webnovel

Bab 18. Rencana Yang Sama Sekali Tak Berarti

Altair menatap pesan dan juga link berita yang dikirimkan oleh Afon serta Anjani. Mendesis pelan dan meletakkan ponselnya lalu keluar hendak menemui Vipera. Dalam hati ia bermaksud untuk menghibur gadis itu tapi saat Altair baru saja mendekat, teman-temannya sudah mengelilingi gadis itu. Dan Altair mendengar pembicaraan mereka dan semua penjelasan Ruly.

'Cara mereka benar-benar buruk dan kejam. Apa Afon tidak mengetahui sikap liar Anjani? Tiga tahun berstatus tunanganku, entah sudah berapa banyak pria yang menggaulinya, menjijikkan. Dan dia pikir aku tidak tahu? Sekarang justru melempar kesalahan pada orang lain. Syukurlah ada yang bisa menjadi saksi. Aku harus mencari teman-teman mereka yang lain dan membuka semuanya,' pikir Altair seraya kembali ke ruangannya.

Ia lalu memanggil Ruly dan dengan sedikit memaksa meminta pria itu menceritakan semua yang diketahuinya tentang Anjani dengan alasan tidak ingin kasus tersebut mempengaruhi citra perusahaan.

Altair meringis ketika ponselnya berdering. Ibunya, pasti ia sudah mendapatkan berita tentang Anjani dan Vipera. Benar-benar gurita, kesal Altair dalam hati. Ia meminta Ruly kembali ke mejanya dan menjawab panggilan sang ibu.

"Ada apa Ma?"

"Malam ini datanglah ke rumah utama. Kakekmu ingin bicara denganmu."

Dalam hati, Altair menduga malam ini pasti keluarganya akan mengundang keluarga Afon. Ia harus membuat persiapan untuk menghadapi mereka. Sendirian menghadapi mereka jelas tidak akan mudah.

Setelah mengakhiri panggilan dengan ibunya, ponsel Altair kembali berdering. Anjani. Tertawa kesal, Altair menolak panggilan itu.

'Haruskah aku mengundang Lev pada pertemuan malam ini?' pikir Altair. Sejatinya ia kesal jika harus berurusan dengan keponakan Abrisam itu karena bagaimanapun Lev adalah saingannya dalam merebut perhatian Vipera. Tapi, kali ini rasanya ia membutuhkan bantuan Lev yang jauh lebih mengenal Vipera. Ataukah ia cukup membawa Dan?

'Ah, Lev bilang mereka selalu mendapatkan kasih sayang dari orang tua Dan sejak kecil. Berarti orang tua Dan pasti sangat mengenal Vipe. Kakek pasti akan mendengarkan cerita dari salah satu dari sedikit manusia yang dihormatinya. Tapi aku belum tahu apa maksud dari pertemuan ini, cukup membuat persiapan saja. Sisanya akan kubereskan di belakang,' batin Altair.

Dalam hati ia bertekad, jika kakeknya memaksa untuk kembali melanjutkan pertunangan dengan Anjani satu-satunya cara hanya dengan mengacak-acak perusahaan milik sang kakek. Tidak ada jalan lain, kecuali membuat perusahaan itu dalam masalah.

Malamnya, Altair sengaja datang di menit-menit terakhir setelah dibaweli ibu dan kakeknya. Ia sengaja membawa Dan kerumah untuk pertemuan itu, mengesankan bahwa mereka masih ada pekerjaan setelah makan malam. Wajah Anjani berseri ketika pria itu memasuki ruang makan, dimana semua orang telah berkumpul. Ia bangkit dan menyambut Altair dengan senyum paling memikat yang ia miliki. Sedikit merengut ketika Altair menyingkirkan tangannya dengan kasar.

Altair memilih duduk di bagian ujung meja, jauh dari semua orang. Ketika Anjani bergerak untuk duduk di dekatnya, ia memanggil Dan yang tengah bicara dengan salah satu asisten kakeknya. "Duduklah," ujarnya ketika Dan mendekat. Menarik kursi di dekatnya dan meminta sang asisten duduk disana.

"Kenapa kau mengundang orang lain untuk makan malam keluarga?" protes Anjani.

"Dan bukan orang lain bagiku maupun keluarga ini," sahut Altair. "Bukankah begitu Kakek?" Altair memandang kakeknya yang terpaksa mengangguk.

"Putra Theo jelas tidak akan pernah menjadi orang lain bagi keluarga kami," sahut Ron setengah terpaksa. Sekalipun ia memang sangat menghargai Theo ayah Dan, tapi saat ia ingin membicarakan masalah pertunangan Altair sesungguhnya Ron berharap Dan tidak ada disini. Tapi tatapan Altair yang mengintimidasi membuatnya memilih mengalah.

Ron tahu, jika ia memaksakan kehendaknya malam ini, maka perusahaan yang telah ia bangun sejak masih muda akan menjadi taruhannya. Satu-satunya lawan Altair saat ini hanyalah Abrisam dan mungkin Lev. Ron menatap cucu kesayangannya setengah mengeluh dan sisanya menyesal. Menyesal karena telah membesarkannya dengan disiplin dan sikap yang keras, membentuk pribadinya yang sekarang.

Dan mengerling Altair, mengutuk dalam hati karena melibatkan dirinya dalam masalah pribadi. Tapi, ia senang ada di dalam lingkaran meja ini karena dengan begitu ia bisa mencari tahu rencana mereka atas Vipera. Ia yakin, apapun yang akan mereka bicarakan malam ini semua itu berkaitan dengan rumor yang telah mereka sebar sejak sore. Bahwa Vipera menjebak Anjani.

Mata Dan mengerling Anjani yang entah mengapa juga tengah menatapnya. Gadis itu tersenyum padanya tapi Dan berpaling, mual. Anjani mendecih dalam hati, sering mondar mandir ke kantor Altair gadis itu sudah lama memperhatikan Dan. Pria yang wajah dan tubuhnya hampir satu level dengan Altair maupun Lev. Ia juga tahu bahwa Dan berasal dari keluarga kaya, bagi Anjani saat ini jika dia tidak bisa mendapatkan Altair atau Lev maka Dan adalah second choice yang ia miliki. Yang ia tidak ketahui adalah bahwa Dan maupun keluarganya adalah pemuja nomor satu Vipera.

Altair menatap isi piringnya dengan perut bergolak, entah mengapa ibunya tak pernah ingat makanan kesukaannya. Talishia menatap putranya dengan dahi berkerut. "Kau tidak menyukainya?"

Dan melirik Altair yang menatap piringnya dengan ekspresi mual. "Anda tidak tahu kalau Altair alergi abalone?" tanyanya pelan.

Mata Talishia membola, wajahnya sedikit memerah karena pertanyaan Dan. Selama ini seluruh menu di rumah utama ia serahkan pada koki mereka. Altair juga sangat jarang makan di rumah, jadi Talishia benar-benar tidak tahu makanan yang disukai anaknya karena yang ia perhatikan Altair tak pernah memilih makanan sejak kecil. Ia akan memakan apapun yang dihidangkan oleh koki mereka tanpa banyak bicara.

Altair melirik Dan, menggeser piringnya yang terisi abalone dan mengambil alih piring asistennya. "Kau saja yang makan," ujarnya dengan seringai yang membuat Dan menyesal telah membelanya.

"Maaf, Mama tidak tahu kalau kau alergi abalone," sahut Talishia dengan wajah menyesal. "Mama meminta koki memasaknya karena Anjani sangat menyukai abalone," sambungnya. Matanya bertemu mata Anjani yang tersenyum manja.

'Mengingat makanan kesukaan gadis itu tapi bahkan tidak tahu anakmu alergi,' keluh Altair dalam hati. 'Ibuku luar biasa.'

"Al, ibumu tidak sengaja melakukannya," sahut Ron ketika melihat raut wajah cucunya. Ia sendiri juga tidak pernah tahu makanan kesukaan Altair apalagi tentang alerginya.

"Tidak masalah, Kek," sahut Altair tanpa melihat kakeknya. "Katakan saja apa yang membuat kalian memaksaku datang malam ini. Waktu kami tidak banyak, masih ada pertemuan setelah ini," sambungnya seraya mengerling Dan.

"Kami masih memiliki dua pertemuan setelah ini," sahut Dan.

"Anjani ingin memberitahu sesuatu padamu," sahut Ron. "Dan Kakek rasa kau juga sudah tahu. Media sudah memberitakannya sejak sore."

Altair meletakkan sendoknya, menatap sang kakek dengan tatapan tajam. "Maksud Kakek bahwa dia dijebak?"

"Ya, kau harus tahu bahwa itu sebuah peristiwa yang mengerikan baginya."

Altair mendorong piringnya menjauh. "Mengerikan? Tapi dia masih bisa melanjutkan hidup dengan bahagia setelahnya. Apakah mungkin kejadian mengerikan itu tidak menyisakan trauma sama sekali? Jika berita itu benar, hari itu bukankah ada lebih dari tiga orang? Seorang remaja yang mengalami kejadian mengerikan seperti itu mungkin tidak akan sanggup untuk tersenyum lagi setelahnya."

Altair melirik Anjani yang terperangah menatapnya. "Tapi bukankah dia bisa hidup dengan penuh kegembiraan selama ini? Tidak ada sedikitpun sisa trauma dalam dirinya. Apalagi mengingat itu baru ia ungkapkan sekarang, seharusnya dia memendam segalanya sendiri dan itu sangat menyakitkan Kakek."

"Kau tidak tahu apa yang aku rasakan," ujar Anjani, memasang wajah menderita saat menatap Altair.

"Aku tahu persis apa yang kau rasakan Anjani. Karena ada seseorang yang aku kenal hidup dengan trauma seperti itu," sahut Altair. "Tapi kau berbeda, kau bahkan masih bisa berkencan dengan beberapa pria selama pertunangan kita, tidak hanya Lev. Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan selama ini?"

Altair melempar setumpuk foto pada kakeknya dan Anjani. "Apa kau ingin bilang itu juga jebakan?"

Ada banyak sekali foto dimana Anjani bersama beberapa pria yang berbeda, bermesraan di hotel, di tempat terbuka, atau di klub malam. "Jika kau benar-benar hidup dalam trauma karena kejadian masa lalumu, kau mungkin tidak akan sanggup berdekatan dengan pria manapun Anjani. Tapi kau justru mengumbar tubuhmu pada banyak laki-laki."

"Tapi itu bukan kejadian sebenarnya! Itu hanya demi film-filmku!" jerit Anjani.

Alis Altair naik beberapa senti dan ia menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum dingin dan kejam. "Film? Memangnya ada produser yang tertarik denganmu? Seingatku kau bahkan tidak pernah lolos audisi," sahut Altair kejam. "Oh, satu-satunya film yang pernah ada kau didalamnya bukankah itu film yang dikeluarkan oleh rumah produksi ayahmu? Film yang bahkan jumlah penontonnya bisa dihitung dengan jari."

Gigi Felicia dan Afon gemeretak mendengar hinaan Altair, sementara Anjani menatapnya dengan mata berlinang.

"Sekalipun aku selama ini diam, tapi aku tahu apa yang kau lakukan di perusahaanku maupun di luar Anjani. Seluruhnya telah terakumulasi dan itulah yang membuatku memutuskan pertunangan kita. Tapi seperti yang diharapkan, kau mengarahkan semua kesalahan pada saudari tirimu. Tadinya aku berharap kau bisa berubah dan aku akan bertahan. Tapi, semakin lama kau semakin tidak bisa ditolerir, kau bahkan merundung karyawanku. Memberi mereka pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan kantor. Bahkan sekalipun kau adalah istriku, kau tidak punya hak memperlakukan karyawanku semaumu," imbuh Altair.

Afon kehilangan kata-kata untuk menjawab Altair, begitupun Ron maupun Talishia. Mereka hanya bisa diam menekuni piring mereka masing-masing.

"Kuharap kalian bisa menghentikan seluruh rumor yang melibatkan Vipera sebelum aku melakukan sesuatu. Dia adalah karyawanku, perencana terbaik yang aku miliki dan aku tahu dia tidak melakukan itu. Kalau kalian masih bersikeras melanjutkannya, maaf Tuan Afon aku juga tidak akan tinggal diam. Kurasa Anda masih ingin perusahaan Anda memberikan keuntungan bukan?"

Altair menatap Afon, matanya yang setajam mata elang terlihat penuh ancaman. "Apa kau begitu percaya pada anak itu? Dia tumbuh sendirian dan tidak ada yang tahu betapa liarnya dia," sahut Afon.

Dan meletakkan sendok dan mendorong piringnya menjauh. Ia sudah muak dengan semua sikap Afon dan keluarganya. "Saya tumbuh bersamanya sejak dia masih kecil, sejak dia kabur dari rumah kalian. Dia adalah kesayangan orang tua saya, kasih sayang yang tidak pernah bisa kalian berikan ia dapatkan di rumah saya," sahut Dan pelan. "Karena kalian, Vipe selalu hidup dalam tekanan, kalian lebih tahu itu ketimbang semua orang yang ada disini. Bagaimana kalian mengambil warisan yang ditinggalkan ibunya untuk menutupi kebangkrutan perusahaan, saya rasa Tuan Afon tidak akan melupakan itu."

Hening, Ron menatap Dan dalam-dalam. Ini berita baru baginya maupun Talishia. Vipera yang selama ini diabaikan oleh Afon ternyata tumbuh dalam kasih sayang Theo dan Alisha?

"Dia yang terus bersembunyi dari kalian, yang bahkan menatap mata kalian pun tidak akan sanggup. Bertemu Nyonya Felicia pun sampai sekarang dia masih gemetar ketakutan, apa orang seperti itu bisa menjebak seseorang? Tapi bahkan jika dia pernah berpikir untuk membalas kalian, kuyakinkan bahwa akulah orang pertama yang akan melakukan pembalasan itu untuknya. Karena aku tahu persis penderitaan yang ia alami selama ini. Aku dan Lev yang menghapus air matanya selama ini."

"Dia bisa saja melakukan itu di belakangmu!" teriak Anjani kesal.

"Tidak ada waktu yang aku lewatkan tanpa dia selama ini Anjani. Semua yang ia lakukan selalu dalam pantauanku ataupun Lev. Kau tahu, karena kalian selalu merundungnya, menyiksa dan memperlakukan dia dengan sangat buruk kami bahkan memasang kamera pengawas diseluruh ruangan di rumahnya. Dia bahkan tidak berani keluar rumah jika tanpa salah satu dari kami, karena takut bertemu salah satu dari kalian. Jadi, kalau kau berpikir kami tidak tahu apa yang kau lakukan selama ini padanya, kau salah. Seluruh perbuatanmu yang selalu menyerangnya baik secara verbal maupun fisik, terekam dengan baik dalam komputer di rumahku dan Lev. Perlukah kami mengeluarkannya ke media?"

Anjani menatap Dan, air matanya mengalir dengan bibir bergetar marah. "Kenapa kalian selalu membelanya? Dia hanya gadis jalang yang tidak disukai siapapun!"

"Kurasa hanya kau dan orang tuamu yang tidak menyukai dia," sahut Dan, membuat Anjani makin melotot padanya. "Ah, saya lupa, Tuan Ron dan Nyonya Talishia juga satu golongan dengan kalian," senyumnya kemudian. Membuat Ron dan Talishia canggung dan merasa tidak nyaman.

"Apa bagusnya dia," gumam Anjani, berniat itu untuk dirinya sendiri tapi semua orang di ruangan itu mendengarnya.

Afon menatap Dan, dalam hati berniat untuk bicara secara pribadi dengannya nanti. Karena sepertinya selain Lev, Dan tahu banyak tentang Vipera. Apalagi katanya gadis itu tumbuh bersamanya sejak ia kabur dari rumah. Apakah itu berarti selama ini Vipera dalam perlindungan Theo? 'Pantas saja dia tumbuh dengan baik,' pikir Afon.

Di sisi lain, Talishia juga menatap Dan cukup lama. 'Putri Zelene tumbuh bersamanya sejak kecil, kenapa kami tidak pernah tahu? Padahal aku sering bertemu Alisha tapi dia tidak pernah mengatakan apapun. Mungkin aku harus bertemu dengannya sebelum mencari pengacara Abrisam.'

"Sepertinya gadis itu sangat berharga bagimu," ujar Talishia pelan, matanya menatap lurus pada Dan yang tersenyum.

"Dia sudah seperti adik bagi saya," sahut Dan.

"Adik?" suara Talishia terdengar sedikit mengejek. "Kau sungguh menganggapnya seperti itu? Kau bahkan melindunginya saat aku bertanya tentangnya waktu itu. Dia gadis yang sangat cantik bukan?"

Dan tersenyum, ia mengerti arah pertanyaan itu. "Saya tidak pernah melihatnya sebagai seorang perempuan," jawab Dan tegas. "Dia hanya saudara perempuan bagi saya, adik yang saya besarkan dan hanya ada perasaan ingin melindungi terhadapnya. Jika Anda berpikir bahwa saya mungkin jatuh cinta padanya, tidak. Saya tahu persis perasaan seperti apa yang saya rasakan padanya. Hanya perasaan seorang kakak pada adiknya."

Melalui sudut matanya, Altair memperhatikan ekspresi Dan selama ia bicara. Ekspresinya saat membicarakan Vipera berbeda dengan ekspresi Lev. Altair bisa melihat cinta yang sangat dalam di mata Lev terhadap Vipera. Tapi pada Dan, Altair hanya bisa melihat kasih sayang yang sangat erat. Sikap Dan pada gadis itu juga berbeda dengan sikap Lev yang kadang terlihat canggung pada Vipera.

Altair merapikan pakaiannya dan bangkit. "Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Kami harus pamit, karena masih ada pekerjaan," sahutnya.

Dan ikut bangkit dan sedikit membungkuk pada semua orang sebelum menyusul langkah Altair meninggalkan ruangan yang sekarang jadi sunyi. Ron menatap punggung cucunya yang menjauh, punggung yang sesekali tertutup karena Dan berjalan di belakangnya. Postur mereka dari belakang tak jauh berbeda. Ia lalu menatap Afon dan Felicia sebelum menatap Anjani.

"Tidak ada lagi yang bisa aku katakan pada kalian," sahutnya dengan suara dalam yang terdengar mengandung kemarahan. "Tadinya aku pikir gadis itu memang seburuk yang kalian bicarakan selama ini, tapi sepertinya kalian banyak berbohong padaku."

"Tuan Ron, Anda tahu kan dia siapa," sahut Afon. "Dia keturunan Santana," sambungnya.

Keluarga Santana adalah musuh Ron sejak dulu, keluarga yang banyak memberinya kesulitan dalam bisnis. Karena itulah ia bersedia membantu Afon saat pria itu ingin menjatuhkan Keluarga Santana. Dan Afon tahu jikapun Altair ternyata memiliki ketertarikan pada Vipera, Ron tidak akan pernah merestuinya. Atau semua kejahatan yang pernah mereka lakukan bersama akan terungkap.

Talishia menatap ayahnya, ia tahu apa yang telah Afon dan ayahnya lakukan untuk menjatuhkan Keluarga Santana. Perbuatan yang membuat Zelene, putri satu-satunya keluarga Santana menghilang setelah melahirkan seorang anak. Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi pada Zelene, banyak rumor mengatakan bahwa ia berubah menjadi ular karena dendamnya pada Afon. Tapi, Talishia tahu itu tidak pernah terjadi, mungkin Afon atau Felicia melakukan sesuatu pada Zelene?

Karena sejak Zelene menghilang, Abrisam yang merupakan kekasih pertama Zelene sebelum menikah dengan Afon juga pergi dari negara ini. Ia memilih mengendalikan seluruh perusahaannya dari negara lain. 'Apa mungkin dia yang membawa Zelene? Tapi mengapa tidak membawa anaknya?' 

Keluarga Afon memilih pulang setelah makan malam, Ron yang sudah kehilangan minat untuk bicara hanya mengangguk ketika mereka pamit. Talishia menatap ayahnya setelah mereka pergi.

"Apa yang Ayah pikirkan?" tanya Talishia ketika mereka duduk di ruang keluarga.

"Kita tidak bisa melanjutkan kerjasama dengan Afon," sahut Ron pelan. "Dia bisa membuat kehancuran jika kerjasama ini diteruskan. Lagipula kedua anaknya sama sekali tak berguna."

Talishia menghela nafas panjang mendengar kalimat itu. "Gadis itu adalah putri Zelene," sahutnya kemudian. "Dia sangat cantik, persis seperti ibunya."

Ron menatap putri semata wayangnya itu. "Apa yang kau pikirkan? Kau masih merasa bersalah?"

"Ayah, aku tak bisa menghapus rasa bersalah itu. Kita telah membuat banyak kesalahan pada Zelene, mungkin apa yang dialami oleh putrinya adalah karena perbuatan kita."

"Tentu saja karena Afon membencinya. Dia selalu berpikir gadis itu adalah putri Abrisam," sahut Ron.

"Benarkah dia putri Abrisam? Apakah karena itu Lev selalu ada di sisinya?"

Ron menggeleng. "Maksudmu, kekasih Anjani itu?"

"Ya, dia adalah keponakan Abrisam," jawab Talishia.

"Kau baru mengatakannya sekarang," heran Ron. "Apa kau sudah mengetahuinya selama ini?"

"Ya, aku baru tahu beberapa waktu belakangan," sahut Talishia. "Tapi Ayah, jika dia benar adalah putri Abrisam, tidakkah berbahaya bagi kita jika membiarkan dia tetap ada di perusahaan Al?"

Ron menghempas nafas, "kau tahu, aku tak punya daya terhadap putramu itu. Apalagi soal perusahaan, dia tidak akan membiarkanku ikut campur dalam perusahaannya. Bisa-bisa dia mengacau di perusahaan keluarga."

Dalam hati Talishia membenarkan pemikiran itu, tapi mereka tidak bisa membiarkan Vipera terus berada di sisi Altair. Terlepas apakah mereka menjalin kasih atau tidak, jika Abrisam tahu bahwa Altair adalah putranya maka segalanya akan menjadi buruk bagi mereka. 'Ataukah Abrisam sudah mengetahuinya dan sengaja menempatkan gadis itu di sisi Altair?' Talishia menjadi sangat gelisah sekarang.

"Ayah, kurasa kita harus bertemu pengacara Abrisam. Kita harus mencari tahu keberadaan Zelene dan memastikan hubungan gadis itu dengan Abrisam," ujarnya kemudian.

"Baiklah," sahut Ron. "Lakukanlah apa yang menurutmu terbaik. Tapi kita perlu menjauhkan gadis itu dari Altair. Bukankah kau bilang dia tertarik padanya? Melihat dia membelanya sampai seperti malam ini, kurasa Altair memang jatuh cinta padanya."

*Bersambung*