webnovel

1. Home Sweet Prison

Gemuruh permintaan masuk memenuhi halaman depan gedung penjara. Banyak sanak dari tiap-tiap Narapidana yang mengharapkan bertemu-rindu. Perlahan, sedikit berdesakan tapi tetap berjalan mulus semua itu berlangsung. Memang pagi seperti ini adalah target yang cocok bagi pengunjung dan mereka akan kembali kerumah masing-masing di saat siang ataupun sore sudah menampakkan warna.

Seorang pria putih, bertubuh agak atletis karena terpompa setiap pagi selalu berlari menyapu semua kerumunan. Cukup banyak wajah yang ia kenal dan mereka saling tutur sapa. Zefri yang berada di dalam penjara berdiri menatap orang-orang yang memasuki lorong penerimaan. Dia tidak sendiri, ada setidaknya tiga dari sipir yang menemaninya. Keempat orang itu hanya berdiri saja disana, bak seonggok patung yang mengangguk menyapa. Tapi itu lebih dari cukup membuat para pengunjung tidak melakukan perusakan atau membuang sampah sembarangan.

Pukul delapan adalah jadwal masuk para sipir penjara. Tapi tidak bagi ketua dan beberapa sipir yang memiliki pangkat tinggi. Mereka akan datang pagi buta, sekitar pukul enam untuk mengurus bangunan penjara seperti membangunkan para Napi. Selebihnya mereka akan duduk diam dan di pukul delapan para pengunjung sudah ramai saja.

Pria itu menghela napas disaat bertutur sapa. Ada anak kecil bergendong dengan seorang wanita. Sedikit muda dan masih belia. Jika dua orang seperti seperti mereka menampakkan diri, maka sudah pasti siapa yang kurang. Seorang ayah.

Zefri berpamitan dengan alis sebelum berpindah posisi menjaga. Dia berjalan melewati tengah lapangan pengunjung yang besar. Tanahnya berumput, di beberapa bagian terdapat payung di tenggerkan dan beserta meja. Orang-orang sudah duduk di bawah payung, menunggu para sipir memanggilkan saudara yang dipenjara. Zefri singgah ke kantin, bersandar dan bertumpu tangan saat duduk.

Lebih jauh ke dalam dari lapangan penjara, terdapat kompleks bangunan. Itu hanya dapat dimasuki oleh para Napi—tentu saja, disana sel mereka—, dan juga kantor kepala sipir dan bagian administrasi. Pagar yang menjadi penghalang antara kompleks dan lapangan terbuka. Napi tidak sabaran berjalan-lari menemui siapa yang mengunjunginya.

Bangunan kantin ini seperti kedai. Terbuat dari kayu, memiliki beberapa meja beserta kursi dan juga kaca tempat makanan di pajangkan. Pagar yang panjang, tinggi menjadi satu dengan bagian kantin. Setengah bagiannya milik lapangan dan setengah lagi tempat makanan disimpan adalah milik kompleks khusus Napi dan sipir.

Sesosok Napi muncul di hadapannya. Beranjak dia duduk di depan dan tersenyum menyapa. Ivan, seorang Napi yang cukup dipandang berbeda. Walau umur Zefri terpaut lebih muda dua tahun daripada Ivan, namun bicara mereka tidak berlaku formalitas dan sejenisnya. Itu yang membuat Ivan dia senangi.

"Halo dan pagi, Zef." Sapaan hangat dilantunkan. Para pengunjung yang lain sudah memadati kantin dan juga lapangan. Sibuk mereka berbincang, tertawa dan menangis. Yah, situasi yang haru.

"Ha, ya," kata Zefri. Wajah Ivan melirik pengunjung yang bercengkrama ria dengan Napi sangat berubah. Ada guratan halus di mata dan bibirnya. "Kau mau aku memberi tahu orang tuamu kau ingin bertemu?"

Ivan cepat-cepat menoleh. Dia tertawa dan menggeleng. Tawa yang menyimpan sesuatu. "Untuk apa? Tidak usah, aku tidak suka orang tuaku datang berkunjung. Mereka itu pedagang yang sibuk, kau tahu."

"Haha," tawa Zefri. "Baik-baik, tapi jika kau ingin aku memberi tahu mereka, jangan ragu. Aku sudah sering mengatakannya, tapi sayang jika orang tuamu tidak tahu kau hanya menjadi korban. Bukan pelaku sebenarnya."

"Ahh, memang sedih juga mengenang hal itu. Tapi hanya kau dan Napi yang kuberitahu kejadian sebenarnya." Dia melirik seorang pria gendut bertengger di lorong penerimaan pengunjung. "Aku ingin keluar sebenarnya, jika kau membuat dia setuju."

Sipir itu berbalik dan menatap sosok sipir lainnya. Seorang yang gemuk dengan seragam putih hitam bercengkrama dengan sesama. Zefri menggeleng, minta ampun.

"Haha, kau takut juga. Yah, jujur saja, hidup di penjara tidaklah buruk."

"Bagimu seorang." Tunjuk Zefri yang membuat Ivan terkekeh.

Apa salahku?! tatapan Ivan mengatakan itu. Zefri hanya salut melihat sosok di depannya ini. Ivan, dia orang yang baik hati. Ramah dan penyenang. Di saat ketidakadilan menyiksa Napi lain, dia satu-satunya yang selamat dari ketua dan yang lainnya.

Dia memukul meja dan pamit mengangkat alis. "Aku ada tugas." Dia berjalan menyapu sekitar. Menatap tiap-tiap pengunjung apa ada yang berbuat kerusakan. Menatap kembali Ivan yang termangu melihat pengunjung. Sayang sekali, gumamnya.

Sudah berapa tahun Ivan berada di penjara? Tahun-tahunnya sebagai lajang hanya terbuang sia-sia. Ketika remaja dewasa diluar sana dengan semangatnya mengambil jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau hanya sekadar bekerja menambah uang saku, ataupun ada juga yang sudah memiliki keluarga kecil sendiri. Pria ini amat malang nasibnya. Bahkan di sekitar hidungnya sudah nampak kerutan dan jika dia tersenyum di pelipis akan terlipat kerutan-kerutan. Waktu yang berharga darinya terbuang sia-sia.

Dia berhenti di tempat. Sudah cukup jauh dia dari kantin, sesosok pria dewasa mencegatnya dijalan. Sepertinya dia ingin memasuki kamar mandi yang berada di sebelah Zefri. Tapi pria yang baru jadi ayah ini malah mencegatnya. Bersemangat bercerita. Entah cerita apa, yang pasti Zefri akan tertarik selalu.

"Ahh, Zef. Sungguh gila hari ini." Dia mengacungkan telunjuk dan bergeleng menyesal. Penampilan pria ini sangat tidak beres. Baru lagi pagi tapi wajahnya seperti orang sakit, bibirnya yang biasanya hitam karena rokok sudah putih. Ada apa ini? Lain lagi dia yang diselimuti peluh di sekujur wajah.

"Pagi kelihatan berbunga sekali, eh masa' anak baru minta susu sudah bilang hari yang gila. Ahh, ayah yang buruk."

"Bukan itu!" Zefri menyapu lengannya yang sedikit sengal akibat dipukul oleh Robi. "Gilanya karena pembunuhan habis-habisan. Istrinya Hong Tian histeris tadi, banyak darah lah pokoknya."

"Hong Tian? Cina yang baru meninggal semalam?"

Robi memukul angin dengan jari. "Ha! Ya, itu! Seisi rumah banyak yang histeris. Gila, lihatlah!"

Robi mengulurkan tangan hendak memperlihatkan sesuatu, dia membalik telapak tangan dan memandang Zefri yang malahan perhatiannya sudah teralih.

"Maaf, pak. Aku di panggil." Zefri berlalu pergi dengan cepat. Meninggalkan pria pucat itu sendirian. Sendirian, dia memilih masuk ke toilet.

Langkah kakinya dipercepat, tapi dia tetap berjalan. Seorang pria gemuk dengan seragam putih hitam lengkap dengan topi perwira dan dasi menunggu kehadirannya. Dia membuka mulut, bicara yang malahan membuat pipinya bergelambir dan bergoyang-goyang.

"Sini kumpul sama sesama. Kau mengapa selalu bersama mereka-mereka itu? Kau nanti ketularan jahat!" Pria gemuk melambaikan tangan menarik Zefri. "Sudah sama yang lain saja. Biar tidak ketularan."

Zefri yang tak bisa mengelak atau berdalih tak setuju hanya bisa, "Baik-baik." Sebelum bergabung dengan para sipir.

Mereka bercengkrama bersama-sama. Empat orang lebih dari mereka, semuanya seragam senada. Zefri tertawa ngakak mendengar lelucon mereka. Tetapi sungguh. Sungguh dia tidak menyukai semua sipir yang ada. Enaknya memperlakukan Napi karena mereka pernah berbuat salah. Tapi sungguh juga, dia tidak ada masalah dengan itu.

***

Pukul sembilan sudah terpampang di jam lorong penerimaan pengunjung. Tak terasa lelucon demi lelucon dan gosip demi gosip sudah dijuruskan hingga sejam tidak terasa. Zefri merasa ini waktu yang pas untuk permisi. Dia tidak pergi karena tidak menyukai mereka ini, setidaknya para sipir bisa membuat dia tertawa. Tapi leher yang sudah gerah tak tersentuh air harus menutup segala canda tawa.

Humor menyenangkan membuatnya lupa akan rasa tidak sukanya pada mereka. Dia mengelus jakun, berucap tanpa suara dan berlalu pergi. Para sipir menerima pesan dengan jelas dan membiarkannya . Sadar-sadar mereka akan sesuatu, mengangguk sendiri dan menikmati bekal minum yang mereka punya.

Berjalan dia melalui sisi lapangan yang tertabur lekat batu-batu halus. Sebuah teriakan terdengar. Zefri sudah merasa lehernya kering sekali, bibirnya juga seperti tanah yang tidak subur. Bergerigi kering. Dia mempercepat langkah tanpa menoleh kanan-kiri. Fokusnya satu, dia haus, dia butuh minum.

Dia menghampiri penjaga kantin. Seorang gadis remaja-dewasa beserta ayahnya sedang berdiri disana. Zefri menyapu jakun dan si gadis mengangguk paham. Tidak ada hal yang perlu ditanyakan pada seorang langganan. Sebotol mineral diteguk habis begitu saja setelah di suguhkan. Dia mendesah, puas.

Teriakan dan makian terdengar entah darimana. Zefri tidak berbalik. Dia tidak penasaran. Siapa lagi yang memaki seperti itu selain para Napi? Napi lawan Napi. Entah apa yang dipertaruhkan mereka hingga cukup sering terjadi perkelahian. Sering juga Zefri menghalau dan melerai. Terkadang dia sendiri cukup setuju dengan para sipir. Mereka sepenuhnya tidak salah.

"Ha! Drama suami-istri. Haha." Bapak-bapak penjaga kantin tertawa geli menatap apa yang ada di belakang Zefri.

Penasaran akan apa yang terjadi, Zefri berbalik dan mendapati Napi berseragam oranye tengah berusaha menangkap wanita yang mungkin adalah istrinya.

Pantas sering terdengar makian daripada gebukan. Ternyata si wanita mengumpat kotor selagi menahan Napi yang hendak menggerayanginya. Dibawah payung, mereka bergulat dan orang-orang mulai berkumpul.

Napi yang lain bergegas menengahi. Dia menarik temannya dan mendorong mereka menjauh. Napi yang jauh dari istrinya sangat semangat memeluk sosok yang menengahi konflik.

"Uaaaaah ...!"

Zefri menepuk meja cukup kuat. Kesal dengan tingkah laku tak beradab orang itu. Bergegas dia berlari dan tiba-tiba dihalangi. Langkah kaki terhenti, dia tidak sabaran dan menatap pak Robi yang mencegatnya dengan kesal. Wajah pria ini lebih putih, lebih lesu.

"Kau baik-baik saja, Pak?!" Zefri menggoyang-goyangkan tubuh Robi, tapi tangannya segera ditepis dan dimaki kecil.

"Kepalaku pusing, jangan digoyang, Ajib!" Robi membentak. Bentakannya amat pelan tanpa tenaga yang banyak. Orang ini bahkan tidak bisa mendongak menatap Zefri dan tertunduk lesu menghalangi jalan.

Zefri menyerahkan urusan penjagaan dengan sipir lain. Sesekali dia melirik ke tengah lapangan seraya membawa Robi amat uletnya agar duduk di bangku kantin.

Mereka berdua duduk. Teriakan semakin bergema, bergema dan pecah. Dia tidak habis pikir, masalah kecil seperti itu rusuhnya minta ampun.

"Dengar, Zefri. Jangan pergi kesana, berbahaya." Robi menarik lengan Zefri dengan kuat. Perhatian Zefri terarah padanya saat Robi menampakkan telapak tangan dengan luka. Luka seperti ditusuk atas dan bawah.

"Itu sudah tugas—"

"Jangan sampai tergigit!" Robi berteriak sepenuh hati. Teriakan yang pelan namun lafalannya sudah pasti. Bapak itu khawatir dan entah untuk apa kekhawatiran itu. "Jika sampai, kau akan menjadi gila seperti mereka. Seperti istrinya Hong Tian."

Zefri tidak tahu mau berbuat apa. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Dilapangan sana keadaan semakin rumit. Sipir yang berusaha mengendalikan situasi berusaha melakukannya dengan tenang dan damai, tapi beberapa dari mereka tidak bisa dibuat tunduk dengan kata-kata. Pada akhirnya, setruman listrik berbentuk kayu hitam dikeluarkan juga. Sipir-sipir itu menyetrum yang tidak bisa diatur agar pingsan sementara, tapi apa hasilnya? Tidak mempan sama sekali dan sipir itu segera dipeluk, ditarik wajahnya ke wajah sosok itu, lalu digigit. Digigit?

Zefri semakin mengutuk Napi itu. Semakin lama semakin jelas apa yang dikatakan Anto padanya. Orang ini jahat. Berdiri dia dari kursi dan berlari untuk membantu kerusuhan. Kepalanya sudah panas saat ini dan semangatnya mengkobarkan emosi untuk meninju seseorang. Siapapun itu.

Sebuah tangan menahan lengannya. Dingin. Dia menggigil merinding. Ini sangat dingin untuk ukuran manusia.

"Jangan pergi kubilang," pujuk robi. "Jika kau digigit, kau tamat. Kumohon jangan buang nyawamu. Kumohon ... Zef."

Tangan yang dingin terlepas begitu saja, terkulai lemas dan tergeletak di bangku kantin. Zefri melirik wajah Robi. Dia khawatir, menggoyang (pelan) Robi. Tubuhnya menyeret jatuh dan tergelincir. Jantung Zefri meledak. Bup! Bup! Apa ini? Apa?

Pundaknya terletak tangan. Dia melompat kaget dan berbalik cepat. Dia bernapas lega.

"Hei-hei. Aku aku, Ivan." Ivan mengacungkan jempol pada dadanya. Dia menampar lembut wajah Zefri. "Kau pucat sekali."

Zefri menggeleng. Tangan Ivan disimpan kembali. Segera dia melangkahi bangku kantin dan memandangi sekitar. Teriakan masih ada dan keras. Pukulan, saling dorong, saling himpit dan menyetrum sekarang ini terjadi di tengah-tengah lapangan. Yang tadinya hanya Napi sekarang malah sudah lebih banyak dari para pengunjung.

Keadaan saat ini diluar akal sehat. Lusinan orang berdarah-darah di wajah. Muka mereka meringis, mulutnya menganga berteriak saat seseorang mencium leher mereka. Disana yang masih bergerak semangat hanya belasan, itupun sedang dikerumuni. Sisanya memegangi entah itu leher atau punggung yang berdarah-darah. Saat mereka berteriak kesakitan, beberapa mengerumuninya dan teriakan kesakitan habis perlahan.

"Zefri ... Zefri!"

"Ha, Ada apa?" Zefri gelagapan. Terbangun dari pikirannya.

"Kau mesti membuka pagarnya, Zef. Orang-orang ini tidak berotak. Seenaknya mengunyah dan aku tidak ingin dikunyah!"

"Kita harus membantu! Semakin banyak semakin baik."

Ivan terdiam disana membelalak tak percaya. Dia mendengus dan menarik kasar tangan Robi, memeriksa leher atau bagian-bagian tubuh lain. Saat dia membalik telapak, segera dia membalas.

"Disana ada yang sampai mati tergigit. Ini lihat bapak ini, jelas-jelas dia sudah mati." Ivan meneguk ludah. Melempar tangan Robi. Dia bergumam gagap, "D-dan akan berubah."

Zefri ngeri mendengarnya. Membayangkan pak Robi yang baik hati menjadi tak berakal seperti Napi di lapangan sana adalah hal terkonyol yang pernah di dengarnya. Tapi dia ingat pesan Robi.

"Jangan pergi kubilang," pujuk robi. "Jika kau digigit, kau tamat. Kumohon jangan buang nyawamu. Kumohon ... Zef."

Tamat? Dia bergidik ngeri. Sadar bahwa hal yang diluar sana itu bukan main-main membuat tubuhnya lemas. Dia melirik Ivan kembali dan berlari ke sisi kantin.

Dia merogoh saku kemeja. Dari sana keluar sebuah kunci tunggal duplikat yang dimiliki oleh semua sipir di penjara. Kunci diarahkan pada gembok pagar. Dia gelagapan.

Zefri merasakan kunci ini tidak bisa di belokkan. Dia sudah kuat-sangat kuat sekali dan tetap saja kunci belum terbelok dan gembok belum terbuka. Ivan menepuk punggungnya.

"Cepat, Zef. Ayo, cepat!"

Ivan tidak membantu sama sekali untuk menghilangkan kegugupan. Zefri malah lebih bergetar dari sebelumnya dan panik membuat kunci itu susah dibelokkan.

Gembok terasa bergoyang. Bunyi dentingan terdengar dan pagar saat ini bergetar pelan. Sesuatu menyebabkan hal itu. Zefri dan Ivan mencari.

"Hampir saja kau tadi! Cepat buka pagarnya!"

Robi yang pucat dilempar jauh ke tengah lapangan. Berguling-guling lalu berjalan kaku. Lambat.

Seorang yang pendek, kurus dengan kulit yang tidak terlalu gelap muncul disana. Dia memakai kemeja lusuh. Menatap Zefri yang tidak menggerakkan tangan sejak tadi.

"Buka pagarnya dengan cepat!. Kita bisa mati kalau begini." Perintahnya dengan kasar.

Gembok kembali beradu tanding. Zefri menghela napas, membiarkan angin-angin memasuki otaknya. Kembali dia tusukkan kunci, membelokkanya dan ting! Terbuka. Dua pintu kawat mempersilahkan mereka bertiga memasuki kompleks khusus Napi dan Sipir. Tanpa sempat bernapas, ketiganya berpindah sisi dan menghempaskan kembali pintu pagar. Dengan tergesa, gembok disisi lain akhirnya dengan mudah terkunci. Tidak seperti rekannya yang sialan itu.

Setelah selesai mengunci pintu dia mendongak. Jantungnya hendak melompat saat seorang Napi menabrak pagar amat kerasnya. Pagar berdenting, wajah pria itu mengelus kawat dengan memelas.

"Ivan! Buka dulu!"

Ivan diam ditempat. Berwajah lemas. Zefri melihatnya dan ikut lemas. Mereka menunduk dan berbalik. Makian dilontarkan Napi itu amat kesalnya. Semakin lama makian itu semakin bertambah. Ada suara wanita, pria, dan juga anak kecil.

Zefri berpaling dari kekacauan. Lemah dia melangkahkan kaki. Dirinya sangat kejam saat ini. Berapa nyawa yang terancam sudah saat dia mengunci pintu itu. Tapi dia melepas segalanya. Jika mereka yang tergigit memasuki kompleks satu ini. Habis sudah.

Berpaling mereka dan menjauh lebih jauh melangkah. Zefri, seorang sipir. Ivan seorang Napi. Dan bapak-bapak asing ini tidak ada yang berpaling. Ketiganya menatap beberapa Napi yang berada di kompleks dan juga sipir yang sesegera mungkin muncul. Dari cara pandang mereka saat ini sepertinya sudah jelas. Jelas bahwa, dibelakang sana, orang-orang yang terkunci di lapangan, diserang oleh yang gila, dimakan oleh mereka.

#Wah panjang ya. Tapi chapter berikutnya tidak terlalu panjang, kok. Semoga selalu membaca, ya!

[Revised]