webnovel

KABAR BURUK, TITA SAKIT

"Saya mendapatkan informasi terbaru, Tuan," ujar Robert setelah memasuki ruang kerja luas milik Xander.

"Katakan," ujar Xander merespon singkat. Laki-laki itu masih sibuk menatap layar menyala dengan maca mata baca yang bertengger pada hidungnya, sepuluh jari tangan laki-laki itu tak berhenti mengetikan sesuatu pada keyboard komputer.

"Nyonya Delisa menemui Nona Tita kemarin pagi," ujar Robert dengan kepala menunduk dalam, ia takut Xander mengamuk mendengar berita besar yang ia lewatkan ini. Salahkan saja mata-mata rumah Xander yang sama sekali tak memberitahukan informasi apapun kemarin.

Laki-laki itu lebih dulu memberhentikan ketikannya pada keyboard komputer, kemudian menatap layar menyala dengan kedua tangan yang terkepal erat. Berani-beraninya Delisa masuk ke dalam areanya tanpa berkata apapun? Namun raut wajah dingin milik Xander langsung lenyap tergantikan dengan senyuman miring, sepertinya wanita itu sedang mencoba bermain nyawanya dengan Xander.

"Biarkan, apa ia berkata sesuatu hal yang buruk?" Pertanyaan itu terlontar. Xander tahu apa yang ia katakan sangat jauh dengan amarah yang sedang dirinya pendam. Ia memang mengkhawatirkan Tita, namun mengingat kejadian dimana gadis itu sama sekali tak mengingat perihal liontin yang dirinya berikan membuatnya berkata sedemikian.

Tak berbeda dengan Robert, tangan kanan terpercaya Xander itu langsung mengangkat kepalanya seraya menatap sang tuan dengan tatapan bingung. Apa ia tidak salah dengar? Ini kali pertamanya Xander memilih berperan lebih pasif saat membicarakan sang gadis pujaannya.

"Tidak ada. Nyonya Delisa hanya berbincang sedikit. Tapi, Tuan, tidakkah anda berniat untuk pulang ke mansion?" tanya Robert sedikit hati-hati, laki-laki itu mencoba bernegosiasi dengan sang tuan agar memilih pulang. Ini bukan Xander yang kemarin ia lihat.

Sebab saat setelah Xander menemukan Tita dan membawa gadis itu ke New York, ia lebih sering mengerjakan pekerjaannya di rumah agar lebih leluasa menatap dan memantau sang gadis dalam jarak dekat. Anggap saja ia serang mencoba membela sang nona yang mungkin saja dalam bahaya, keamanan mansion sedang melemah karena beberapa mata-mata ditugaskan untuk menyebar menyelidiki kasus penggelapan dana yang baru terjadi kemarin.

Robert masih mempertahankan posisi berdiri tegapnya, rahang tegas milik Robert tampak menunduk saat sang tuan menatapnya cukup intens. Ia tahu, bukan hanya Xander yanga kini tidak sedang bersahabati dengan siapaun, melainkan juga Jonathan.

Xander bergeming, ia bungkam walau pikiran dan hatinya mengutarakan dan memikirkan banyak hal. Bohong ia tak ingin pulang ke rumahnya, sebab rumah tempatnya pulang kini sudah berada dalam genggaman, Tita, Gadis itu adalah rumahnya dan Jonathan.

Namun lagi-lagi sifat egois yang mendarah daging antar keduanya membuat mereka tetap melakukan pekerjaaan yang sengaja ia tumpuk agar memperlambat keberadaannya di dalam kantor. Ia tak ingin melihat Calista lebih dahulu, melihat Tita pasti membuatnya melemah seketika.

Robert pamit undur diri lebih dulu saat dering ponsel tanda panggilan terdengar dan bergetak dari saku celananya, laki-laki dengan jas hitam yang biasa dipakanya langsung menuju pintu keluar setelah mendapat dehaman tanda mendapat izin dari Xander. Tak lupa kembali menutup pintu putih buram itu dengan gerakan pelan hampir tak mengeluarkan sepatah kata untuk meminimalisir amarah yang saat ini tertumpuk dan terpendam pada diri Xander. Ia hanya tak ingin menjadi sasaran samsak sang tuan untuk saat ini.

Tertera pada layar menyala dengan nama Mommy, Robert langsung mengangkat panggilan itu seraya memastikan keadaan sekitar aman dan tentram.

"Hallo, Mom?" Robert membuka pembicaraan dalam sesi ini. Laki-laki yang mengambikan dirinya pada Xandee sejak lulus dari S2-nya itu menjadi satu-satunya anak laki-laki dari sisilah keluarganya.

"Rob, mommy hanya ingin memastikan sesuatu. Apa tuan Xander tidak berniat pulang?" tanya Amera dengan nada sedikit kawatir.

Benar, wanita paruh baya yang menjabat sebagai kepala maid di mansion besar Xander adalah bunda dari robert. Sebagian besar keluarga Robert memang memilih mengabdi pada keluarga Adisson. Selain karena dulu mereka diselamatkan dan hidup dengan dibiayai orang tua Xander, ini juga merupakan wujud balas budi keluarga Robert.

"Apa terjadi sesuatu hal yang buruk dirumah?" Dahi laki-laki itu menyirit saat mendengar nada khawatir sang Mommy yang jarang terdengar kecuali pada keadaan yang genting.

Amera terlebih dahulu mengembuskan napasnya, "Nona tidak memakan apapun setelah sarapan, ia juga banyak menghabiskan waktunya di balkon dan menikmati keadaan dengan wajah yang sendu. Rob, tidakkah kau tahu sesuatu? Nona Tita melihat tuan makan bersama nyonya Delisa pagi tadi, menurutmu apa itu penyebab dari wajah murungnya?" Amera menjelaskan panjang lebar dengan nada suara yang berganti-ganti. Kadang bertanya dengan tenang, kadang berkata dnegan nada khawatir dan ruyam.

Kedua bola mata Robert membola saat mendengar lonatran kalimat akhir sang mommy, Calista melihat Xander dan Delisa makan bersama? Sial, ia kecolongan kali ini. Sepertinya Robert akan menerima hikuman dari sang tuamn bila Xander mendengar hal ini.

"Baiklah, Mom. Rob mengerti, aku akan bernegoisasi dengan tuan agar beliau pulang." Robert berkata dengan netra tak teralihkan dari pintu masuk ruang kerja tuannya. Takut-takut tuannya keluar dengan raut wajah masam.

"Tapi, ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui Rob. Sepertinya nona sakit, aku merasakan suhu tubuhnya menurun saat menuntunya menuju ranjang sore tadi." Perkataan itu terdengar setelah Robert hendak mematikan panggilan teleponnya. Tubuh laki-laki itu menegang, sepertinya ia akan mendapatkan hukuman ganda.

***

"Tuan, ada masalah di mansion. Ini tentang ... Nona Tita," ujar Robert dengan suara pelan, takut sang Tuan kembali melayangkan tatapan menghunus yang mempu membuat siapaun diam tak berkutik.

"Apa yang kau maksud? Katakan dengan jelas," ujar Xander dengan nada tenang. Kali ini, laki-laki yang duduk di bangku kebesarannya itu menatap Robert dengan wajah penasaran dan tajam dalam satu waktu yang bersamaan.

"Nona melihat anda makan bersama Nyonya Delisa pagi tadi," ujar Robert hati-hati.

DORR!

PRANG!

Jantung Robert hampir berhenti berdetak kala peluru yang Xander layangkan hampir mengenai kepalanya sendiri. Mata tangan Xander itu menatap lurus dengan pandangan kosong, ia yakin bila saja dirinya bergeser ke kiri sedikit saja, mungkin peluru mahal milik Xander kini sudah menembus daun telinga kiri begitu saja. Ia langsung menatap ke belakang, tepatnya di sisi kiri pintu masuk. Guci berukuran besar dan mahal yang Xander dapatkan dari pelelangan dengan harga tertinggi pecah seketika.

"Kau selalu ceroboh, Robert. Kau ingin aku memaklumimu selalu?" Pertanyaan dengan nada datar dan tajam itu terlontar dari mulut Xander dengan raut wajah tenang yang masih terbingkai.

"Maafkan saya, Tuan," pinta Robert dengan kepala yang kian tertunduk dalam.

"Kau bilang Tita masih terlelap di kamarku, tapi apa ini?"

Robert menyalahkan dirinya sendiri yang memang saat itu sedikit tledor karena mommy-nya menyuruh laki-laki itu membawa tumpukan berkas milik Xander yang tertinggal di atas meja tamu lantai dua.

"Saya siap menerima hukuman apapun, Tuan." Robert pasrah, menyerahkan dirinya atau tidak itu sama sekali tak akan merubah apapun keputusan atas dirinya yang akan Xander tentukan. Ini memang kesalahannya, jadi Robert tak bisa mengelaknya. Mungkin terlihat sepele, namun untuk kesekian kalinya dijelaskan. Semua hal yang mengyangkut Tita selalu sianggap hal besar dan penting melebihi apapun dalam pandangan Xander.

"Tapi tidak sekarang, anda harus pulang ke mansion. Kabar buruk tentang nona baru saja saya dengar, nona tidak memakan makanannya dan jatuh sakit."

"SHIT!" umpatan bernada itnggi itu langsung menggema di dalam ruang kerja Xander, laki-laki itu langsung bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar tanpa menghiraukan pecahan yang berasal dari guci sasaran tembaknya mengenai sepatu pantofelnya.

Sedangkan Robert yang melihat tuannya ingin bergegas pulang langsung membukakan pintu dengan wajah yang kembali dingin.

See, semarah dan seegois apapun Xander pada Tita, itu tak akan pernah bertahan lama.

"Jika terjadi sesuatu yang buruk dengan Tita, kau adalah manusia pertama yang kusalahkan, Xan!" seru Jonathan setelah menggeram lama.

Xander berdecih, "Kau juga menyetujui tindakanku, Nath. Kau juga yang memintaku menjauhi Tita untuk sementara waktu!" serunya di sela perjalanannya menuju lift dengan suara yang cukup tinggi. Robert yang berjalan di belakangnya langsung menunduk, dua nama dalam satu raga itu sedang beradu ucapan, dan itu selalu didasari oleh pemiliknya, Calista Carrol.

***

Calista tak benar-benar kecewa saat melihat Xander memakan sarapannya dengan Delisa dibanding sarapan bersama dirinya. Saat itu, mungkin ia terlalu merindukan Xander dan memburamkan segala apapun yang terjadi.

Yang jelas, ia merindukan Xander melebihi apapun, mereka sudah tak bersapa dua hari setelah insiden liontin. Mengigat perlakuan Xander saat terang-terangan mengabaikannya karena kejadian liontin tempo hari membuatnya kian menundukan kepalanya. Calista menahan isakan yang akan kemabli keluar. Gadis itu tak menginginkan ingatannya tak stabil tentang kejadian di masa lalu, ia hanya berkata sesuai apa yang diingatnya. Apa salahnya berkata jujur? Bukankah itu lebih baik?

Satu menit berlalu dengan keheningan, gejolak pada perut kecilnya membuat Calista langsung menutup mulutnya sendiri. Lantas gadit itu turun dari ranjanganya, berlari menuju kamar mandi dan memuntakan cairan bening itu pada washtafle. Napasnya terengah dengan wajah yang memerah, ia tak pernah senang bila tampak menyedihkan seperti sekarang.

Perlu jeda beberapa saat seblum gejolak yang membuat tubuhnya ingin kembali memuntahkan air mineral yang beberapa menit lalu diminumnnya untuk meredakan dahaga. Isakan terdengar, Calista tak ingin seperti ini. Ia ingi mendengar Xander memanggilnya dengan sebutan Tita.

Tubuh gadis itu langsung meremang saat sebuah tubuh besar dan tua tangan kekar bertumpu pada washtafle, mengurung tubuhnya sendiri dalam kungkungan hangat tanpa sepatah katapun. Calista tahu siapa pelakunya, bau wangi citrus yang menguar langsung membuat pikiran gadis itu tertuju pada Xander seorang.

Ia membalikan badan saat merasakan lilitan pada pinggang, Xander masih menatapnya dengan mulut bungkam. Dan Calista mempermasalahkan hal itu. Lebih baik melihat Xander menyemburnya dengan ucapan pedas dibandingkan melihat laki-laki itu mendiaminya seperti sekarang ini.

Tangan kekar itu beralih meraih sapu tangan berwarna putih tak jauh dari tempatnya, Xander mengusap perlahan mulut Tita untuk membersihkan sisa-sisa air yang tampak pada sekitar bibirnya.

"Kau selalu membuatku kalut, Tita." Kalimat singkat yang terdengar berat itu langsung membuat isakan Tita yang semulanya teredam kini kembali terdengar.

Gadis dengan bibir pucat itu langsung memeluk pinggang Xander dan menyembunyikan seluruh tubuhnya pada dada bidang milik laki-laki di hadapannya. Xander mengembuskan napas, menyangkut Tita adalah hal yang paling membuat Xander kalut.

Tak melihat tanda-tanda isakan itu akan redam, Xander langsung mengambil alih tubuh ringkih itu. Mengangkat tubuh Calista dan mendudukannya di atas washtafle. Tita langsung mengalungkan tangannya pada leher laki-laki itu, memindahkan wajahnya dan menyembunyikannya kembali pada ceruk leher Xander dengan bau yang memabukan siapapun. Ia merindukan bau Xander, merindukan pelukan Xander, merindukan segala hal tentnag Xander.

"Kumohon jangan mendiamiku lagi, itu sangat menyakitkan," lirihnya disela isakan yang mulai padam.