webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 37

"Gimana? Udah cantik?" Haris memperhatikan Rein dari atas sampai bawah. Pria itu tersenyum lalu kembali fokus pada siaran televisi yang sedang ia tonton. "Ih, responnya gitu banget, cantik gak?"

"Ya, tanya aja sama diri sendiri. Cantik, gak?"

"Cantik banget."

"Nah, itu dah tau."

"Ih!" Rein melempar bantal sofa pada wajah Haris yang kala itu sedang fokus pada tontonannya. "Nyebelin banget, sih! Cantik kata gue, gak tau kalo kata lo sama orang lain."

Haris menyisir rambutnya dengan jari-jarinya lalu ia menepuk tempat kosong di sebelahnya. Rein yang mengerti itu langsung duduk di sampingnya. "Mau ke mana nanya cantik atau enggak?"

"Katanya mau jalan, tadi siang ngajak ke taman. Gimana si, lupa? Ih pikun!" Rein melipat kedua tangannya dan wajahnya memperlihatkan kekesalannya.

"Iya inget, gue becanda kali. Gak perlu cantik-cantiklah nanti ada yang suka sama lo di luar sana gimana?" Rein mendengus sebal mendengarnya.

"Ya masa gue harus jelek? Emang lo gak malu bawanya entar? Entar orang-orang pada bacot 'ih masa cowoknya ganteng rapih tapi ceweknya biasa aja' mau kaya gitu? Mana lo juga nambah ganteng lagi sekarang. Ah, terbang dah tuh idung." Haris sedikit tertawa lalu ia mengusak surai hitam milik Rein dengan tangannya.

"Lucu, deh. Gini ya, Rein. Gue cinta sama lo itu apa adanya, semua yang ada pada diri lo itu cantik di mata gue. Lo gak usah takut sama omongan orang, karena semua yang lo lakuin itu buat gue kan bukan buat mereka? Jadi, lo jangan fokus pada penilaian mereka karena lo udah sempurna bagi gue. Dan kalaupun emang ada orang yang bicara kaya gitu ya itu adalah cermin yang memperlihatkan kehidupan mereka, dan tidak kecil kemungkinan mereka itu adalah orang yang menganut sistem pacaran memandang fisik dalam perjalanan cinta mereka di hidupnya masing-masing."

"Iya iya deh Rein salah. Jadi gak?" Rein malas untuk berbicara atau mendengar pembicaraan yang panjang-panjang lagi setelah ini.

"Kayanya enggak deh, lo cantik banget soalnya. Entar dilirik cowok lain kan ribet." Rein sedikit menepuk paha Haris yang berada di sampingnya.

"Ih penakut banget. Biarin aja mereka lirik gue karena yang bakal gue lirik itu lo. Ya masa sih gue harus ganti penampilan? Lama lagi dong, Haris," ucap Rein memelas yang membuat Haris menjadi semakin gemas padanya.

"Iya deh iya deh jadi. Ayo, Tuan Putri!" Haris mengulurkan tangannya dan Rein pun langsung menerima uluran tangan Haris dan mereka pun berjalan beriringan untuk meninggalkan ruangan itu.

Setelah memperdebatkan masalah tampang dan juga penampilan, akhirnya mereka melakukan rencana mereka tadi siang. Malam ini mereka menghabiskan waktu berdua di luar sana dengan mengunjungi beberapa tempat yang ingin mereka kunjungi.

Karena taman adalah tujuan utama, akhirnya tempat itu sengaja mereka akhirkan untuk dikunjungi.

"Rein."

"Hm?"

"Pas lo lagi di kampus, ada kucing tersesat ke rumah. Kucingnya bagus warnanya abu-abu, terus dia punya kalung di lehernya. Di kalungnya itu ada tulisan Arbi, mungkin itu nama si kucingnya kali ya. Lucu banget Arbi, sesuai sama dia, kucingnya juga lucu soalnya."

Rein terdiam mendengarnya. Bagaimana jika misalnya Haris mengetahui jika kucing itu adalah miliknya dan juga Barra? Rein kembali merasa bersalah karena dia harus menutup-nutupi kedekatannya dengan Barra walau mereka memang tidak ada hubungan yang lebih dari sahabat sebenarnya. Tapi walaupun begitu, Rein terlalu takut untuk memperkenalkan kedua pria itu dan ia akan berusaha agar mereka tidak sampai bertemu dan saling menatap secara dekat.

"Rein, kok diem? Tidur?" Haris melihat ke arah Rein yang kini sedang menyandarkan kepalanya pada bahunya. Haris melihat Rein seperti sedang melamun seakan sedang memikirkan sesuatu. "Sayang?"

"I-iya?"

"Kok ngelamun, sih?"

"Enggak, kok."

"Jangan boong, asli kok tadi ngelamun. Udah ngantuk, ya? Mending pulang yu! Istirahat."

Rein berpikir sejenak sebelum ia mengiyakan ajakan Haris. Lebih baik mereka pulang sekarang karena tiba-tiba saja suasana hati Rein menjadi tidak nyaman setelah Haris membahas Arbi yang telah ia temukan itu.

Di sepanjang perjalanan pulang, Rein tidak henti-hentinya bergumam dalam hatinya. Ia menyandarkan kepalanya pada punggung Haris, kedua tangannya dapat merasakan kehangatan ketika pria itu menarik dan memasukan kedua tangan itu ke dalam saku jaketnya. Rein sesekali menghirup dan menikmati aroma dari Haris yang sudah begitu asing di hidungnya. Ya, Rein merasa bahwa wangi yang ada di di tubuh Haris sekarang sangat berbeda jauh dengan wangi Haris sewaktu SMA.

"Haris, gue kangen Haris yang dulu." Haris tersenyum di balik helm yang sedang ia kenakan itu. Ia menggenggam erat tangan Rein yang kala itu berada di dalam saku jaketnya.

"Haris yang sekarang adalah Haris yang dulu, Rein. Rasa cintanya tetep sama kok, gak berkurang sama sekali."

Rein tersenyum samar. Entah mengapa ia merasa tertampar dengan penuturan dari Haris. Ia merasa sedih akan dirinya, dalam hatinya ia terus mengungkapkan tentang dirinya sendiri. Ia sadar akan dirinya, di saat Haris selalu mencintainya tanpa berkurang sedikitpun, tetapi lain lagi dengan dirinya. Terkadang rasa cinta itu hilang begitu saja ketika ia tengah berada di sisi seorang pria yang juga telah menaruh hati padanya sejak lama.

Walau ia selalu berusaha dengan keras untuk terus menyangkal, tapi tetap saja ia tidak dapat membohongi perasaannya sendiri. Lain di mulut lain di hati, ketika mulutnya mengatakan tidak tetapi hatinya mengatakan iya. Hatinya selalu jujur, ia selalu berbisik dan membenarkan bahwa dirinya memang sudah dapat merasakan kenyamanan di dalam pelukan yang lain.

Haris, maaf.

"Capek?" Haris tersenyum lembut seraya merapikan surai hitam gadis itu yang berantakan karena tertiup angin malam.

"Kalian baru pulang?" Haris dan Rein langsung menoleh ke arah sumber suara. Mereka berdua tersenyum ketika melihat Nayra yang sedang berdiri di depan pintu.

"Iya, Mih." Mereka berdua langsung menyalami seorang ibu yang sampai saat ini masih terlihat sangat cantik walau kedua anaknya itu sudah beranjak dewasa.

"Oh iya, Rein. Tadi Barr-"

"Ma-mamih, nanti Rein ada yang mau diomongin sama Mamih, ya?" Rein sengaja memotong ucapan ibunya itu karena di sana masih ada Haris. Nama Barra haram untuk disebutkan di sini selama Haris masih berada bersama mereka. "Rein masuk dulu ya, Mamih."

"Haris juga, Tante. Permisi, ya." Haris langsung menyusul Rein masuk ke dalam rumah. Saat gadis itu hendak menaiki tangga untuk menuju kamarnya, ia pun langsung menahannya untuk mengatakan sesuatu yang ingin ia katakan terhadapnya.

"Gue gak suka ya liat lo motong omongan orangtua kaya tadi. Gak sopan tau, gak? Harusnya dengerin dulu apa yang mau dia omongin sama lo, siapa tau itu penting, kan? Terus kenapa juga tadi lo langsung keliatan gugup kek gitu? Rein, lo gak sembunyiin sesuatu dari gue, kan?"

•To be Continued•

Oh, Hi! Maaf ya baru update, tugasnya numpuk soalnya :(

Pasti ada yang sama, kan? Semangat ya, walau mungkin terkadang sulit dan tidak mudah untuk dipahami, kita harus tetap berusaha dan tentunya harus semangat. Hwaiting!!!

Indriani0903creators' thoughts