webnovel

Galuh Kelana

Langit terlihat biru. Prediksi cuaca hari ini adalah cerah tanpa awan.

Dari balik jendela aku melihat pemandangan gunung-gunung dengan puncak-puncak yang tertutupi hamparan putih nan jauh disana. Pucuk-pucuk pohon yang tinggi terhampar di lebatnya hutan di bawahnya. Ladang gandum yang menguning bagaikan karpet emas, kincir angin yang berdiri kokoh dan berputar, rumah-rumah penduduk dengan sungai sebagai saluran irigasi di pinggirannya serta anak-anak yang berlarian di jalanan desa.

Aku terus meyakinkan diriku untuk melihat semua ini dan berharap kaset di kepalaku tidaklah rusak.

"Cuaca hari ini bagus, ya, Tuan Kecil."

Aku hampir melompat dari kursi tempatku berdiri karena terkejut.

Seseorang wanita entah sejak kapan berdiri di sampingku. Tersenyum lebar, dan membuatku tiba-tiba gugup. Bukan, sama sekali bukan karena melihat wajahnya yang manis. "Apakah kau ingin bermain keluar, Tuan Kecil?"

"Uh, tidak."

"Pasti kesepian, kan, di sini. Saya akan menemani Tuan Kecil bermain keluar."

"Tidak perlu." Aku tersenyum. Turun dari kursi, aku menarik pelan pakaian perempuan ini. Mencoba mengalihkan pembicaraan. "Saya lapar, Marie"

Senyum itu memudar. Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Wajah sok polos yang saya buat kelihatnya gagal kali ini. Marie mengambil tanganku, lalu berjongkok dan menatap wajahku dengan teliti. "Tuan Kecil berkelakuan aneh akhir-akhir ini. Apakah ini benar-benar Tuan Kecil yang selama ini saya kenal?"

Aku berusaha tersenyum lebih lebar. Jantungku mulai berdetak tidak beraturan. Tamat sudah. Apa aku ketahuan?

"Apa Tuan Kecil marah karena belum ada kabar dari Tuan Eleazar?"

"Eh?"

"Pasti itu, ya?" Marie mengelus puncak kepalaku lembut. Wajahnya menatapku sedih. "Tuan Kecil jangan cemas, tidak ada kabar bukan berarti terjadi sesuatu yang buruk. Mungkin Tuan Eleazar sedang dalam perjalanan pulang, perang ini pasukan Elkan pasti berhasil membawa Ariadna."

"Benarkah?" tanyaku pura-pura antusias.

Marie mengangguk. "Sekarang mau saya temani keluar?"

Aku menggeleng. Merengek. "Saya lapar, Marie ...."

"Baiklah-baiklah." Marie mengendongku, membawaku keluar dari kamar. Lalu mendudukkanku di sebuah kursi di meja makan. "Saya akan siapkan makanannya. Tuan Kecil tunggu di sini, ya?"

Aku mengangguk. Hampir saja. Diam-diam aku bersyukur di dalam hati.

Ruangan dapur itu cukup luas, terhubung tanpa sekat dengan ruang makan. Walaupun begitu, barang-barang tertata rapi dan bersih. Aroma rempah-rempah kering tercium dari lemari-lemari kecil penyimpanan.

Tanpa sengaja aku mencuri dengar suara seseorang.

"Kenapa?" Seorang wanita paruh baya sedang membersihkan piring bertanya pada Marie yang mulai menyiapkan bahan-bahan untuk memasak. Yang kutahu dia bernama Ruth dia adalah salah satu pelayan di rumah ini. "Tuan Kecil lapar?"

Marie mengangguk. "Iya. Saya akan siapkan bubur kerang, demamnya masih belum turun sepenuhnya."

"Ya, itu bagus untuk mengisi perutnya. Campurkan juga sedikit rempah-rempah." Ruth membuka lemari dan mengambil beberapa rempah untuk Marie.

"Terima kasih, Nyonya Ruth."

"Aku akan menyiapkan untuk makan siangnya. Dia pasti akan marah kalau terlambat sedikit saja."

"Mau saya bantu setelah ini?"

"Tak perlu kau selesaikan saja itu." Ruth mendesah. "Terkadang saya berpikir, kau lebih seperti ibunya dibanding penyihir itu."

Indra pendengaranku menajam. Mataku tak beralih dari wanita bertubuh subur itu. Apakah ini info yang menarik? Aku memasang telinga mendengar keluh kesahnya. "Entah apa yang di lakukan penyihir itu di rumah ini. Dia bahkan sama sekali tak peduli dengan putranya yang sakit parah. Akan lebih baik Tuan Eleazar berpisah dengan penyihir itu dan menjadikanmu istrinya."

Aku mungkin akan setuju dengan Ruth jika aku bukanlah anak dari wanita yang dia sebut sebagai penyihir itu.

"Saya tidak berani Nyonya Ruth."

"Kau memang wanita yang baik. Tapi, siapa tahu, 'kan? Aku yakin Tuan Eleazar benar-benar akan berpisah dengan penyihir itu kalau beliau tahu penghianatan itu, dan saat itu tiba aku akan sangat mendukungmu menjadi istrinya. Tuan Eleazar sudah menganggapku seperti Ibunya. Jadi, dia pasti akan mendengarkan omonganku."

Mataku tak mungkin salah lihat. Marie tersenyum malu mendengarkan ocehan Ruth. Ya, wanita itu lajang, dan ada seorang kesatria gagah berani yang dicampakkan istrinya. Tak ada salahnya memiliki fantasi kecil. Well ... aku juga tak keberatan kalau Marie jadi Ibuku. Setidaknya dia akan terus perhatian pada anak kecil ini, kan?

Tapi, itu bukan masalahnya. Karena pembicaraan ini bukanlah hal yang penting untukku.

Jadi begini. Mari kita perjelas. Kalau kalian bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi di sini.

Namaku, Galuh Kelana. Sebenarnya tubuh ini bukanlah tubuh asliku.

Jangan terkejut! Karena aku akan menceritakan hal paling tidak masuk akal sedunia (maksudku di duniaku ... dulu).

Seperti halnya cerita-cerita yang ada di dalam novel atau manga itu. Bisa dibilang ingatan dari masa laluku mengisi otak kecilku ini. Ini sudah hari ketiga sejak ingatanku tentang kehidupanku yang sebelumnya terbangun.

Jiwaku kini hidup bersemayam dalam tubuh putra semata wayang dari seorang Jendral pasukan Elkan dari Kerajaan Ariadna. Umurku saat ini sekitar lima tahun, dilihat dari aku yang bahkan harus berdiri di atas kursi untuk melihat dari jendela, dan jemari-jemari tanganku yang masih berlemak.

Dahulu, aku hanya seorang pria menyedihkan berumur 28 tahun. Hidup sebagai sapi perah di salah satu pabrik makanan. Entah, apa yang terjadi sehingga jiwaku ini tidak tenang dan melanglangbuana hingga akhirnya berainkarnasi di tubuh ini. Singkatnya di sinilah aku sekarang berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi.

Aku pernah mendengar di duniaku dulu Raja Brawijaya yang moksa di gunung. Tapi, sepertinya kasusku berbeda, karena aku bukan orang sakti.

Lebih dari itu sekarang aku menjadi seorang balita yang diabaikan orang tuanya. Ayah yang berperang, Ibu yang selalu mengurung diri di kamarnya. Benar-benar kehidupan yang tidak ada bagusnya. Apa aku terlahir untuk menerima siksaan dua kali lipat? Aku bahkan berharap keabsurdan ini hanyalah mimpi.

Maksudku aku seorang pria 28 tahun hidup di jaman modern yang aman dan damai, lalu sekarang aku hidup di jaman Kerajaan yang bahkan berperang lebih sering dari pada makan sehari-hari. Ini lebih seperti aku kembali ke masa lalu ke jaman pertengahan. Tapi, mau dibilang seperti itu, otak 28 tahunku masih menolak semua ini.

Jadi, selama tiga hari ini aku hanya sibuk mengamati dan ... melamun. Dan dari informasi yang kudapat belakangan ini, namaku maksudku nama anak ini adalah Hilarion Guzman, putra dari Eleazar Guzman dan Zurine Sigor.

Eleazar Guzman merupakan Kesatria yang bisa dibilang terkuat di Ariadna. Sementara Zurine Sigor merupakan keponakan dari sang Raja. Terdengar luar biasa, kan? Seperti keluarga yang bahagia. Pasangan yang sempurna, seorang Putri dan Kesatria. Namun, tak ada yang sempurna di dunia ini. Saat Eleazar Guzman sibuk mempertaruhkan nyawa demi negerinya, gosip miring bahwa Zurine Sigor adalah wanita berselingkuh dan seorang ahli sihir hitam berhembus. Mungkin wanita itu kesepian? Itu kesimpulan yang paling masuk akal. Tapi, ahli sihir hitam? Bukankah itu konyol?

Bahkan Zurine Sigor dengan seenaknya pindah dari ibukota ke desa ini tanpa sepengetahuan suaminya. Orang-orang semakin yakin bahwa tempat ini merupakan kampung halaman dari kekasih wanita itu.

Sebenarnya itu semua tidak penting buatku yang berumur 28 tahun ini yang merupakan orang luar. Akan tetapi, bagi Hilarion Guzman ini sangat menggangguku.

Ingin senang hidup damai di sebuah desa fantasi misterius. Hilarion Guzman harus hidup diremehkan bahkan oleh pelayan di rumahnya sendiri. Bahkan keluarganya diasingkan di desa ini. Tak jarang anak-anak nakal bahkan melempari rumah kami dengan batu ataupun telur dan tomat busuk. Mereka tak peduli dengan status sosial Zurine Sigor sebagai salah satu bangsawan dan putri negeri ini, yang mereka tahu rumah ini merupakan rumah penyihir jahat.

Sialan! Lebih penting dari semua itu, entah bagaimana nasibku sebagai Hilarion ini kedepannya.