webnovel

Kultum dari Mar-mar

Semalaman berbincang dengan Amare, cukup membuat El angop dari pagi. Ia sudah di warnet sekarang, nah, saat ini matahari sudah tepat di tengah. Lalu apa yang ia kerjakan sambil jaga warnet?

Tentu menekuri laptopnya (lagi). Namun kali ini, seraya mengetik ia menguap lebar. Sekali dua kali. Berkali-kali. Kucek-kucek mata ia lakukan beberapa menit sekali pula. Sumpah, terlihat dia sangat lelah dan muka bantal; tapi memaksakan diri masuk. Demi cuan.

Hari ini, El memutuskan untuk membuat cerita miliknya, yang benar-benar miliknya atau kerap disebut sebagai original fiction, yang pertama. Tentu orific—singkatan dari original fiction—ini kebalikan dari fan fiction (FF) atau cerita penggemar.

Naaah, tema apa yang El angkat?

Tentang ... makhluk belok pencari cuan. Sosok yang butuh duit bangeeeet sampai akhirnya bekerja ke ranah nyerempet-nyerempet (mendekati) jual diri.

Yep. Tentang dirinya.

Menyerempet jual diri di sini maksudnya mau uang banyaaaak dengan sesuatu berhubungan dengan kegiatan seksual asal tidak ngangkang, pun tak sampai penetrasi.

Arc pertama cerita El dibuka dengan ... sang main character ditagih uang emaknya. Tidak seperti ini sih kehidupan El, mamak di sini super mengesalkan. Durjana sekali sampai bikin eneg. Mengapa? Wanita ini sudah kang kampleng (pukul seenaknya), terus seenak udel dia mentarget anaknya untuk memberi lima juta perbulan hanya karena si anak sudah memiliki gelar sarjana.

Why El membuat pembuka heboh? Duh. Pembaca demen yang heboh-heboh, kakak. Pun suka sekali sesuatu ekstrim.

Tapi yang paling utama ... terselip harap di hati El, dengan begini dia akan terus bersyukur. Emak di rumah kagak sebegininya.

["Bagus juga ide lu buat buka cerita pake tekanan nyokap."]

Sambil menulis, El sambil menelepon. Tidak, salah, ini makhluk di seberang sana telepon dari semalam tak dimatikan samsek. El sampai heran ... lagi kebanyakan pulsa apa ya orang ini? Namun tentu, ia tak mengutarakan hal itu. Termasuk, dia tak mengomentari kegabutan Amare.

Curiga El, orang ini juga pengangguran sepertinya.

Bedanya, si Amare kaya. Dia kismin (miskin).

Kok bisa nge-judge Amare makhluk beruang, dari mana? Lah lihat nih. Doi bisa telpon berjam-jam, mas bro. Kalau nggak kaya, apa lagi? Ngutang pulsa? Nyeh.

["Lu udah nentuin jodohnya si Ekko keluar kapan, belum, Nast?"]

Iya, benar. Karena tidak punya ide menamai tokoh utamanya siapa, El berujung mencuri nama orang terdekat. Kebetulan, tadi saat dia masuk ke dalam warnet, dia melihat Eko sedang menyapu. Alhasil main characternya bernama Ekko.

"Oalah mas e, cerita lagi digawe ndek maeng kok wes ditakoki ngono to ..." El yang mendengar pertanyaan Amare otomatis menjawab. Bahasa daerah serta merta meluncur, karena dia sudah di ujung lidah. Jadi mudah saja lepas.

Namun tentu, bahasa itu membuat yang di seberang sana ... loading. Tidak. Lebih tepatnya cengo, tak paham.

["Hah?!"]

Sadar kalau sudah kelepasan, El segera memberikan penjelasan, "Oh. Tadi aku bilang, cerita baru dibuat kok ditanyain yang begituan. Tentu jawabannya kamu tahu apa lah ... blas aku belum ada pikiran," lalu dia lanjut menguap. Hoooaaaam.

Tawa merasuk gendang dari speaker earphone yang tertanam dalam telinga. Renyah, nada itu menyapa pendengaran El.

["Haha. Bahasa apa itu? Gua nggak ngeh."] jeda terjadi sejenak. El diam, dia mengucek matanya yang panas. Lalu semenit berikutnya terdengar Amare kembali berkata, ["saran gua sih ... sebelum lu lanjut nulis nih cerita, lu perlu bikin outline dulu Nast. Biar lu kaga bingung mo lanjut apa ke depannya."]

El mengangguk. Dia pun paham terkait hal ini, jadi mengiyakan, "sepakat. Harusnya begitu."

["Outline itu macem rangka, tulang-tulang yang menyokong gambaran besar lu mo ngapain cerita lu. Penting banget, Nast. Jadi lu musti bikin."]

Hm ... Elysha sudah tahu tentang hal ini sebenarnya. Cuma dia tipe spontan yang nulis dulu baru dapat gambaran dunia yang mau ia buat. Apa perlu dia bikin outline kalau tipe menulisnya begini?

Mempertimbangkan beberapa hal, tahu pula jika Amare1231 di dunia ini sudah menelorkan beberapa karya apik yang digandrungi banyak fujodan (fujoshi dan fudanshi—sebutan penggila anime, manga, atau sebagainya dengan tema romansa pasangan sejenis), dia mengajukan tanya terkait kebiasaan menulisnya.

"Habis nih, aku kalau udah bikin plot detail gitu, Mar ... malah kaga bisa nulis. Nggak bisa lanjut. Rasane koyok wes bosen ngono (Rasanya kayak sudah bosan gitu)."

[" ... hah? Gimana gimana?"]

Amare, yang dipanggil 'Mar-mar' oleh El, bingung sendiri. El yang ngeh bila kalimatnya gado-gado, segera menjelaskan kembali. Amare langsung tertawa setelah tercerahkan.

"Wes to, isin aku (sudah dong, malu nih)," El cemberut.

["Ha?"]

Tepokan jidat terdengar. Si penulis anyaran sadar lagi bila dia kelepasan pake bahasa Jawa. Cepat ia menterjemahkan, "Maksudku sudahan aih ketawanya. Kemaluanku membesar!"

["Hah? Ngaceng?!"]

"BUKAAAN, BAMBAAAANG!!! Maksudku assdfghhjkllzxcvbnm!"

Sedang pemilik rema dicat abu itu sibuk menjelaskan kesalah pahaman, ia bisa mendengar renyah tawa menggaung dari seberang. Seru sekali tawa Amare di sana, dia seperti benar-benar menemukan hal lucu. Bagi El sendiri, dia mendadak jadi kepiting rebus; mukanya merah merona, malu.

Sejenak mereka keluar dari topik. Dua manusia itu sibuk haha hihi, gojekan tak jelas. Sampai akhirnya El berdeham, lalu menanyakan lagi yang tadi ia pertanyakan.

Di sini, meski masih sedikit tertawa, Amare berusaha bersikap professional. Ia menjawab pertanyaan El kemudian, ["Outline mah kaga usah detail, Nast. lu bisa taruh poin-poin penting—Arc—buat ngembangin ide utama lu. Entar baru dari Arc itu lu bikin mo gimana dan di sini lu ngembangin sendiri sesuai tangan lu berlari ..."]

Hening terjadi sejenak. El berpikir sambil mencatat, maksudnya mengetik, nasihat dari Amare. Layar laptopnya terbagi menjadi dua kini, kanan tulisan sedang kiri notes.

Amare yang memutus keheningan itu. Ia berbisik, ["Lu udah bikin ide utama kan?"] dari cara bertanya ia seperti menuduh El belum melakukannya.

Ya memang belum sih.

["..."]

"..."

Yang terdengar kemudian ROAAAAARRR, Amare menyenggerang, mengomel dan meminta El segera menentukan hal utama yang mau dituliskan di ceritanya itu apa. Lebih, ia menguliahi El detail bagaimana menentukan ide suatu cerita agar apik.

El mengomel dalam hati mendengar hal ini. Ia ingin protes pada orang di seberang sana. Dia menulis ini kan karena celetukan Amare kemarin ... jadi ya wajar saja belum punya ide dong. Kan awalnya dia mau bikin sesuatu semacam diary doang—Diary kameramen orang ngewe.

Tapi mana mungkin ia berkata demikian.

Malu.

Mending dia diam saja sambil selonjoran.

Siapa tahu, tahu-tahu tidur.

[]