webnovel

Keseharian El

"El? El? Halooooo?"

El Reski yang tengah terlelap harus jenggirat bangun oleh suara kencang dari Eko. Dia yang masih setengah tidur, menoleh ke kanan dan ke kiri sesaat, menilik lingkungan sekitar. Wajahnya tampak linglung.

"Heh. Turu ndek jam kerjo i gek kepriye koe iku (Tidur di jam kerja tuh gimana sih, kamu itu) ..." Eko menggetok puncak kepala si abu, mengkritisi kegiatan yang dia lakukan. Sedang yang bersangkutan hanya bisa mengaduh, mengusap-usap kepala yang teraniaya sambil cemberut.

Ya bagaimana tak cemberut, orang masih ngantuk, eh digugah seenak udel e dewe ae (memiliki arti yang sama dengan: dibangunin seenak jidatnya saja). Yang mana itu membuat pusing auto menyerang El. Menjadikannya bad mood mendadak.

"Aku punya hadiah buat kamu," mengamati ekspresi kawannya, sepertinya Eko cukup peka untuk sadar akan memburuknya mood El. Lelaki tan itu buru-buru merogoh kantong jaketnya dan mengeluarkan dua voucher dari dalam sana.

El mengangkat alis melihat hal ini. Dia tak melihat dengan jelas tulisan-tulisan pada lembaran di tangan Eko memang, tapi bibir sudah asal menduga, "apaan tuh? Voucher belanja?"

Well, bagi dia saat ini tak ada yang lebih menggiurkan dari voucher belanja. Meski tak banyak dan baru bisa lima ratus ribuan per bulan, El sudah memberikan sebagian uangnya pada Ibunda (sisanya ditabung). Akan sangat membantu kalau lembaran di sana bisa dipergunakan untuk belanja bulanan.

"Yo ora lah. Nek aku menehi voucher belonjo lak podo ae sing tak wenehi makmu, ora awakmu (Ya enggak lah. Kalau aku ngasih voucher belanja ya sama saja yang aku kasih ibumu, bukan kamu)," Eko menggedumal, dia memutar mata sebelum buang muka dengan pipi menggelembung.

Helaan napas El buang. Lucu kali kalau temannya merajuk. Makin dipikir-pikir, Eko makin memenuhi kriteria seorang uke. Menggemaskan!

Namun, tentu hal ini tak ia ungkapkan. Si rambut abu ini berusaha menengahi situasi dengan membicarakan voucher. Kalau bukan untuk belanja, lalu itu voucher apa? Atau hal semacam itu.

Di sini, El mengamati bagaimana cahya merebak di kelereng gelap Eko. Oh? Bahkan ada senyum mungil melengkung di sudut bibir lelaki bertubuh kekar itu.

Heh, tipikal uke bara (botty bertubuh kekar).

Jadi, voucher di tangan Eko ternyata voucher hotel buat indehoy. Katanya, hotel ini tipikal hotel michat tapi tipe high class. Lokasi hotel ini di kota S bagian tengah, jadi dekat kalau mau ke mall-mall ciamik di sana. Nah kebetulan si Eko punya dua, satu untuk dia sendiri dan satu lagi mau dia beri ke El.

Putra tunggal bu Siti mengerutkan kening atas pemaparan Eko. Begitu si teman sejawat bungkam, tanya meluncur dari bibirnya, "Lah, gae opo kokwenehno aku (buat apa kamu berikan aku)?"

"Yo mosok aku ngonoan ora enek sing rekam? Aku yo pengen koyok Akih, cepet sugeh e ... (ya masa aku begituan nggak ada yang rekam? Aku ya kepingin seperti Akih, cepat kayanya ...)" komentar Eko gamblang, wajahnya bahkan tanpa dosa saat berkata demikian. Kilat di kelereng itu murni dia hanya inginkan cuan.

El menggerang. Dasar manusia, selalu ingin jalan pintas agar cepat kaya.

Persis seperti dirinya.

Karena dia juga ingin wang, maka tanpa pikir panjang, El menyambar voucher itu. Kemudian sambil melihat dengan cermat lembaran di tangan, ia melempar tawaran, "Bagi hasil ya. 5% profit, sama ... kalau rekaman di kota S nambah bro. Tiga juta gitu ..."

"Larang e talah. Rego konco ngono lho ... (Mahalnya ... pake harga teman gitu lho ...)" cemberut, si tan menolak. Namun buru-buru dia membuat gestur memohon, "please ..." takut kalau terlalu ditegesi nanti doi kabur. Siapa lagi yang mau ngerekamin orang ngewe ala pedang-pedangan kan?

Oo tapi kalau perkara uang, El bukan tipe yang mudah dibujuk. Sambil kibas tangan, dia merespon pinta Eko, "Bukannya si Bimo tajir melintir?" iseng dia menerka siapa pasangan nganu kawannya ini.

"Ya tapi kan--"

Ah. Benar rupanya. Si Bimo.

Wow, berapa bool sudah diperawani—wait, apa istilah ini tepat?—oleh Bimo? Padahal jelas-jelas dari muka si Bimo ini tiga puluh tahunan ke atas.

"Bisnis itu bisnis, bro. Nggak ada namanya bisnis terus karena temen, eh, kasih diskon. Yang ada kalau temen itu harusnya ... aku minta tiga juta, kamu ngasihnya sepuluh juta," kukuh, lelaki lulusan universitas di kota M memandang Eko dengan tatapan tegas.

Dua orang itu saling tatap kemudian.

Eko gamblang tunjukkan rasa tak suka atas pendapat El, sedang El pasang tampang bodoh amat. Mau Eko tidak berkenan atau gimana, ora ngurus ...

Semua ini berujung dengan Eko mengiyakan permintaan El.

"Pinter, sudut rekam ewean yang apik juga seni. Kalau pingin hasil bagus, harus mau bayar mahal. Ohoho," kata El riang gembira. Dia merasa dapatkan rizki nomplok.

***

["Nast, lu pernah nge-bj orang?"]

El menganga mendengar pertanyaan Amare. Makin lama orang ini fix makin ceplas-ceplos. Dia yang sedang makan malam seketika memijit pelipis. Lubuk hati terdalam menggedumalkan sesuatu seperti, apaan dah ini orang, bikin sosis yang dimakan jadi rasa titit saja ...

"Belum. Kan aku udah bilang, kerjaanku cuma megang kamera ..." jawab si rambut abu itu seraya memotong kembali batang—salah, sosis—dan memasukkan yang keras-keras itu ke mulut, sedikit demi sedikit. Lidahnya bermain di sini. Sosis bakar emak enak sih.

... Tunggu.

Putra tunggal Bu Siti itu memandangi benda lonjong yang dibakar sampai setengah hitam dan tengah ditusuk garpu. Dia memutar garpu 180 derajat, melihat penampakan si Sosis dari sudut lain yang belum ia gigit. Di bagian yang ia lihat ini tak murni hitam, masih sedikit merah, ada kerutan di ujung seperti sesuatu. El mengamati lekat. Ia bisa melihat efek gigitannya, setengah sosis menggandul seperti huruf w di ujung sana.

Tiba-tiba sosisnya menyerupai barang lain.

Barang yang ia kerap lihat karena profesi barunya.

Yang keras, menjulang dan menyemburkan keju setelah dijilat-jilat.

Oh, What the fvck?!—El mengerang berat.

["Kenape lu, Nast?"]

"Kenape kenape ... aku ngerasa berdosa sekarang makan sosis, njir," gerutu El kesal. Ia meletakkan benda sapi—bukan, benda yang terbuat dari sapi—kembali ke atas piring. Kepalanya mendadak cekat-cekot tak karoan dan mulutnya serasa disumpali batang.

Hnnngh.

["Oh? Lu bayangin sosis jadi adeknya siapa hayoooo~"]

Bukannya kasih nasihat bener, Amare justru bertanya demikian. El menggembungkan pipi. Asal dia kemudian berseru, "adek lu! Gua bayangin lu lagi di depan gua terus abcde-in gua. Puas lu, puas?!" bodo amat dah di sambungan seberang telinga Amare mbenging karena dia berteriak tepat di mic. El sedang kesal banget sekarang, saking kesalnya sampai tak sadar ia ber-lu-gua.

Tentu El tidak membayangkan Amare. Heh, ketemu saja belum pernah gimana bisa bayangin?! El cuma tak ingin menderita sendiri, karena Mar-mar sialan yang bikin dia bayangin sosis itu batangan, dia harus bikin orang itu kelabakan pula.

Namun yang El dapat di luar yang ia bayangkan.

Setelah hening lama, Amare kembali bertanya, ["Jangan bilang ... selama ini lu bayangin jadi botty gua, Nast?"]

El cuma bisa mengerjap. Celetukan, "Hah?!" meluncur, mewakili keterkejutannya atas ucapan si Mar-mar.

[]