webnovel

Menunggu Kepulangan Andra

Sepulang dari kantor, Andine membantu Bi Lastri menyiapkan makan malam. Wanita muda itu tampak telaten membuat menu makanan yang nantinya akan disajikan setelah suaminya pulang.

Bagaimanapun juga, baginya ini adalah salah satu cara agar Andra mau membuka hatinya sedikit saja, dan mau menerima sang istri seutuhnya.

Denting peralatan masak bagaikan musik yang mengiringi dua wanita itu. Di dapur, Andine dan Lastri sangat kompak, sesekali keduanya terlibat obrolan ringan untuk saling mengenal satu sama lain.

"Oh iya, Non. Tadi pagi, Non bilang kalau, Non kurang suka sama nasi goreng. Nah, kalau boleh, bibi tahu, ada nggak makanan lain yang, Non nggak begitu suka. Supaya, nanti bibi nggak sembarangan bikin makanan." Bi Lastri bertanya sambil membolak-balik ayam di dalam penggorengan.

Andine yang sedang sibuk mengiris cabai kemudian mengerutkan kening, ia tengah berpikir untuk menjawab pertanyaan Bi Lastri.

"Cuma itu sih, Bi. Makanan lain, saya sih suka-suka aja," jawab Andine tanpa mengalihkan pandangan ke arah pisau dan cabai di hadapannya.

Bi Lastri mengangguk-angguk, "Kalau … Tuan Andra bagaimana, Non?"

Gerakan tangan Andine sontak berhenti, wanita itu mematung sesaat setelah mendengar pertanyaan Bi Lastri.

Andine bingung, apa yang harus dijawabnya? Ia tidak terlalu tahu mengenai sosok suaminya. Makanan apa yang dia suka dan apa yang tidak dia suka, kebiasaan seperti apa yang dimiliki oleh Andra, dan hal lain yang berkaitan tentang kepribadiannya.

Andine tidak tahu. Namun, akan semakin mengejutkan jika ia menjawab dengan ketidaktahuan.

"Eng … sepertinya udah sore, Bi. Mending, Bibi mandi aja dulu, itu ayamnya biar saya aja yang lanjutin," titah Andine, secara tidak langsung memutus topik obrolan yang belum sempat dijawab.

Bi Lastri yang patuh itu langsung mengangguk mengerti, ia segera pamit dan berlalu pergi. Menyisakan Andine sendiri di dapur.

"Mana aku tahu makanan apa yang nggak dia sukai? Kami nggak pernah ngebahas itu." Andine mengomel dengan suara lirih sambil menggelengkan kepala, ia melanjutkan masakan yang beberapa waktu kemudian akan selesai.

Malam hari. Jarum jam sudah menunjuk ke angka delapan. Namun, Andra belum juga pulang.

"Nih orang emang selalu pulang malem ya? Kok jam segini belum balik?" Andine bergumam dengan perasaan resah, sesekali ia mengecek ponsel dan berharap ada pesan dari sang suami. Namun, nihil.

Di atas balkon kamar Andine berdiri, pandangannya beberapa kali mengarah ke pagar rumah yang menjulang tinggi. Berharap mobil sang suami muncul dari sana.

Andine mendesah, kini resah berganti dengan kesal. Sebenarnya, sejak tadi ibu jarinya sudah gatal hendak menekan icon telepon pada nomor Andra. Namun, hati terasa berat sekali, ia merasa gengsi.

"Telepon aja kali ya? Keburu malem." Membuang malu demi status istri yang utuh, Andine pun memberanikan diri menelepon sang suami.

Dering terdengar beberapa kali, tapi tak kunjung ada jawaban di ujung sana, membuatnya berpkir bahwa suaminya mungkin saja sengaja mengabaikannya.

Andine merasa tak nyaman, ia akhirnya juga mengirimi pesan kepada Andra melalu aplikasi chat WhastApp.

[Andra, kamu di mana? Ini udah malem, kenapa belum pulang?]

[Kalau memang pulang telat, setidaknya kasih kabar!]

[Kenapa telepon aku nggak diangkat? Kamu lagi ngapain? Lagi di mana sekarang?]

Pesan berantai terkirim, berbeda teks tapi intinya sama. Andine meminta Andra untuk segera pulang. Sebab gadis itu sudah susah payah memasak makan malam, yang nantinya akan ia sajikan di hadapan sang suami.

Andine mendengkus kesal, centang dua abu-abu tak kunjung membiru setelah beberapa menit pesan itu terkirim. Apalagi, kini perutnya juga sudah keroncongan karena sejak tadi belum diisi makanan. Ia sengaja menunggu Andra agar mereka berdua bisa menikmati makan malam bersama.

Wanita yang mengenakan piyama pendek itu menyentakkan kakinya di lantai, ia segera melangkah masuk dan berjalan menuju ke bawah.

Di atas sofa panjang, Andine mengambil duduk. Lagi-lagi ia mengecek ponsel berharap suaminya membalas pesan-pesannya.

"Ish! Ke mana sih tuh orang?" gerutu Andine sambil meremas ponsel.

Di ruangan luas itu, Andine menatap layar ponsel sampai tidak berkedip. Demi menunggu dua centang abu-abu berubah biru.

Satu menit.

Lima menit.

Dua puluh menit.

Andine sudah berganti posisi menjadi rebahan, tapi tetap dengan layar ponsel menyala di depan wajahnya.

Hening, sunyi bagai rumah yang tak berpenghuni. Andine beberapa kali menghela napas berat sambil memaki Andra di dalam hati.

Lama kelamaan, penantian berubah menjadi kekecewaan. Raut wajah gadis itu berubah sendu, seluruh tubuhnya lunglai bagai tak bertulang. Ponsel di dalam genggaman pun sudah berpindah ke atas meja.

"Sebenarnya kamu ke mana sih, Mas? Walaupun pernikahan ini nggak seindah yang aku bayangin, tapi aku tetep berusaha memperbaiki semuanya. Aku akan terus berjuang jadi istri yang baik, dan berjuang jadi istri yang kamu anggap ada di dunia ini." Andine bergumam lirih, ia mengambi posisi miring dengan kedua tangan berada di bawah kepala sebagai bantalan. Kedua matanya tertuju ke arah pintu utama yang tertutup rapat.

Senyap, Andine terbawa suasana dalam keadaan yang begitu mengiba. Lama kelamaan, kedua matanya meredup, lalu akhirnya memejam dengan rasa kantuk yang menyerang sejak tadi. Bahkan rasa perih di perut karena kelaparan tidak ia hiraukan.

Andine tertidur, wajah polos tanpa make up dengan kecantikan natural itu tampak begitu damai saat terlelap. Tiada satu orang pun yang tahu bahwa sejak pagi ia sudah dilanda oleh lelah luar biasa.

Lelah menyunggingkan senyum palsu dengan hati yang penuh luka, dan lelah berpura-pura bahagia di hadapan semuanya.

Di dalam ruang bercahaya terang dengan kesunyian yang menenangkan, Andine larut dalam buai mimpi.

Tepat pukul sebelas malam. Terdengar deru mobil yang berhenti di halaman rumah, tak berselang lama derap sepatu menyusul dari arah depan.

Ceklek! Pintu terbuka sesaat setelah seseorang memutar kuncinya, benda itu kemudian ditutup kembali ketika sosok lelaki bertubuh tinggi memasuki rumah.

Langkahnya seketika terhenti, di saat pria itu menyadari ada sosok wanita tengah berbaring di atas sofa. Tampak meringkuk kedinginan karena hanya mengenakan piyama tipis yang pendek. Bahkan bagian pahanya ikut tersingkap saat ia merubah posisi tidur.

Ada yang menghangat di dalam dadanya, saat kedua mata bermanik kecoklatan itu memandangi wajah si perempuan. Ada rasa iba yang tiba-tiba menyerbu jiwa, diiringi desah napas dengan perasaan bersalah.

Ia menunduk, penyesalan kini benar-benar ia rasakan. Harusnya, gadis itu tidak ikut merasakan luka yang terlanjur ia torehkan ke dalam hatinya.

"Maaf, harusnya kamu tidak perlu ikut terlibat. Ini menyakitkan, aku tidak bermaksud membagi luka padamu. Sebab dari awal aku sudah memperingatkan." Andra mengusap wajah, bulir bening tiba-tiba menetes dari ujung matanya.

"Maafkan suamimu ini, Andine," lirihnya.

Bersambung.