webnovel

SLEEP WELL

Xander menyembunyikan wajah sembab Tita ke dalam dada bidangnya, gadis itu meringis dan meraung kesakitan saat Dr. Yoona mengobati luka pada kaki kanannya. Tangan Tita mencengkram erat pinggangnya, menyalurkan rasa sakit saat Dr. Yoona menempelkan kapas dan alkohol pada lukanya.

"Sakit," parau Tita dengan suara kelewat pelan. Ia tak bohong, rasa sakit akibat pecahan gelas yang dirinya pecahkan baru terasa saat alkohol itu mengenai telapak kaki.

Dr. Yoona meringis, dirinya membayangkan betapa sakit yang Nona Calista rasakan. Mungkin hal biasa bila lukanya hanyalah goresan kecil. Namun ini, kaca dengan ukuran cukup besar menancap, menorehkan sayatan yang membuat daging kaki gadis itu sedikit tampak dengan mata keranjang sekalipun.

"Tahan sebentar, Nona," ujar Dr. Yoona. Satu-satunya dokter wanita yang mengalahkan dokter-dokter wanita lain untuk bekerja dua kali, di rumah sakit dan menangani keluarga Adission.

Wanita itu membalutkan perban yang diambilnya dari tas medis yang dibawanya, menggunting perban kasa dengan telaten hingga berakhir dengan simpul tali agar balutan itu tidak mudah terlepas.

Setelahnya netranya bergulir pada Xander, sangat jarang sekali melihat laki-laki itu memperlihatkan sisi lain dari dirinya selain sisi dingin. Tangan laki-laki itu tak berhenti mengusap surai sang gadis yang memeluk tubuhnya sepanjang kakinya diobati, sesekali laki-laki itu juga mengucapkan kata demi kata yang setidaknya membuat Calista sedikit tenang dan berhenti menangis.

Yoona memilih bangkit setelah membereskan perlengkapan medis yang dipakainya beberapa detik lalu, kemudian menatap Robert yang berdiri tak jauh dari dirinya, laki-laki itu mengangguk seolah mengizinkan Dr. Yoona berpamitan pada sang tuan.

"Lukanya sudah saya obati, perban itu bisa diganti secara berkala. Bilamana nanti tuan kesulitan menggantinya, tuan bisa memanggil saya lewat Robert." Dr. Yoona berkata tanpa melepaskan pandangannya pada Calista yang enggan melepaskan pelukannya pada Xander. Sungguh gadis kecil yang beruntung, bahkan Xander tak mempermasalahkan tubuhnya terkena cairan dari hidung dan air mata Calista.

"Terima kasih," ujar Xander singkat.

"Saya pamit, tuan." Setelah mendapat anggukan singkat dari Xander, wanita dengan jas putih yang melekat apik pada tubuh proposialnya melangkah keluar bersama Robert yang berjalan di belakangnya. Tangan kanan Xander sempat menutup pintu kamar lebih dulu, kemudian menuruni tangga dengan Dr. Yoona dengan kebungkeman antar keduanya.

"Berkendaralah dengan nyaman," ujar Robert. Laki-laki itu membukakan pintu mobil yang akan mengantarkan Yoona menuju rumah sakit tempat bekerjanya kembali.

Dokter cantik berumur dua puluh lima itu mengangguk, kemudian tersenyum manis sebelum masuk sepenuhnya ke dalam kursi penumpang. Ia membuka jendela, wanita berambut pirang sebahu itu melambai lebih dulu sebelum mobil yang ditumpanginya melaju menuju perkarangan Mansion utama Adison dan membelah jalanan malam New York.

***

"Jangan menangis, tidakkah kau lelah?" ujar Xander saat gadis dalam pelukannya tak berhenti terisak dengan sesenggukan.

Calista langsung menahan isakan yang ingin kembali mengudara, kemudian melepas cengkramannya pada kemeja sekitar pinggang Xander dan menyisakan kusut pada kemeja laki-laki itu.

Xander membantu Calista mendudukan tubuhnya dengan tubuh bersandar pada ranjang, atensinya sepenuhnya tertuju pada Tita, gadis yang selalu membuatnya khawatir dan marah dalam satu waktu yang sama.

Netra gadis itu menatap balutan perban pada telapak kakinya sendiri. Sedikit menggerak-gerakannya untuk memastikan apakah akan terasa sakita bila digerakan atau digunakannya berjalan.

"Kau tidak diperbolehkan berjalan untuk sementara waktu, semua kebutuhan bisa kau minta pada maid yang akan kutugaskan mulai besok pagi." Xander menjelaskan dengan nada dingin yang kembali terdengar. Laki-laki itu menjulurkan ibu jarinya untuk mengusap bekas sisa air mata yang teradapat pada pipi kiri gadis itu. Netra Calista kini beralih menatap Xander yang masih duduk bersandar pada kepala rajang di sisinya dengan tatapan protes.

"Aku bisa berjalan, dan aku tidak ingin membuat repot orang lain!" tolak gadis itu mentah-mentah. See, secepat inikah perubahan sifat gadis disampingnya? Bahkan Xander masih ingat saat Tita memeluknya dan melirih seolah tak memiliki tenaga appun. Gadis itu cukup pembangkang, dan Xander tidak menyukai itu.

"Kau manusia, tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain. Lupakah kau dengan timbal balik alam?" tanya Xander tenang. Calista langsung terdiam, ia kembali melepas tatapannya pada Xander.

Sepertinya yang laki-laki itu ucapkan benar. Ia merasa tak mempu turun atapun naik tangga. Bila ia terjatuh, bukankah itu semakin merepotkan orang-orang disekitaranya?

"Tapi-"

"Aku menyukai gadis penurut," ujar Xander memotong ucapan protes yang akan kembali Calista paparkan. Gadis itu langsung bungkam, ia menyadari sifatnya yang sekarang.

"Aku akan mandi terlebih dahulu," ujar Xander memberi tahu. Tubuh laki-laki itu beranjak dari posisi duduknya. Ia berjalan menuju kamar mandi tanpa kembali menatap Tita yang kini juga sedang menatapnya. Decitan pintu terbuka dan kembali tertutup oleh sang pelaku utama membuat Tita mengembuskan napasnya. Ia benar benar tidak mengerti dengan jalan pikir Xander.

Seharusnya laki-laki itu membantunya pindah ke kamarnya lebih dulu. Sebab Calista tahu, Xander akan menghabiskan waktu yang lama bila mandi. Mungkin itu penyebab mengapa tubuh laki-laki itu harum dan menyegarkan sepanjang hari.

Netra hazel nya bergulir menatap jam yang ada pada dinding kamar yang didominasi warna abu-abu ini, kemudian membelalakan matanya saat menyadari pergantian hari sudah terjadi sejak setengah jam yang lalu. Jadi dokter wanita yang Xander panggil untuk mengobatinya diminta ke mari saat waktu istirahatnya? Calista meringis, sekarang ia merasa menjadi pemeran antagonis dalam sesi ini.

Namun memang ini salah satu konsekuensi yang harus dihadapi para pekerja keluarga Xander. Tita tak bohong, ia mengerti semua tentang Adission. Dibalik gaji yang sangat besar, semua yang mereka lakukan dalam pekerjaan harus sempurna di mata keluarga Adission. Mereka juga harus siap bilamana sewaktu-waktu hal buruk terjadi dalam keadaan genting seperti sekarang ini.

Kantuk mulai menyerang gadis itu, Calista menutup mulutnya sendiri saat menguap dengan kedua bola matanya yang berair. Gadis itu menurunkan tubuhnya hingga kepalanya bersandar nyaman opada bantal yang biasanya Xander tiduri. Ia lupa masih berada di dalam kamar pria lain, yang jelas aroma memabukan yang menguar dari kamar ini selalu membuatnya terlelap untuk kesekian kalinya.

Dua puluh menit berlalu, Xander keluar dari kamar mandi dengan setelah piyama satin yang melekat pada tubuh aletisnya. Handuk kecil yang ia bawa dari kamar mandi laki-laki itu usapkan pada rambutnya yang tampak acak-acakan.

Senyuman tipis tercetak cukup jelas pada wajah laki-laki itu. Langkah kaki panjangnya melangkah menuju sisi ranjang tempat Calista memejamkan matanya. Gadis itu tertidur di kamarnya untuk kesekian kalinya. Dan Xander tak pernah mempermasalahkan hal itu, apapun asal Calista merasa tenang dan nyaman pasti ia izinkan.

Xander berjongkok, menatap Calista yang terlelap dengan bibir yang sedikit terbuka. Tangannya terulur menyingkirkan beberapa helai rambut Tita dan meletakannya di belakang daun telinga. Setidaknya, itu membuatnya bebas menatap wajah polos dengan hidung yang masih sedikit memerah itu.

Ia memang tak pernah benar-benar bisa memahami Calista, namun dengan melihat wajah paolos tertidurnya seperti sekarang, Xander merasa seluruh dunianya akan baik-baik saja. Setidaknya untuk saat ini.

"Sleep well, Tita." Xander mengecup singkat bibir pink itu sebelum ikut masuk dan terlelap di ranjang yang sama dengan Calista.