webnovel

Malam Pertama

Malam pertama, adalah malam yang menegangkan bagi setiap pasangan. Penuh gairah, debar dalam dada, dan terkadang ada perasaan takut untuk memulainya.

Di dalam sebuah kamar bercahaya temaram, Andine duduk di sisi ranjang dengan jantung berdetak kencang, bahkan degupnya dapat ia dengar.

Pakaian resepsi sudah ia lepaskan, make up yang menempel di muka juga sudah ia bersihkan. Gadis berwajah ayu itu hanya mengenakan baju tidur lengan pendek.

Suara gemericik air yang berasal dari kamar mandi semakin membuat nyali Andine menciut, ini adalah kali pertama ia akan tidur satu kamar dengan seorang lelaki asing yang pagi tadi sudah sah menjadi suaminya. Hatinya berbunga-bunga, karena tidak sabar untuk meneguk manisnya malam pertama bersama Andra--suaminya.

Ceklek! Pintu kamar mandi terbuka, mendadak suasana di kamar hotel tersebut begitu hening untuk beberapa saat, apalagi Andine yang duduk seorang diri di sisi tempat tidur kini tampak mematung. Bahkan untuk menelan ludah saja ia sungguh merasa gugup.

Andra melangkah melewati sang istri begitu saja, ia berjalan menuju meja rias dan mengambil duduk di sana. Lelaki pemilik rahang tegas itu tengah merapikan rambutnya yang setengah basah.

Aroma sabun milik Andra membuat Andine diam-diam menghirupnya. Wanita itu menyunggingkan senyum dengan perasaan membuncah, sungguh ia tak menyangka bahwa status jomlo yang tersemat sejak lahir akhirnya pupus sudah.

Gadis berambut hitam sebahu itu menunduk, tangannya meremas ujung baju dengan jantung yang semakin berdebar, sesekali ia melirik ke arah jam dinding untuk sekedar mengecek waktu. Namun, hingga satu dua menit berlalu Andine tak menyadari adanya pergerakan dari Andra yang masih setia duduk di depan cermin rias.

Apa yang sedang dilakukan pria itu?

"Mas!" Akhirnya Andine memecah kesunyian di kamar tersebut.

Pria berkaus putih polos itu menoleh, melirik sang istri yang saat ini sedang menatapnya dengan raut wajah memohon.

"Ya?" Andra menyahut setelah beberapa waktu berlalu.

"Eng … kamu nggak mau duduk dekat aku?" tanya Andine dengan jantung yang hampir merosot jatuh, sungguh ia bahkan tak berpikir dulu untuk menanyakan hal seperti itu. Pertanyaan yang justru membuatnya seperti wanita penggoda. Ah, menggoda suami sendiri tak apa, 'kan?

Andra melengos, ia menghela napas pendek dan kembali menghadap cermin di hadapan. Pria itu tampak tak peduli, raut wajahnya bahkan menunjukkan bahwa ia sangat tak menginginkan wanita itu malam ini.

"Bukankah sudah aku katakan? Harusnya kamu menolak perjodohan ini." Andra bicara dengan suara pelan tapi penuh penekanan, hingga membuat Andine terkejut dengan raut wajah tak percaya. Ini pembahasan yang cukup serius, pikir gadis itu.

"Aku tidak bisa menolak perjodohan ini, karena papa dan mamaku sangat bersikeras. Tapi kalau kamu yang bicara dengan orang tuamu, mungkin mereka bisa memaklumi. Tapi ... kemarin kamu malah menyetujuinya," sambung Andra lagi, pria itu tersenyum miris sambil menggelengkan kepala.

Wajah Andine memucat, napasnya tiba-tiba sesak mengetahui fakta apa yang saat ini sedang ada di hadapannya. Malam pertama macam apa ini? Mengapa pria itu malah membahas tentang perjodohan yang sudah terlanjur terjadi?

"Tapi, ya sudahlah. Sekarang kita sudah sah suami menjadi suami istri." Andra bangkit berdiri, ia menatap wajah sang istri dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Andine yang melihat suaminya tengah berdiri menatapnya seperti itu, justru merasa ketakutan. Takut, jika lelaki itu akan melakukan hal yang tidak ia duga-duga, karena menurutnya, Andra memang tak menginginkan pernikahan ini terjadi.

"M-maaf, Mas." Andine menunduk dalam, merasa bersalah.

Gadis itu ingat, dua hari sebelum pernikahan ini terjadi. Andra datang kepadanya dengan sambil memohon, bahwa pria itu meminta Andine untuk membatalkan perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka.

Namun, karena Andine tidak mau mengecewakan kedua orang tuanya juga, gadis itu akhirnya tak mengindahkan permintaan Andra. Ia mengabaikan permohonan lelaki itu, Andine tidak memikirkan resiko apa yang akan terjadi bagi kehidupan masa depannya. Kali ini, barulah ia menyesal.

"Aku memang tidak menginginkan pernikahan ini, tapi aku tetap akan menjalankan tugas sebagai suamimu. Itu 'kan yang kau mau?" Andra menaikkan sebelah alisnya, bersamaan dengan seulas senyum miring yang tercetak di bibir. Pria itu bagaikan seorang penjahat di mata Andine sekarang, bukan lagi sosok suami yang manis yang memiliki perlakuan lembut dan menyayangi.

Andine menggeleng, ia beringsut turun ketika sang suami melangkah mendekatinya.

"Kenapa? Bukankah di awal kau sudah menggodaku?" Andra menantang.

"Tidak, Mas. Kita tidak perlu melakukannya, aku baru menyadari bahwa kamu memang tidak mencintaiku." Suara Andine sedikit bergetar saat mengatakan itu.

Andra berhenti, ia tertawa keras hingga sudut matanya berair. Sikapnya sungguh membuat Andine terperangah tak percaya.

"Itu! Kau sudah paham sekarang," ujar Andra sambil mengarahkan jari telunjuk kepada istrinya. "Lagipula, bagaimana bisa aku mencintaimu? Kita bahkan baru kenal satu bulan yang lalu, mana mungkin aku mencintaimu! Kau … bahkan bukan tipeku."

Kalimat yang dilontarkan Andra bagaikan belati yang menusuk tepat di hati Andine, begitu tajam dan menyakitkan, hanya saja tak berdarah, tapi mampu menghancurkan jiwa istrinya.

Andine menatap Andra dengan mata berkaca-kaca, ia berusaha keras tidak menumpahkannya di hadapan lelaki itu.

"Aku tidak akan bertanggung jawab atas rasa sakit yang kau alami, itu resiko karena kau sudah berani menerima perjodohan ini." Andra berkata dengan penuh keseriusan, tatapannya begitu tajam tertuju ke arah Andine.

Gadis berhidung mancung itu hanya bisa menahan perih di ulu hati, mentalnya benar-benar jatuh berkali-kali hingga ia pun tak sanggup melawan kata-kata sang suami yang begitu menyakiti. Tak pernah Andine bayangkan bahwa sifat asli Andra ternyata seperti ini, begitu kejam. Padahal, di hadapan banyak orang Andra begitu baik dan sangat ramah pada semuanya. Pria itu suka tersenyum dan bercanda, tapi ternyata tidak di hadapan istrinya.

Andra berbalik, melangkah menyambar jaket dan kunci mobil. Bersiap untuk pergi. Namun, pikiran Andine masih berputar pada permasalahan tentang perjodohan tersebut.

"Kenapa bukan kamu saja yang menolak perjodohan ini, Mas? Kalau kamu tidak menginginkan aku, kenapa kamu bersedia menikahi aku?" Andine menatap iba ke arah Andra yang sedang bersiap.

Pria itu menoleh, menatap Andine yang wajahnya begitu nelangsa.

"Kau tuli? Sudah aku katakan, bahwa orang tuaku sangat keras kepala, percuma aku menolak perjodohan ini mereka tetap akan melakukannya!" Andra menjawab sambil menahan emosi, ia menggelengkan kepala melihat Andine yang menurutnya begitu menyebalkan.

"Begitu? Kalau begitu kita bercerai saja, Mas! Selesai!" Andine mulai melawan.

"Cerai?" ulang Andra yang sudah siap untuk pergi, pria itu tertawa kecil. "Bagaimanapun juga aku masih menjaga citra keluarga, tidak mungkin aku menceraikanmu dalam waktu dekat. Entah jika beberapa bulan ke depan," jawab Andra sambil tersenyum sengit.

Andine hanya bisa terdiam, percuma jika ia bicara sebab kata-kata Andra akan lebih menyakitkan dari yang wanita itu kira.

"Aku mau pergi, dan akan kembali besok pagi. Jangan mengadu kepada siapa pun tentang kejadian malam ini, mengerti?" Setelah mengatakan itu, bahkan tanpa menunggu Andine bicara, Andra segera berlalu pergi meninggalkan gadis itu seorang diri.

Sosok Andra menghilang setelah ia kembali menutup pintu kamar, pria itu benar-benar membuang sang istri pada malam pertama mereka. Andine yang malang, kini tersedu dan menumpahkan sesak menyakitkan di dalam hatinya.

"Tega kamu, Mas!" rutuk gadis itu sambil mengusap air mata.

Bersambung.