webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 59

"Kak, HP Rein." Rendi yang kala itu tengah mengikatkan dasinya, menoleh sekilas pada Rein yang berdiri di ambang pintu kamar miliknya.

"Gak ada, gue sita dulu seminggu."

Rein memutar bola matanya malas. Ia memilih untuk lebih dekat dengan Rendi yang saat itu berdiri di depan cermin panjang yang ada di sudut kamarnya.

"Kak, please, dong. Nanti kalo ada pemberitahuan penting dari kampus gimana?"

"Dari kampus atau dari Haris?" Seketika Rein salah tingkah dengan pertanyaan Rendi tersebut.

"Y-ya, dua-duanya, si."

"Gak ada, seminggu pokoknya. Buktiin kalo lo emang fokus sama kuliah lo. Udah udah, gue mau pergi kerja dulu."

"Kak, Kak Rendi! Argh!" Rein terus menatap ke arah kakaknya yang hendak pergi bekerja itu. Kesal, ia sangat kesal. Rasanya membosankan jika tidak ada ponsel di tangannya selama satu minggu ke depan.

Gadis itu berjalan ke arah dapur karena ia mengetahui jika sang ibu berada di sana saat ini.

"Mami ... masa HP Rein diambil kak Rendi," adunya yang terdengar begitu merengek. Nayra sedikit mengeringkan tangannya yang basah setelah ia selesai mencuci piring bekas sarapan pagi ini.

"Lho, kenapa?" Tanyanya pada si bungsu.

"Gak tau, ah. Mami tolongin Rein, ya? Nanti malem coba Mami minta kak Rendi buat ngembaliin HP Rein. Rein cum takut ada pengumuman penting dari kampus, Mi."

Nayra melipat kedua tangannya dan menggeleng pelan. "Gak mungkin tiba-tiba kak Rendi ngambil HP kamu tanpa ada sebab. Kamu bikin salah apa emang?"

Rein mendengus sebal. Rasanya ia sama sekali tidak memiliki sisi yang berpihak padanya. "Kak Rendi cuma gak sengaja denger Rein berantem sama Haris semalem. Udah, itu aja. Lagian kita udah baikan, kok, Mi."

"Yakin itu aja?"

"Y-ya terus apalagi?"

"Mami gak percaya sama kamu, ah. Meragukan gitu. Nanti biar Mami tanya sendiri sama kak Rendi."

"Ya udah deh terserah Mami."

Rein melengos pergi dengan perasaan kesalnya. Ia kembali ke kamarnya dan berniat untuk mandi karena ia berencana akan main ke rumah Barra hari ini.

• • •

"Katanya kak Rendi mau lamaran?"

Rein yang tengah meminum jus jeruk pun seketika tersedak setelah ia mendengar pertanyaan dari Barra.

"Ha? Gue gak tau," jawabnya.

Barra terkekeh. Ia menyimpan gitar miliknya di samping kursi dan mengambil minuman miliknya. "Gue denger pembicaraan nyokap lo sama sama nyokap gue kemarin sore."

"Ih, gue gak tau, tuh," jawab Rein kembali yang masih menyatakan bahwa dia belum mengetahui perihal tersebut.

"Cih, kesian bener gak dianggap keluarga," ejek Barra.

"Mata lo! Tapi gue udah tau calonnya, si. Tapi waktu itu nyokap bilang mereka belum punya tanggal yang pas. Mungkin sekarang udah punya kali, ya?"

Barra mengangkat bahunya acuh. "Terus tanggal yang cocok buat kita, kapan, Rein?"

Rein mengerling pada Barra yang ada di samping kanannya. "Gosah mulai, lo! Diem!"

Gadis itu kembali mengangkat gelas minumnya dan meneguk habis minumannya yang masih tersisa.

"HP gue juga diambil kak Rendi semalem gara-gara dia mergokin gue berantem sama Haris di telpon."

"Kalian berantem lagi? Aelah, fiks gak cocok kalo keseringan berantem. Lo emang cocoknya sama gue, Rein."

"Bacot, Barra, bacot!" Rein menjambak kasar rambut Barra. Ia hanya kesal ketika pemuda itu terus menggodanya.

"Argh! Sakit, Anjir!" Rein menjauhkan tangannya dari Barra setelah Barra memekik kesakitan.

"Arbi mana Arbi?" Rein mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan keberadaan kucing kesayangan mereka itu.

"Ya di kandangnya, lah."

"Ih, jangan dikurung mulu dong, Barra! Kesian Arbi."

Rein beranjak dari duduknya untuk mengambil kucing berbulu abu itu dari kandangnya. "Ini kok ringan gini?"

"Dia diet," jawab Barra asal.

"Bilang aja gak keurus sama lo!"

"Dih."

Rein kembali duduk di posisi awalnya. Ia terus menerus menunjukkan rasa gemasnya pada hewan berbulu itu, bahkan sesekali Rein memasukkan wajah Arbi ke dalam mulutnya saking gemasnya.

"Huhuhu gemes banget," pekiknya.

"Heem, sekalian lu makan aja tuh kucingnya!"

Rein tak lagi menanggapi Barra, ia lebih memilih untuk bermain dengan kucing yang dirasa berat badannya menurun itu.

"Oh iya, Rein. Kok gue kek udah jarang liat lo bareng sama Sakti?"

Rein memberikan perhatiannya terhadap Barra. Sebenarnya ini belum lama, hanya saja baru beberapa hari. Setelah waktu itu ia berbicara dengan pemuda itu di taman, ia belum bertemu lagi dengannya.

"Gak tau, tapi kita baik-baik aja, kok."

Ya, Rein menganggap masalahnya dengan Sakti telah usai karena pemuda itu pun telah meminta maaf padanya. Lagi pula tak sepenuhnya salah dia, Rein juga merasa dirinya bersalah karena telah memberikan perhatian yang lebih pada pemuda itu.

"Oh iya, Barr. Lo balik lagi sama temen-temen, ya? Gue kangen kita ngumpul bareng."

Barra menanggapinya dengan anggukan kecil. Ia juga menginginkan hal itu kembali setelah cukup lama ia merasa kehilangan hanya karena mempertahankan perasaan satu orang.

"Yeay! Bareng-bareng lagi. Gitu, dong, gue kan seneng jadinya."

• • •

Suasana di meja makan nampak sepi malam ini. Tidak ada satu pun yang berbicara, yang terdengar hanyalah bunyi yang bersumber dari peralatan makan.

Rein sedikit melirik ke arah Rendi yang duduk di sebelah kanannya. Pria dewasa itu tampak begitu khidmat menikmati makan malamnya.

"Kak,"

"Gak." Belum juga Rein selesai bicara Rendi langsung memotong ucapannya. Rein sedikit menghela napasnya sebelum ia kembali melanjutkan makan malamnya. Dia tidak akan menang, jadi lebih baik ia mengalah saja. Biar Rendi menyimpan ponselnya sampai ia bosan.

"Kamu kenapa bawa HP Rein, si, Ren?" Tanya Nayra setelah ia ingat jika ponsel Rein ada pada Rendi.

"Dia nakal, ya udah aku bawa, Mi."

Rein meletakkan peralatan makanannya dan beralih menatap Rendi dengan kesal. "Gue nakal apanya si, Kak? Jangan ngelebih-lebihin, deh!"

Rendi menatap tajam pada adiknya itu yang membuatnya mengehentikan tatapan kesalnya. Rein takut jika Rendi telah menatapnya seperti itu.

"Udah, ah. Males!"

Rein meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan makan malamnya. Ia dapat mendengar jika ayahnya memanggilkan namanya, hanya saja ia tidak mengindahkannya dan segera masuk ke kamarnya.

"Kenapa si, Ren? Adek kamu kesel gitu. Udahlah, dia udah gede ini, dia tau mana yang baik buat dia."

Rendi beralih menatap pada sang kepala keluarga di rumah itu. "Papi cuma gak tau aja. Udahlah, yang aku lakuin ini gak buruk, kok. Ini buat kebaikan dia juga. Rendi cuma mau dia fokus sama kuliah dia aja, gak mikirin yang lain-lain."

"Hadeuhh ... terserah, deh. Jangan lama-lama ditahannya, nanti dia bener-bener marah sama kamu."

"Iya, Pi."

Suara hentakan kaki yang menuruni tangga tiba-tiba terdengar dengan begitu nyaring. Tiga orang dewasa yang berada di meja makan itupun melihat ke arah sumber suara.

Rein yang sudah rapi dengan mantel hangat yang dimilikinya. Itulah yang mereka lihat.

"Mau ke mana? Udah malem."

"Main bentar, Pi."

"Main mulu, belajar!"

Rein menghentikan langkahnya dan berbalik ketika ia mendengar suara Rendi yang menyuruhnya untuk belajar.

"Gak selamanya belajar harus di buku. Gue main juga ada pembelajarannya kali, belajar bersosialisasi!"

Setelah itu Rein tak ingin menanggapi apa-apa lagi, ia pun berjalan keluar rumah. Suasana di meja makan mendadak sepi beberapa saat hingga Jaya kembali membuka suaranya.

"Udahlah kasih aja, Ren."

"Enggak, Pi. Belum bisa."

•To be Continued•