webnovel

DON'T TOUCH, TITA!

Sesuai sesi wastafel dan berujung di ruang makan, keduanya bungkam dan fokus dengan makanannya masing-masing. Ralat, hanya Xander yang fokus. Sementara  Calista masih sesekali melirik laki-laki berkemeja hitam dengan dua kancing teratas yang tak sengaja terbuka.

Ia berdeham, merasa salah tingkah saat Xander menangkapnya basah terang-terangan saat menatap dua kancing teratas miliknya. Entah dimana keberadaan jas yang biasanya ikut melekat, yang jelas dengan penampilan acak-acakan seperti ini, menurut Calista sendiri Xander jauh lebih sexy. Ah, sial, lupakan pemikiran kotor yang mampir di kepala si gadis mungil itu.

Calista kembali terfokus pada makanannya, menyuapkan  perlahan ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan mata terpejam. Daging adalah makanan yang paling gadis itu sukai, itu sebabnya di dalam meja makan selalu terhidang olahan daging dengan variasi lumayan banyak. Entahlah, Calista tahu itu berlebihan. Namun sepertinya Xander yang ingin melihat gadis itu memilih banyak olahan untuk dimakan. Juga, koki yang laki-laki itu pekerjakan lumayan banyak.

Netranya menangkap keberadaan Bibi Amera dengan kedua tangan membawa nampan berisi piring kotor yang Calista pastikan dari dalam kamarnya. Makanan tak tersentuh milik gadis itu Bibi Amera bawa menuju ke ruang yang berada di sisi kiri ruang makan, ruang mencuci piring dan mencuci baju. Wanita paruh baya itu juga sempat tersenyum ramah saat Calista menatapnya dari pintu masuk hingga dirinya keluar setelah memberikan beberapa piring kepada maid yang bertugas mencuci piring hari ini.

"Sudah jauh lebih baik?" pertanyaan yang terlontar membuat tubuh Tita tersentak, tangannya tak sengaja menyenggol gelas miliknya sendiri.

PRANG!

Suara gelas berbahan dasar kaca itu langsung menggema ke seluruh penjuru ruangan. Beberapa maid yang sedang menyelesaikan pekerjaan mereka di samping  ruang makan langsung berlari terponggoh-ponggoh untuk memastikan apa yang terjadi. Bahkan Bibi Amera yang sudah hampir memasuki kamarnya langsung berlari menuju ruang makan kembali.

Calista mengigit bibir bawahnya dengan netra menatap pecahan beling yang terkena kaki kanannya sendiri. Rasa perih langsung dirasakannya, ia tak mengerti mengapa pecahan kaca itu bisa mengenai telapak kakinya.

Tangannya terulur, bergegas dan berniat membereakan kekacuan yang dilakukannya.

Ia tak mempermasalahkan luka yang dirinya dapat, darah yang mulai menetes juga tak Calista gubris. Fokusnya pada gelas yang dipecahkannya, ia tak bodoh untuk mengetahui harga satu gelas yang baru saja dirinya pecahkan.

"NONA!"

"DON'T TOUCH, TITA!"

Kedua seruan itu terdengar bersamaan saat tangan gadis itu hampir mengenai pecahan kaca kecil yang menancap pada telapak kakinya.

Calista menatap laki-laki di hadapannya, "Xander," cicit gadis itu dengan wajah yang sudah memerah. Kedua kelopak matanya siap menumpahkan tangis dan cairan kristal.

Ia takut, bukan dengan luka pada kakinya sekarang. Melainkan pada tatapan tajam dan rahang Xander yang tampak mengeras sekarang ini.

Xander menggeram, "Mengapa kau tak pernah berhenti melukai tubuhmu, Tita?!" Pertanyaan dengan nada tinggi itu langsung membuat Tita menundukan kepalanya dalam, gadis itu menahan isakannya mati-matian agar sedikit teredam. Kedua tangannya saling meremas, ia meraskan rasa takut yang amat besar sekarang.

Bahkan beberapa maid yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menatap sang nona dengan tatapan iba. Hari ini pasti hari terberatnya, melihat pria yang disukainya makan bersama wanita lain, tak bersapa dua hari, sakit, dan sekarang menjadi sasaran amarah Xander dengan kondisi kaki kanannya tak berhenti mengeluarkan darah.

Bibi Amera tak kuat menahan isak tangis, wanita paruh baya itu lebih dahulu meminta segerombol maid kembalu menuju gedung belakang mansion untuk istirahat.

Wanita renta berumur hampir setengah abad itu hendak berjalan mendekat untuk menawarkan bantuan.

Setidaknya mengobati luka pada kaki Tita, itu yang ada di dalam pikiran Amera.

Namun belum sempat melangkah, tangan kanannya di raih dari arah belakang. Memaksanya memberhentikan langkah. Amera membalikan tubuh, mendapati sang anak semata wayangnya menatap kejadian yang menimpa antar tuan dan nona.

"Jangan menghampiri mereka, Mom. Itu akan membuat tuan bertambah marah dan melampiaskannya pada Nona Tita." Robert menjelaskan setelah menggeleng-gelengkan kepala tanda dirinya tak setuju.

"Tapi, Rob. Luka pada kaki Nona Tita harus segera diobati, aku takut itu menjadi infeksi," ucap Amera dengan nada parau. Ia sungguh tak sanggup melihat raut kesakitan yang terpatri pada wajah sang nona.

"Jangan,Mom. Aku baru saja menghubungi Dr. Yoona. Dia sedang dalam perjalanan kemari," jelas Robert.

Amera menghembuskan napanya, "Syukurlah."

"Mom, kembalilah ke kamar. Kau perlu istirahat, hari ini dirimu sudah banyak berjuang. "

***

Di sisi lain, Xander yang melihat tubuh bergetar gadisnya langaung memilih meredam amarah. Ia lebih dulu memejamkan mata, kemudian mengembuskan napas sebelum kembali membuka kedua kelopaknya.

"Tita," panggil Xander dengan nada datar seperti biasanya.

Namun bukannya jawaban yang ia dengar, melainkan isakan yang kian terdengar kencang.

Di dalam sana Jonathan menyalahkan Xander, tak seharusnya laki-laki itu melampiaskan amarahnya pada Tita tentang kasus penggelapan dana yang kemarin terjadi.

"Kau benaer-benar bodoh, luka pada kakinya pasti terasa sakit!" seru Jonathan menyalahkan.

Xander langsung bangkit setelah menyingkirkan beberapa kaca menjauh dari tempat pijakan. Ini juga salahnya sendiri, ia lupa bila Tita tak memakai alas kaki apapun saat dirinya bawa menuju ruang makan.

Isakan itu masih terdengar, bahkan saat Xander mengangkat tubuh ringan itu dan menggendongnya koala syle.

Calista langsung mengalungkan tangannya pada leher Xander, kemudian menyandarkan seluruh tubuh pada laki-laki yang kini sedang menggendongnya.

"Maaf ... aku tak sengaja memecahkannya ... saat punya uang nanti, aku pasti mengganti gelas itu," lirihnya di sela perjalanan mereka menuju lantai dua.

Xander bergeming, bahkan saat kakinya terluka Tita bisa memikirkan pertanggung jawaban atas apa yang ia lakukan. Harusnya ia tidak marah dan meneriaki gadis itu tadi. Sebab mau bagaimanapun, Tita adalah pemiliknya. Gadis yang membuatnya takluk seketika.

Ternyata Xander membawa gadis itu ke dalam kamarnya sendiri, berniat merebahhkan tubuh gadis pada ranjang sebelum eratan peluk pada lehernya tak berniat Tita lepaskan.

"Tita," tutur Xander memperingati. Namun Tita memilih tak bergeming, kian mengeratkan pelukan dengan cara mencengkam kuat kerah belakang kemeja hitam yang Xander pakai sekarang.

"Lukamu harus diobati lebih dulu," ujar Xander dengan sabar.

Namun Tia malah menggelang, gadis itu kembali menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Xander yang selalu membuatnya mabuk.

"Tidak, aku tidak akan pernah melepaskanmu sekarang!" seru Tita. Gadis itu langsung mendekap lebih erat tubuh Xander agar tidak diturunkan si atas ranjang.

"Longgarkan, aku menyukai gadis yang penurut," ujar Xander dengan nada tenang. Nada bicaranya langsung membuat tubuh Calista kembali meremang, perlahan pelukannya pada leher Xander terlepas. Membiarkan laki-laki itu meletakan tubuhnya dan meluruskan kedua kakinya di sisi ranjang yang biasanya laki-kali itu tiduri.

Harusnya Calista tak bertindak sedemikian, ia tak bisa seenaknya memerintah Xander dengan nada manja seperti tadi. Bukankah itu terlihat sangat lancang? Apa dirinya pantas dinamai jalang seperti apa yang dikatakan wanita tak dikenal yang menemuinya kemarin?

Wajah murung itu terlihat, Calista memilih menatap luka pada kaki kanannya tanpa kembali melirik Xander yang masih setia beridiri di sampingnya.

Namun saat dagunya ditarik perlahan agar mendonggak, Tita hanya mampu memejamkan mata saat Xander kembali melumat bibirnya perlahan. Menerobos masuk saat Tita lengah seolah menyalurkan apa yang juga sedang laki-laki itu rasakan.

Pautan itu cukup lama, namun dilepaskannya saat menyadari sang gadis kekurangan oksigen.

"Tita, dengarkan ucapanku baik-baik. Aku tak selalu tahu apa yang ada di dalam pikiranmu, baik ataupun buruknya sama sekali tidak kuketahui. Namun lewat kedua netramu, aku selalu berusaha untuk membacanya."