webnovel

Permainan Dimulai

Andine duduk dengan gelisah, wanita itu menunduk dan memainkan kedua ibu jarinya yang berada di atas paha. Di sebelahnya duduk seorang lelaki yang tak lain adalah suaminya sendiri, Andra sedang sibuk mengemudikan mobil.

Jalan raya yang padat membuat Andra beberapa kali mengumpat, belum lagi cuaca pada hari itu memang tampak sangat cerah, membuat gerah jika saja AC mobil tidak menyala.

Beberapa kali Andine berusaha melirik ke arah kanannya, demi melihat bagaimana raut wajah Andra di saat marah-marah. Perlahan-lahan tapi pasti ia mulai mengetahui bagaimana sikap sang suami yang sebenarnya, tapi di lain sisi ia juga tidak benar-benar mengerti. Apakah kemarahan lelaki itu adalah sifat bawaan yang memang sudah melekat di dalam dirinya, ataukah hanya serupa luapan emosi jiwa karena di sebelahnya saat ini ada sosok yang tidak begitu ia suka. Istrinya.

Andine menghela napas, membuang pandangan ke luar jendela mobil di mana tampak kendaraan lain yang begitu padat memenuhi jalan raya kota Jakarta. Keadaan tengah macet, hal inilah yang membuat Andra sejak tadi bergumam tak jelas, menyalahkan jalan dan orang-orang yang tak sabaran. Padahal, dia pun sama.

"Jalan kaki saja kalau nggak sabar, Mas. Bukannya sudah menjadi hal biasa kalau Jakarta itu sering macet?" Andine bicara lirih, tapi tetap saja pandangannya mengarah pada jalanan di sebelah kiri.

Andra yang mendengar itu lantas melirik istrinya, semakin panas saja kepala pria itu saat mendengarnya. Ia tak terima ketika Andine mengomentari sikapnya.

"Berisik! Kamu aja yang jalan kaki sana!" jawab Andra ketus.

Andine membulatkan mata, lagi-lagi ia harus terbiasa dengan mulut pedas suaminya.

"Oh, gitu? Nggak apa-apa sih, biar aku keluar sekarang terus pulang ke rumah orang tuaku." Andine menoleh, ia menatap sang suami dengan ekspresi penuh kesungguhan. Menantang.

"Ya silakan, biar hadiah rumah dari papa bakal sepenuhnya milik aku. Kalau kamu nggak mau tinggal di sana ya nggak apa-apa. Aku nggak rugi!" Andra membalas dengan senyum miring, mengejek.

Andine mengepalkan tangan, ingin sekali ia layangkan pukulan ke wajah menyebalkan Andra. Namun, ia juga tak mau melakukan itu, bagaimanapun juga semua ini masih permulaan, belum ada apa-apanya. Andine yakin, tantangan lebih besar sudah menunggu di depan sana, anggap saja menikah dengan Andra adalah ujian. Apabila Andine mampu melewati semua kesulitan itu, maka ia akan jadi pemenangnya, sekaligus menjadi pemenang di hati suaminya.

Setelah laju kendaraan sudah lancar, pasangan yang baru menikah kemarin itu akhirnya sudah tiba di kediaman baru mereka. Sebuah rumah berhalaman luas dan berumput hijau segar. Berpagar besi yang tinggi dan dikelilingi tembok sebagai pengamanan. Rumah itu berdiri dengan kokoh, bangunan dua lantai tersebut berwarna krem dengan desain modern ala perumahan zaman sekarang.

Setelah sampai, Andra dan Andine langsung melangkah masuk sambil membawa koper milik masing-masing.

Hawa sejuk dan nyaman langsung terasa saat Andine menginjak lantai marmer yang mengilat itu, ia mengedarkan pandangan untuk mengamati setiap sudut isi dari bangunan tersebut. Begitu memukau, memang cocok bagi pengantin baru yang akan tinggal di sana. Selera papa mertuanya memang bagus.

"Kamar kamu ada di ujung," ujar Andra tiba-tiba sambil menunjuk sebuah kamar di lantai dua, yang kebetulan memang berada di sudut dan sepertinya memang dikhususkan untuk kamar tamu.

"Dan kamar aku ada di sana," sambung Andra lagi seraya beralih pada sebuah kamar yang lain.

Andine mengamati, kemudian bertanya, "Kita beda kamar, Mas?" Gadis itu terperangah tak percaya.

"Ya. Kenapa kamu masih tanya?"

Mendengar jawaban sang suami, Andine hanya bisa tersenyum getir. Ya, untuk apa dia berharap bahwa kelak mereka akan tidur dalam satu kamar yang sama? Mustahil, Andra bebas melakukan apa pun karena memang ia tak pernah menginginkan pernikahan ini terjadi.

"Oke." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Andine, sejurus kemudian ia bergegas naik dan menuju kamar yang tadi ditunjuk suaminya.

Andine mengempaskan diri di atas ranjang, merebahkan tubuh dengan pandangan menatap langit-langit. Hampa.

Ini bukan kamar utama, luasnya juga pasti tidak sama dengan yang ditempati Andra. Namun, Andine tak bisa berbuat apa-apa, ia juga tak bisa membantah.

"Ini baru permulaan," gumam gadis itu kemudian, antara yakin dan tidak yakin bahwa kelak ia mampu meluluhkan kerasnya hati sang suami.

"Andine!" Gadis itu mengerjap kala mendengar suara Andra di luar kamarnya, ia bergegas bangkit dan menuju pintu.

"Ya, Mas?"

Pria berwajah datar itu menghela napas pendek, "Ada yang mau aku omongin," pungkasnya. "Ikut ke bawah," ajaknya sambil memberi kode lewat gerakan dagu. Pria itu segera melangkah mendahului, kemudian Andine dengan raut wajah bingung akhirnya mengikuti.

"Aku mau menerapkan beberapa aturan," ujar Andra dengan suara tenang, dan penuh keseriusan. Pria itu tengah duduk bersebrangan dengan Andine, di sofa yang ada di ruang keluarga.

Meski gusar, bingung, dan gelisah, Andine tetap berusaha tegar menunggu kalimat apa yang selanjutnya akan dilontarkan oleh suaminya.

"Kamu tahu sendiri aku tidak menginginkan pernikahan ini, maka dari itu … jangan berharap kalau kehidupan rumah tangga kita akan sama dengan pasangan lainnya." Suara pria itu terdengar lembut, tapi bagaikan jarum yang menusuk tepat ke jantung Andine. Sakit.

Tangan Andine mengepal kuat, demi meredam sesak dalam dadanya.

Andra menghela napas, sambil berpangku tangan ia menatap wajah istrinya yang datar tanpa ekspresi, Andra tahu gadis itu sedang tersakiti, tapi ia tak peduli.

"Kita memang tinggal dalam satu rumah, tapi kita punya kehidupan masing-masing. Aku dengan urusanku, dan kamu dengan urusanmu. Aku tidak akan menganggumu, begitu pun sebaliknya kamu jangan mengangguku. Kita hidup sendiri-sendiri. Oke?" Andra menaikkan sebelah alisnya dengan sorot mata tertuju ke arah Andine.

Hening sejenak, Andine tengah sibuk bergulat dengan isi kepalanya sendiri. Logika dan hati tengah berseteru, apakah ia harus pergi meninggalkan rumah bagai penjara ini, ataukah bertahan demi nama cinta dan kasih. Andine dilanda kebimbangan yang begitu besar, tapi karena merasa ditantang ia pun memilih memperjuangkan.

"Oke!" Dengan lantang gadis itu menjawab, ia bahkan membalas tatapan suaminya dengan kesungguhan.

Andra tersenyum kecut, ia merasa salut dengan kegigihan wanita di hadapannya itu. Tak pernah dibayangkan bahwa sosok wanita yang sudah menjadi istrinya ini, ternyata secara terang-terangan menunjukkan kesanggupannya.

Kedua anak manusia itu saling bertatapan dalam hening, seolah saling menunjukkan bahwa mereka siap bersaing. Andra dengan kebenciannya akan pernikahan ini, dan Andine dengan kegigihannya untuk meluluhkan hati sang suami.

Dalam kebisuan, seolah ada bisikan yang mengatakan, 'permainan telah dimulai!'

Bersambung.