webnovel

Galuh Kelana

"Eh, lihat, bukankah dia putra si penyihir!"

Niat hati ingin pergi diam-diam dari rumah itu, langkah kakiku harus terhenti oleh teriakan seorang bocah.

"Iya. Dia anak yang tinggal di rumah ujung desa milik penyihir itu!"

Sudah hampir seminggu sejak ingatanku sebagai orang dewasa terbagun. Ternyata dilahirkan kembali dengan ingatan masa lalu yang tersisa benar-benar membuatku merasa aneh.

Aku harus dihadapkan dengan dua pilihan: 1. Apakah aku harus bersikap layaknya anak seumuranku? Atau 2. Aku harus memanfaatkan pengalamanku sebagai orang dewasa untuk bertahan di dunia misterius ini? Sialan! Tentu aku harus memilih opsi kedua! Aku tak bisa menjadi pangeran manja dan bersantai-santai sementara hidupku mungkin diambang bahaya, kan?

Jadi, akhir-akhir ini aku sering menyelinap keluar rumah saat Marie mengira aku tertidur siang. Banyak hal yang belum aku ketahui tentang dunia ini (ingat, aku masih anak kecil polos di tubuh ini), pertama-tama aku putuskan untuk mulai menyelidiki dari desa ini lebih dulu.

Namun, sepertinya hari ini kesialan harus terjadi padaku karena sekumpulan anak nakal penggembala domba ini yang mengerubungiku layaknya spesies di kebun binatang.

"Kenapa diam saja? Kau anak penyihir itu, kan?"

Hah? Sepertinya ini tidak akan selesai hanya dengan mengabaikannya saja.

"Mungkin dia tak bisa bicara."

"Kau bisu, ya?" tanya seorang anak perempuan berambut cokelat. Dia tiba-tiba saja menarik rambutku yang memang lumayan panjang.

Tidak di dunia ku tidak di dunia ini, ternyata dimana-mana ada pembuli. Biasanya dulu aku selalu malas meladeni hal-hal kekanakan seperti ini. Akan tetapi, ketika seseorang berani menyentuh sehelai rambutku, terlebih dengan tubuh kecilku saat ini, aku tak bisa tinggal diam, kan?

Jadi, aku mengangkat tanganku dan menepis tangan anak perempuan itu dengan keras. "Singkirkan tangan kotormu, jelek."

Yah, dari yang aku perhatikan selama aku tinggal di rumah itu (dari jendela rumah), memang banyak sekali anak-anak yang diam-diam mendekati ru-mah-ku. Mungkin beberapa dari mereka mengganggapnya sebagai tantangan keberanian dan atau rasa ingin tahu tinggi sebagai anak-anak. Namun, tidak ada dari mereka yang berani mendekat (aku yakin karena rumor itu). Tapi, sepertinya itu tak berlaku kali ini.

Aku bisa mengerti. Mungkin karena melihat salah-satu makhluk yang berdiam diri di rumah itu keluar dari sarangnya, rasa penasaran mereka yang tinggi kini tertuju padaku. Lebih dari pada itu aku adalah si Anak Penyihir.

"P-penyihir!" Anak perempuan itu tiba-tiba berteriak. Melihat wajahku seakan melihat monster paling mengerikan sedunia. "L-lihat matanya .... Matanya merah!"

Semua perhatian langsung terfokus pada wajahku. Lalu, seperti anak perempuan nakal itu, semua anak menatapku dengan terkejut. Mereka langsung menjauh ketakutan.

"D-dia benar-benar anak penyihir itu!"

"Penyihir!"

Aku mendesah.

"Ya! Aku adalah penyihir! Aku penyihir terkuat sedunia! Ha ha ha!" ujarku datar. Jari telunjukku teracung, mulai dari si Anak Perempuan, aku menunjuk ketiga anak ini satu persatu. Sekalian saja aku menakuti mereka. "Bersiaplah menerima kutukanku! Simsalabim .... Aku ubah kalian menjadi ayam. Ha ha ha!"

"HIIII!"

Anak-anak itu berteriak ketakutan menjauh. Sudah kuduga. Anak-anak tetaplah anak-anak.

TAK! Senyumku memudar. Sebuah suara dari benda yang menghantam kepalaku membuatku terkejut.

"Eh?" Aku berkedip cepat.

"Menjauh dari mereka!"

Sebuah batu mengelinding di bawah kakiku.

Aku menoleh. Untuk mendapati seorang anak kecil lainnya yang muncul dari dari balik pohon.

Dia kembali berteriak, "Jangan ganggu mereka!"

Kurasakan cairan kental menetes hangat di wajahku dan perih menyengat di atas mata kiriku. Aku mengusap pelipisku. Aku berdarah.

Apa anak itu baru saja melempariku dengan batu?

"Penyihir pergi dari desa kami!" sahut seorang anak.

Rupanya mereka belum pergi juga.

"Tinggalkan desa kami, penyihir!"

"Ya! Pergi dari desa kami!"

"Hei! Apa yang kalian lakukan!" Seseorang berteriak marah.

Sementara anak-anak lainnya berlari kabur, anak berambut hitam yang melempariku itu terlihat semakin ketakutan melihat kedatangan seorang pria itu.

Pria itu berlari pincang kearahku. Wajahnya menatapku horor. "Tuan Hilarion!"

*

"Nona Terrence, maafkan kebodohan adikku. Sebagai walinya aku benar-benar minta maaf."

Entah sudah berapa kali, Rick meminta maaf pada Marie sejak kami sampai di rumah.

Setelah bertemu denganku yang rupa-rupanya terluka di pelipis akibat lemparan batu seorang anak. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Rick, seorang pengembala domba. Dia menjelaskan --sambil tak berhenti minta maaf-- bahwa bocah pelempar batu itu jugalah merupakan adiknya, Ian.

Saat melihatku yang berdarah, dia langsung buru-buru membawaku ke rumahnya yang ternyata dekat dengan padang rumput tempat domba-domba itu berada.

Rumahnya begitu kecil, beratapkan jerami dan kelihatannya sama sekali tidak layak untuk ditinggali. Rick bilang, itu hanyalah gubuk tempat istirahat sementara, karena mereka tak mungkin meninggalkan domba yang di titipkan pada mereka untuk digembalakan. Namun, melihat tumpukan peralatan makan dan baju-baju yang bertumpuk di pojok ruangan. Aku yakin tempat ini sudah lama mereka tinggali. Pria ini hanya pembohong yang buruk. Mungkin dia malu.

Padahal dia tak perlu mengatakannya saja, aku juga tak akan bertanya. Tapi, mungkin dia hanya ingin membuatku yakin bahwa Rick bukan pria mencurigakan yang akan berbuat jahat padaku. Ya, aku pasti akan mengira begitu. Melihat kelakuan adiknya saja entah mengapa membuatku hampir menangis. Mungkin karena bawaan umurku sekarang.

Sambil bercerita banyak hal dengan telaten Rick mengobati luka di pelipisku. Aku tidak terlalu mendengarkan dongengnya untuk menghiburku karena fokusku hanya pada rasa sakit (menjadi anak-anak ternyata membuatku menjadi sensitif).

Rick ternyata cukup pandai meracik bahan-bahan herbal pada lukaku. Lagipula di dunia ini tentu saja tak ada obat merah jadi aku tak terlalu berharap banyak. Akan tetapi, walau di awal terasa sangat perih, dan bau obat yang sangat kuat, berkat obat tradisionalnya pendarahannya berhenti. Untung saja tak perlu jahitan.

Singkatnya Rick akhirnya mengantarkanku ke rumah sambil menyeret adiknya.

Waktu beranjak sore hari.

Ternyata di rumah juga Marie sudah gempar mencari keberadaan diriku. Begitu melihat aku yang dibawa Rick dengan kepala terluka, dia menangis seperti bayi. Menggendongku dan memelukku dengan erat.

Lalu, adegan menangisnya kini berakhir dengan saling lempar permintaan maaf.

"Ah, itu bukan kesalahan kalian. Ini murni keteledoran saya yang tidak bisa menjaga Tuan Hilarion dengan benar."

"Tidak-tidak ini kesalahan kami. Ian ayo cepat minta maaf pada Tuan Hilarion dan Nona Terrence."

Astaga! Mau sampai kapan mereka akan selesai?

Anak itu juga sepertinya sama sekali tidak ingin minta maaf dan merasa tak bersalah sama sekali. Lihat saja dia terus menatap tajam padaku.

"Marie, saya mengantuk." Aku mengeratkan pelukanku pada leher Marie. Aku harus pura-pura merengek atau perdebatan itu tak akan ada habisnya hingga pagi.

"Ah! Maafkan saya, Tuan Hilarion. Pasti sangat lelah, ya? Ayo kita masuk kalo begitu."

"Sekali lagi maafkan kekeras-kepalaan adik saya ini, Nona Terrence."

Marie mengangguk. "Kalau begitu kami akan masuk. Terimakasih telah mengantarkan Tuan Kecil."

"Anu .... Nona Terrence."

Langkah kaki Marie terhenti. Dia kembali berbalik.

Sialan! Apa lagi yang di inginkan Pria itu!?

"Iya?"

"Sebelum itu izinkanlah saya bertemu Yang Mulia Zurine." Raut wajah Rick berubah. "Setidaknya saya harus bersujud pada beliau atau rasa bersalah saya ini tidak akan hilang."

Matanya memandang sesuatu di atas.

Aku mengikuti arah pandangnya. Untuk mendapati sepasang mata beriris merah di balik kegelapan. Di sana, di lantai atas, tempat yang belum pernah aku kunjungi, seorang wanita berambut putih berdiri dan mengawasi kami dari sebuah jendela.

*

12 Juni 2022