webnovel

LEPAS LANDAS BERSAMA

Xander tak mengerti dengan dirinya sendiri. Di masa lampau, dirinya yang membuat Tita terpaksa pergi. Namun berbekal pertemuan singkat mereka di salah satu Caffe take a rest, secara tak langsung membuat semuanya berubah.  Xander sadar bila tanpa adanya Calista, ia tak yakin berada di titik ini sekarang.

Mobil Xander memasuki unit gawat darurat, beberapa suster dan petugas yang berjaga langsung membawakan brankar untuk mengangkut pasien.

Sementara itu, tampak Xander hanya memantau keadaan sang gadis yang kini ikut memejamkan mata lantaran terlalu lelah.

Itu hal yang wajar, mengingat jam sudah menunjukan pukul 23.42 WIB.

"Tuan, apa ada keluarga yang bisa mengurus administrasinya?" tanya petugas yang beberapa waktu lalu ikut membantu penanganan Eveline.

Xander menggeram marah saat Calista menggeliat saat merasakan bising yang membuat tidurnya terganggu. Ia menatap petugas laki-laki itu dengan tatapan datar, kemudian memilih keluar dari mobil dan berjalan menuju loket administrasi manusia lain yang tidak dikenalnya.

Tanpa memarkirkan mobilnya dengan benar, aura yang memancar dari tubuhnya membuat siapa saja enggan mengajukan protes.

"Jangan terlalu lama, kau membuatku jauh dengan Tita, Xan," gerutu Jonathan dengan nada ketusnya.

Tertangkap dengan jelas, dua wanita dewasa yang bertugas melayani administrasi langusng terpaku oada pahatan wajah Xander tanpa mengedipkan kedua kelopak matanya.

"Pasien yang baru saja masuk ICU," ujar Xander singkat masih dengan wajah datarnya.

Petugas administrasi yang sedang ditatapnya langsung salah tingkah, ia memilih menunduk untuk mencari data pasien terbaru yang masuk ke ICU seperti yang dikatakan oleh lalki-laki itu.

"Totalnya dua—" Belum sempat menyelesaikan ucapannya, lagi-lagi petugas wanita itu membeli saat Xander mengeluarkan black card yang hanya dimiliki orang-orang tertentu. Melihatnya ia langsung menunduk sopan, mengambil kartu itu dan menyelesaikan pembayaran serata berucap terima kasih dengan ramah. Bukan apa, hanya saja laki-laki itu tampak sangat berkuasa. Ia tak ingin mengambil resiko dan berakhir kehilangan pekerjaan yang sudah digelutinya belasan tahun ini.

Xander kembali berjalan menuju ruang depan ICU, namun sebelum masuk pria itu lebih dulu menghubungi Robert, sang tangan kanan terpercayanya.

Pada dering ke dua, panggilan itu langsung tersambung. Sepertinya Robert sangat berhati-hati di setiap tindakannya agar selama sang tuan jauh ia tak melakukan kesalahan sececil apapun.

"Kirimkan pesawatku ke bandara sekarang juga, minta satu sopir di apartemenku untuk mengendarai mobil. Lokasinya akan kuberikan padamu," ujar Xander panjang lebar membuka pembicaraan.

"Anda sudah berniat pulang, Tuan? Apakah anda tidak ingin menetap dan melihat nona lebih lama lagi?" Robert adalah laki-laki berpikiran maju, IQ-nya cukup tinggi, ia masuk ke dalam kategori manusia yang memikirkan kejadian yang bisa terjadi di masa mendatang.

"Aku tidak pulang sendirian, lebih tepatnya bersama Tita." Xander masuk ke dalam mobilnya, bukan kursi kemudi melainkan kursi yang ditumpangi Tita. Ia lebih dulu memutuskan panggilan saat setelah mengirimkan lokasinya pada Robert, tangan Xander itu langsung menyiapkan pesawat milik Tuannya untuk lepas landas malam ini juga. Tak lupa Meminta satu tangan kanan terperxaya Xander yang ada di Indonesia untuk ikut serta mengawal keberangkatan keduanya.

Mengamati lamat ekspresi wajah tenang Tita adalah sebuah keharusan untuk ke depannya.

Jonathan bersorak girang saat mendengar Xander membawa Calista ikut serta bersama mereka menuju New York.

Laki-laki itu mengerogoh saku dalam jas yang dipakainya, kemudian menatap liontin perak milik Tita yang kini berhasil membawanya bernostaliga dengan masa lampaunya bersama Tita. Mengingat itu, ia tersenyum sangat manis. Senyuman yang sangat jarang diperlihatkan pada manusia lain.

Xander memasangkan kalung itu pada leher sang gadis dengan hati-hati, ia tak ingin membuat Tita bangun dan membuat rencananya gagal seketika.

Ia menunggu beberapa menit sampai sang sopir yang biasanya ia sewa saat berada di Indonesia sampai, laki-laki bermanik jelaga itu menatap telapak tangan kecil milik Tita yang membuatnya terkekeh keci.

Ia meraih tangan itu, kemudian mengusapnya perlahan dengan gerakan lembut seolah kuoit Tita adala berlian mahal yang sulit di dapatkan.

"Kau yang mengizinkanku meminta apapun, Tita. Jadi mudah mudah kubicarakan bila permintaan pertamaku yang harus kau turuti adalah tinggal dan menetap bersamaku di New York."

***

"Ah, gadisku yang cantik," puji Jonathan setelah Xander merebahkan tubuh Tita di ranjang pribadi yang ada di sini.

Ia memutar bola mata malas menganggapi sisi lain tubuhnya, laki-laki dengan kemeja formal itu memilih keluar dari kamar pribadi yang ditempati Tita dengan gerakan pelan.

Sedangkan Emil, tangan kanan Xander asli orang Indonesia langsung membuka pintu keluar dan menutupnya kembali. Ia berjalan di belakang sang tuan yang tampak berekomunikasi dengan sisi Xander yang lain. Semua bawahan Xander memang sudah tahu, hanya saja disembunyikan dari massa dan publik. Ini bukan kali pertama bagi Emil, katakan saja ia sudah dua kali melihat tuannya berbicara sedemikian.

Sang tangan kanan Xander di Indonesia idu memilih ikut mengawal kepulangan tuannya dan Nona Calista.

Emil mengikutsertakan  pengawal terlatih dan terbaik untuk berjaga-jaga bila bahaya datang tiba-tiba. Walau sudah Emil pastikan aman, semua itu kurang Xander bilang. Sikap protective Tuan Xander meningkat dua kali lipat bila menyangkut Calista, Emil mengakui hal itu juga.

***

"Aku tidak akan pernah meminta mengambil alih tubuhmu asak Tita selalu di dekatku, tenang saja." Jonathan berkata seperti sudah mengetahui arti persiaman Xander.

Ia paham dengan posisinya yang hanya bersemayam di dalam diri Xander, melihat Tita lebih dekat itu lebih dari cukup untuk membuat suasana hati Jonathan baik dan stabil.

"Biarkan aku beristirahat, tidakkah kau kelah berkata terus menerus di dalam sana?" sindir Xander.

"Ups, baiklah aku diam."

Keheningan menerpa sekitar, Xander memejamkan kedua kelopak matanya dengan badan bersandar. Sesekali jarinya mengetuk kedua tangan kursi yang dirinya tumpaki. Keputusannya membawa Tita terlintas tiba-tiba. Ia tidak tahu apakahh Tita akan marah  bila terbangun di negara tempat gadis itu dilahirkan?

"Tuan, sore tadi Nona Delisa mengirimkan saya email. Nona bilang, anda harus segera membaca pesannya," ujar Emil yang entah sejak kapan berdiri di samping kursi duduk Xander.

Terdengar embusan napas keluar terlebih dahulu, "Bilang saja aku sedang dalam perjalanan bisnis," jawab Xander setelah mencari alasan.

"Tapi tuan—,"

"Aku ingin terpejam sejenak, jangan menggangguku dengan suaramu."

Dialig itu berhasil menbungkam Robert. Laki-laki itu membungkukan badan hormat dan memundurkan langkah kakinya menjauhi sang tuan dan mendudukan tubuhnya sendiri si atas kursi miliknya.

***

Sembilan jam berlalu, perjalan mereka masih jauh. Namun tampak Calista mengerjapkan kelopak matanya berkali-kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Sediiit goncangan yang ia rasakan langsung membuuat Kedu bola matanya mengedar ke segala arah, kerutan pad dahi gadis itu tampak mengundang siapapun yang melihatnya tersenyum mengerti.

Calista menurunkan kedua kakinya, menapak oada temoat pijakan dan berjalan menuju benda persegi panjang yang ia yakini menjadi sebuah pintu.

Satu sekon berikutnya ia tersentak saat dua laki-laki berpakaian seragam dengan wajah datarnya berjaga di deoan pintu. Walau kaget, ia masih sempat mengedarkan pandangan dengan harapan mendapat jawaba atas kebingungan yang melandanya sekarang.

"Selamat pagi, nona," sapa mereka walau dengan nada yang masih sadar.

Calista masih terdiam, ia baru sadar bila sekarang dirinya berada di dalam pezawat terbang.

"Dimana Xander?" tanya Calista singkat.

Ia tak mungkin mencurigai orang lain semwntara orang terdekat yang mengenalnya bisa melakukan apa saja.

Bahkan, saat melihat pengawal berseragam hitam dan berekspresi datar itu pikirannya langsung tertuju pada Xander.

Melihat dua pengawal itu hendak menunjukan jalas, Calista kembali angkat bicara.

"Tunjukan arah saja, aku bukan anak kecil yang tak tahu jalan."

Ia memang bingung, pasalnya pesawat yang dirinya tumpangi sekarang ini di desain seperti rumah minimalis.

"Tuan ada di kursi depan, nona. Anda hanya perlu jalan lurus untuk sampai ke sana," ujae salah satu dari mereka yang tak terlalu datar.

Calista mengangguk, "Terima kasih."

Langkah kaki tanpa alas itu berjalanurus seperti yang diarahkan pengawal depan kamarnya tadi. Walay wajahnya tenang, jauh di dalam lubuk hatinya terbakar. Kwmana laki-laki itu ingin membawanya kabur?

"Xander!" panggil Calista. Hal itu membuat percakapan antar Emil dan Xander terhenti. Laki-laku dengan kemeja putihnya itu bangkit dari duduk, ia tersenyum mendaoati Calista yang menatapnya garang. Bukannya menyeramkan, ia malah terlihat menggemaskan.

"Kau ingin membawaku kemana? Tidakkah tahu kau bila semua uangku tertinggal, belum lagi Eveline yang ada di rumah sakit, apa kau—," Ucapan Calista terhenti saat Xander menempelkan bibirnya di atas material sejenisnya.

CUP ...