjang, melemparkan segala pikiran aneh yang menyebalkan dan menyapu kembali.

Telapak kanan Robi meletak di kening. Sapuannya lembut tapi ditekan saat berada pada kedua pupil mata dan selesai di mulut. Robi membuncah, untuk kesekian kali. Kedua bola mata yang kosong tetap terbuka. Kali ini menatap Robi dan dia berkedip.

#Kasi Jejak Kuy