webnovel

Bab 19. Rahasia Dari Masa Lalu

Talishia menatap sebuah foto kecil yang selama ini terselip dalam sebuah buku harian di lacinya. Buku yang telah sangat lama tidak pernah ia buka, sejak ia memutuskan ikut dalam rencana ayahnya, Talishia tak pernah lagi membuka buku itu.

"Haah, maafkan aku Zelene," gumamnya, wanita berparas ayu itu merebahkan kepalanya ke sandaran kursi dan memejamkan mata. "Maaf karena aku mengkhianati persahabatan kita."

Sejak melihat Vipera, rasa bersalah yang selama dua puluh tahun lebih ia simpan kembali menguak ke permukaan. Membentuk sebuah awan tebal dan kelam di permukaan perasaan dan nuraninya. Menimbulkan rasa berat dari rasa bersalah yang terus menggayutinya.

Talishia dan Zelene, ibunda Vipera adalah sahabat. Mereka sangat dekat sekalipun ayah mereka adalah musuh bebuyutan. Ron dan Santana, ayah Zelene bergerak dalam bidang yang sama dan saling bersaing. Sekalipun bagi Santana persaingan itu tidak membuatnya memusuhi Ron, tapi Ron berpikir lain. Baginya persaingan mereka adalah bibit dari permusuhan yang berlanjut hingga usia tua.

Ron yang sering kali kalah dari Santana secara perlahan memupuk kebencian dalam hatinya pada pria itu. Pun ketika kedua putri mereka bersahabat, sekalipun Santana sangat menyayangi Talishia seperti ia menyayangi Zelene. Ron tidak pernah melihat itu sebagai sebuah persaudaraan. Dia bahkan meminta Talishia untuk memata-matai keluarga Santana melalui Zelene. Membiarkannya menginap di rumah mereka agar bisa mencari tahu apapun yang bisa mereka manfaatkan untuk menjatuhkan Santana.

Talishia menggenggam erat foto itu sebelum memasukkannya kembali ke dalam buku dan laci. Menyimpannya kembali di bagian paling jauh dalam lacinya. Berpikir keras untuk mencari jalan agar hubungan Vipera dan Altair tidak berkembang. Ia tahu saat ini mereka tidak terikat hubungan asmara, tapi melihat gelagat Altair yang selalu melindunginya Talishia jadi sedikit cemas.

Ia harus menemukan seseorang yang bisa menarik perhatian Altair, seseorang yang jauh lebih elegan dan cerdas ketimbang Anjani. Seseorang secara kualitas maupun kecantikan harus melebih Vipera. 'Atau haruskah aku menemui Alisha? Mungkin mereka ingin menjadikan Vipera sebagai menantu?'

Pikiran itu sempat membuat Talishia tersenyum. Ia harus menggiring mereka agar mendesak Vipera bersama Dan. Tapi ia tetap harus mencari gadis lain untuk Altair sebagai cadangan sekiranya rencananya mempersatukan Vipera dengan Dan gagal. Di sisi lain, ia harus menjaga rahasia keluarga mereka agar tidak diketahui Altair. Ia tidak bisa membayangkan jika Altair tahu bahwa ibu dan kakeknya turut andil dalam menghancurkan keluarga Vipera.

Sementara itu, Afon mengunci mulutnya sepanjang perjalanan pulang. Anjani yang mengomel pun terpaksa diam ketika ia mendelik padanya. Sesampainya di rumah, ketiganya turun dengan pikiran masing-masing. Anjani masuk ke kamar dengan gestur marah besar, Felicia mengikutinya.

"Aku ingin istirahat Ma," sahut Anjani ketika Felicia menahan daun pintu kamarnya. Sang ibu berdiri disana dan menatapnya tajam.

"Jadi selama ini sebenarnya apa saja yang sudah kau lakukan di luar sana? Sampai Altair memiliki begitu banyak foto kau dan laki-laki lain yang semuanya berbeda?" kecam Felicia.

Anjani merengut menatap ibunya. "Itu hanya film Ma!"

"Anjani, jangan bohongi Mama. Itu bukan film, Mama tahu. Altair benar, satu-satunya filmmu hanyalah film yang diproduksi terpaksa oleh ayahmu karena kasihan padamu," sembur Felicia kesal. "Kau benar-benar merelakan tubuhmu pada mereka, itu demi apa? Apa kau kekurangan uang?" bentaknya kemudian.

Anjani bungkam, ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia melakukan itu demi memuaskan diri. Bahwa ia yang mengejar para pria itu demi mendapatkan sensasi.

"Ha, tentu saja kau tidak bisa menjawabnya!" kesal Felicia. "Karena kau melakukannya untuk memuaskan dirimu. Kau benar-benar memalukan!"

"Aku memalukan? Mama ngga salah?" Anjani menatap ibunya kasar. "Mama pikir Anjani ngga tahu apa yang selama ini Mama lakukan?"

"Apa maksudmu?" dada Felicia berdentum mendengar kata-kata anaknya.

"Mama pikir Anjani ngga tahu kalau Mama juga melakukan hal yang sama? Bahkan Mama pernah melakukannya dengan Dokter Felix di rumah ini!"

Felicia ternganga, memaki dalam hati. 'Dia melihatnya?' batin Felicia seketika gelisah. Dia harus menutup mulut Anjani agar tidak membuka rahasia itu pada Afon. Dia masih membutuhkan pria itu, belum waktunya ia menyingkirkan Afon dari kehidupannya.

Dengan kesal, Felicia meninggalkan kamar Anjani yang mendengus ketika sang ibu pergi. Gadis itu melempar tubuhnya ke tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya dengan gelisah.

"Rencananya gagal semua," kesalnya seraya berguling. Berpikir keras untuk mencari cara lain agar bisa membuat Vipera terlihat buruk di mata semua orang. "Coba Va tidak sekarat," sesalnya.

Va yang masih tidak sadarkan diri menjadi masalah sendiri bagi Anjani. Biasanya jika ia kehilangan ide untuk merundung Vipera, Va akan memberinya solusi atau justru melakukan sesuatu untuknya dengan mengganggu Vipera. Tapi sekarang ia benar-benar sendirian dan bingung harus melakukan apa.

"Apa yang dimiliki gadis itu sehingga semua orang bahkan Va tertarik padanya? Va padahal punya standar tinggi untuk perempuan yang akan dikencaninya. Tapi dia selalu tertarik pada ular itu." Bagi Anjani ketertarikan Va pada Vipera adalah sesuatu yang mengherankan.

"Apa yang bisa kulakukan sekarang? Haruskah aku meminta bantuan orang untuk menculiknya?"

Di tempat berbeda

"Terima kasih untuk bantuanmu malam ini," ujar Altair ketika ia berpisah dengan Dan tak jauh dari rumah Ron. Ia mengucapkan terima kasih dengan sangat tulus, karena sekalipun berhasil membuka semua aib Anjani tapi Dan sangat membantunya malam ini. Setidaknya dengan penjelasan panjang dari Dan, kakek dan ibunya tak lagi memaksa ia untuk melanjutkan pertunangannya dengan Anjani. Bagi Altair itu sebuah bantuan yang sangat besar.

"Saya hanya melakukan apa yang harusnya seorang kakak lakukan ketika adiknya dihina dan direndahkan," sahut Dan tersenyum.

Sesaat Altair merasa iri pada Vipera. Sekalipun gadis itu tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua kandungnya tapi ia dikelilingi oleh orang-orang yang sangat tulus padanya. Orang-orang yang akan melindungi dan menariknya untuk bangkit ketika ia dalam masalah. Gadis itu sangat beruntung, begitu yang ada dalam pikiran Altair untuk sesaat.

Keduanya berpisah, Dan melanjutkan perjalanannya dengan taksi seperti biasa. Terkejut ketika memasuki rumah diberondong pertanyaan ibunya.

"Mama lihat beritanya, apa yang mereka pikirkan sampai bisa membuat fitnah sekeji itu?" semburnya begitu salah satu kaki Dan menginjak lantai ruang depan.

"Ma, biarkan anakmu masuk dulu," ujar Theo dari dalam. "Biarkan dia makan dulu."

"Iya, iya…," Alisha dengan tak sabar menarik Dan masuk dan menggiringnya ke meja makan diikuti Theo sang ayah.

"Dan udah makan, Ma," sahut Dan ketika sang ibu mengisi piringnya dengan jumlah yang cukup banyak. Alisha menatapnya sebentar.

"Tadi makan di rumah kakek Altair," sahut Dan kemudian.

"Ada apa kau kesana?" tanya Theo, karena sekalipun Dan sudah lama bekerja dengan Altair ia jarang mau diajak kesana.

"Nanti saja, itu ga terlalu penting sekarang," sela Alisha. "Sekarang jawab Mama apa yang terjadi? Mengapa mereka membuat berita sekeji itu? Lalu gimana keadaan Vipe sekarang?"

"Maa, pertanyaannya diborong semua. Bisa satu-satu ngga?" keluh Dan.

"Kau kan bisa jawab satu-satu," kesal Alisha.

"Apa yang terjadi…, Lev memutuskan untuk meninggalkan Anjani bersamaan dengan Altair mengakhiri pertunangan dia dan Anjani. Jadi Mama bisa bayanginlah ngamuknya dia kaya apa," sahut Dan.

"Bagus, akhirnya Lev sadar kalau gadis itu ga baik buat dia," sungut Alisha. "Doa Mama akhirnya terjawab."

Dan menahan tawa mendengar omelan ibunya, ia memang tidak pernah mengatakan alasan Lev menjalin hubungan dengan Anjani.

"Sesekali ajak Lev kesini, dia pasti sangat terluka," sambung Alisha. Kali ini Dan tak bisa menahan tawanya lagi.

"Dia baik-baik aja, Ma. Bahagia malah," kekehnya. Alisha menatap putranya heran, tapi karena masih ada dua pertanyaannya yang belum terjawab, wanita itu menahan pertanyaannya.

"Yang kedua, mengapa mereka membuat rumor sekeji itu. Entahlah, mungkin mereka berpikir dengan begitu mereka bisa menjatuhkan Vipe. Karena sepertinya Altair sempat menyinggung hubungan Anjani dengan banyak pria, mereka lalu mengarang cerita tidak masuk akal itu sebagai alasan mengapa ia kehilangan kesuciannya," Dan mengakhiri kalimatnya dengan tawa kesal.

"Apa? Otak mereka terbuat dari apa sih?" sergah Alisha.

"Yang pasti masih ada jaringannya Ma, buktinya masih bisa mikir tuh," sahut Dan cuek. Alisha melempar putranya dengan sendok, beruntung Dan masih bisa menangkapnya sebelum sendok itu mendarat telak di dahinya yang mulus. "Mama mau jidat putra satu-satunya Mama jenong?" protes Dan seraya meletakkan sendok malang itu kembali ke tempatnya. Misuh-misuh untuk beberapa saat sampai Alisha menjejalkan sepotong kecil apel ke mulutnya.

"Kamu belum jawab pertanyaan Mama yang ketiga," semburnya.

"Yang ketiga, Vipe oke. Dia baik-baik aja."

"Sungguh? Dia tidak terluka karena berita sampah itu kan?"

"Tidak, Altair dan Lev sudah membungkam media yang memuat berita itu. Dan mereka sudah menurunkan berita klarifikasi bahwa itu hanya sebuah kesalahan karena telah menurunkan berita yang tidak ada bukti konkretnya."

"Altair?" heran Theo. Ia tahu jika Vipera bekerja di perusahaan Altair, tapi setahu Theo pria itu tak pernah peduli pada perempuan. Anjani saja seingat Theo setengah mati berusaha membuat ia peduli padanya, apalagi hanya seorang karyawan?

"Yah, disinilah poin terberatnya," sahut Dan setengah mengeluh. "Karena sepertinya Altair tertarik pada Vipe. Entah karena dia memang menghargai Vipe sebagai karyawannya, tapi rasanya itu tidak mungkin. Karena selama ini ia memperlakukan seluruh pekerjanya seperti robot. Kepala seluruh karyawan di mata Altair selama ini berwujud uang, bukan terdiri dari mata hidung dan mulut."

"Tapi yah, sepertinya memang begitu. Dia tertarik pada Vipe sebagai seorang perempuan. Dia bahkan memaksa untuk ikut menjenguk Vipe, menawarkan bantuan, menolak perencanaan hanya karena bukan Vipe yang presentasi dan bahkan menggendongnya dari lift menuju meja karena kaki Vipe terkilir."

Theo menatap anaknya tak percaya, seorang Altair yang menganggap perempuan hanya sebuah dinding yang tak perlu dihiraukan bisa bersikap seperti itu? Theo mengakui jika Vipe adalah gadis yang sangat menarik. Ia bahkan pernah curiga jika putranya tertarik pada gadis itu. Apalagi dengan kedekatan mereka sejak kecil.

"Lalu mengapa kalau memang Altair tertarik padanya?" heran Alisha. "Dia cantik dan pintar."

"Ma, tentu saja itu akan membuat Vipe menjadi sasaran empuk bagi Afon dan keluarganya untuk membuat Vipe lebih menderita lagi. Sekarang saja mereka sudah menuduh Vipe sebagai penyebab Lev memutuskan Anjani dan juga menyebarkan berita Vipe merayu Altair. Nyonya Talisha bahkan sampai mencaritahu tentang Vipe ke kantor dan menemani Anjani ketika gadis itu menyerang Vipe di tempat kerja."

"Talisha sampai melakukan itu?" heran Alisha.

"Tentu saja dia harus melakukan itu," sahut Theo. "Vipera adalah keturunan Santana terakhir. Satu-satunya keluarga Santana yang tersisa dan Talisha pasti tidak ingin putranya menjalin hubungan dengan Vipe. Karena bagaimanapun keluarga Ron dan Santana adalah musuh sejak lama."

Alisha menghela napas panjang, ia tahu permusuhan jangka panjang itu. "Vipe sendiri gimana?" tanyanya kemudian.

Dan menggeleng, "sepertinya dia ga begitu tertarik pada Al. Perlakuan buruk keluarganya membuat Vipe tidak memiliki kepercayaan diri, Mama tahu itu. Lagipula, sepertinya dia tak terlalu tertarik pada asmara."

"Ya sih, Mama mengerti," sahut Alisha pelan. "Ah, Mama jadi ingin ketemu Vipe."

Theo mengerling istrinya, "Alasan, bilang aja kangen sama anak perempuanmu itu," ujarnya setengah bersungut-sungut.

"Padahal kau juga kangen kan?" balas Alisha. "Kita belum mengunjunginya sejak kejadian itu," sambungnya dengan nada menyesal, Dan menatap kedua orang tuanya dengan tatapan hangat.

"Jadi, apa yang membuatmu datang ke rumah utama Ron?" Theo akhirnya tak bisa menahan untuk tidak bertanya. Ia sudah menahan pertanyaan itu sejak tadi.

"Kakek Ron dan Nyonya Talishia mengundang Afon dan keluarganya untuk makan malam. Altair berpikir dalam makan malam keluarga itu pasti mereka akan membicarakan rumor yang sejak sore sudah mereka tebar di media. Karena itu ia memaksaku ikut kesana, Pa. Tapi yah, pada dasarnya tidak berguna juga karena Altair sudah punya persiapan sendiri."

"Kau tidak mengatakan bahwa apa yang mereka umbar di media hanyalah fitnah?" tanya Alisha, ia sudah gemas sejak sore gegara berita itu.

"Secara tidak langsung Altair sudah membantahnya," sahut Dan. Sekilas ia menceritakan pembicaraan mereka di rumah Ron, membuat senyum Alisha mengembang seperti adonan donat.

"Baguslah," ujarnya lega. "Tapi Mama harap mereka tidak akan mengusik Vipe. Karena bagaimanapun dia adalah keturunan Santana."

"Ron tidak akan melakukan itu kecuali Vipe memang memiliki hubungan dengan Altair," sahut Theo. "Selama mereka tidak memiliki hubungan asmara, Ron tidak akan melakukan apapun pada Vipe. Karena toh dia tidak tahu jika Grup Santana telah bangkit dalam nama yang berbeda."

"Tapi apakah Abrisam tahu jika Vipe masih hidup?" tanya Alisha. Selama ini mereka tidak pernah memberitahu pria itu bahwa putri Zelene masih hidup.

"Jikapun dia tahu, Abrisam tidak memiliki hak apapun pada Vipe," sahut Theo. "Dia adalah putri kandung Afon sekalipun pria itu tidak mengakuinya."

"Pa, sebenarnya apakah ibu Vipe masih hidup?" tanya Dan, ia telah menyimpan pertanyaan itu sejak lama.

"Tidak ada yang tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Bahkan tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya sampai ia meninggalkan Vipe sendirian di rumah sakit. Mungkin terjadi sesuatu yang buruk padanya, bisa saja itu ulah Felicia atau Afon sendiri untuk menutupi perbuatannya karena telah menghancurkan Santana. Karena Zelene yang kami kenal tidak mungkin meninggalkan putrinya begitu saja," jawab Theo.

"Kalau dia masih hidup, Abrisam pasti sudah menemukannya," sambung Alisha.

"Sebenarnya apa hubungan mereka? Kalian selalu mengaitkan ibu Vipe dengan Abrisam?"

"Abrisam adalah kekasih Zelene sejak masih remaja. Tapi karena ayahnya memiliki kerjasama dengan keluarga Afon, mereka lalu menjodohkan anak-anak mereka. Saat itu Afon juga sudah memiliki Felicia sebagai kekasih," jelas Alisha. "Mereka menikah hanya untuk memuaskan keluarga, tapi Afon memiliki tujuan lain. Felicia yang marah karena Afon menikahi Zelene menghasutnya untuk menyingkirkan Zelene agar mereka bisa bersama. Satu-satunya cara menyingkirkan Zelene hanyalah dengan kehancuran keluarganya. Dan itulah yang terjadi. Di hari ia melahirkan Vipe, seluruh keluarganya dihabisi dalam kecelakaan yang disengaja dan Afon yang sejak awal secara perlahan telah memindahkan semua aset Santana, membiarkan perusahaan itu diambang kebangkrutan. Yang dia tidak tahu, Zelene memiliki perusahaan sendiri yang kemudian ia wariskan pada Vipe dan dikelola ayahmu sampai sekarang."

"Kalian adalah sahabat sejak remaja, apakah di hari dia melahirkan Vipe kalian tidak bersamanya?"

"Sayangnya tidak, saat itu terjadi masalah pada perusahaan dan Mama berusaha mengatasinya, sementara ayahmu mengurus kecelakaan yang menimpa keluarga Santana. Berpacu dengan waktu agar tidak terjadi kericuhan diantara karyawan. Ketika kami datang ke rumah sakit, Zelene sudah tidak ada. Hanya ada Vipe yang kemudian dibawa Felicia ke rumah Afon."

"Felicia?" heran Dan.

"Haa, kau berpikir mungkin dia yang melakukan sesuatu pada Zelene?" tebak Theo, Dan mengangguk cepat.

"Yah, mungkin saja dia melakukan sesuatu pada Zelene. Tapi apapun itu, Afon pasti menyetujuinya. Yang mengherankan mengapa ia membawa Vipe, jika saja ia meninggalkan Vipe hari itu di rumah sakit kami pasti akan membawanya ke sini dan merawatnya dengan baik," sesal Alisha.

"Dia membawa Vipe jelas untuk membalas dendam," sahut Dan.

"Sepertinya memang begitu, dia menjadikan Vipe sebagai alat untuk melepaskan seluruh kemarahannya pada Zelene," sambung Alisha. "Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk membantunya sekarang?" ia bertanya pada suaminya.

Theo menghela napas panjang. "Dan selalu ada di dekatnya, Lev juga tidak akan membiarkan dia menghadapi itu semua sendiri. Biarkan anak-anak yang menanganinya, kita hanya perlu mendukung mereka. Bukankah begitu Dan?" tanya Theo.

Dan mengangguk. "Saat ini kami masih bisa mengatasinya, Mama dan Papa ga perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja," sahut Dan. "Tapi, sepertinya Nyonya Talishia tahu sesuatu. Dia seperti menyimpan sesuatu terkait Vipe."

"Dia adalah sahabat Zelene yang paling dekat," sahut Alisha. "Jika kami berteman lebih karena pekerjaan, mereka jauh lebih dekat dari itu," sambungnya.

"Oh iya, Mama mengenal ibunya Ruly? Katanya dia dulu asisten ibunda Vipe yang kemudian menjadi asisten Nyonya Felicia?"

"Asisten Zelene?" sejenak Alisha terlihat berpikir keras untuk mencoba mengingat-ingat. "Mungkinkah itu Rose?"

"Dan ga tahu namanya siapa," sahut Dan. "Tapi ya dia bilang ibunya dulu asisten ibunda Vipe."

"Ya, itu pasti Rose. Dia juga menyimpan banyak kenangan tentang Zelene. Kalau memang itu dia, kau bisa membawa Vipe bertemu dengan Rose mungkin itu bisa mengobati sedikit kerinduannya pada Zelene," sahut Alisha. "Mama sendiri juga kangen bertemu Rose. Sejak Zelene menghilang, kami tidak lagi pernah bertemu."

"Dan akan meminta bantuan Ruly untuk mempertemukan Vipe dengan ibunya nanti," sahut Dan.

*Bersambung*