webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 05

"Kenapa, Ris?" Tanya Erin.

"Yang namanya Citra banyak banget di sini anjir!!!" Haris melempar ponselnya dan ia merebahkan tubuhnya sehingga kepalanya berada di atas pangkuan Rein.

"Ngapain sih lo?! Ihhh … awas, ah!" Rein menyingkirkan paksa kepala Haris di pangkuannya.

"Gila nih anak." Bastian mengambil pondel Haris yang tergeletak di bawah meja dan langsung mengeceknya. "Untung gak pecah."

Bastian melihat ada sekitar 6 nama Citra di followers Sakti. "Gue yakin di sini ada salah satu Citra yang kita cari," ujar Bastian sambil membuka satu persatu akun.

"Terus kita harus gimana?" Tanya Jian.

"Gue ada satu usulan. Gimana kalo kita pergi ke club yang biasa Sakti kunjungin dan kita cari CCTV di daerah sana. Sakti bilang kok sama gue kapan kejadian itu terjadi. Tapi masalahnya, gue gatau club mana yang dimaksud dia."

"Gue tau clubnya, gue pernah ke sana soalnya dulu sama Sakti." Mereka semua langsung melihat ke arah Haris setelah pria itu angkat bicara.

"Haris? Pergi ke club? Hahah," ejek Rein.

"Iyalah gue pernah," ketus Haris.

"Mau ngapain ke sana Masnya, hm?"

"Dagang seblak gue di sana, puas lo?!"

"Ohh puas banget." Haris langsung menarik kepala Rein dan ia menghimpit kepala gadis itu dengan ketiaknya yang membuatnya meronta-ronta minta dilepaskan.

"Emang di mana, Ris?" tanya Jifran.

"Malam ini kita ke sana," jawab Haris seraya ia melepaskan Rein. Rein yang baru saja terlepas itu langsung terbatuk dan ia memukul Haris yang ada di sampingnya. "Ketek lo bau, anjir!"

"Oke, keenam Citra ini kita tandai dulu sebagai tersangka. Nanti kalo kita udah tau Citra mana yang kita cari, kita fokus sama Citra yang itu." Mereka semua mengangguk setuju pada pendapat Bastian.

"Jadi entar malam cuma cowok-cowoknya doang yang gerak?"

"Iyalah, lo mau ikut emang? Entar lo disangka bitch sana lagi." Rein langsung menendang kaki Haris di bawah sana.

"Iya, cewek-cewek mah bobok cantik aja di rumah ya gak usah ikut-ikutan," sahut Jian.

"Udah bereskan ngomongin rencana pertamanya? Sekarang kita mau apa?" Tanya Dara.

"Main di balkon gue yu! Ngadem." Bastian beranjak dari tempat duduknya lalu menaiki tangga menuju kamarnya yang kemudian diikuti oleh yang lainnya.

"Bas, main PS yu!" Ajak Jian.

"Ya tinggal aja kali."

"Lo juga ikutlah. Ris, PS?"

"Males gue ah mau tiduran."

Jian, Jifran, dan Bastian bermain PS bertiga, sedangkan Haris diam sambil memainkan handphonenya di balkon.

"Rein, lo gak bosen gitu ngejomblo mulu? Kita cariin cowok deh, mau gak?" Sheril yang tadinya sedang berpoto dengan Dara tiba-tiba duduk di hadapan Sheril dan mengatakan hal itu pada Rein.

"Iya, kita cariin deh kalo lo males nyari. Gimana, lo mau?" Tawar Erin yang dibalas gelengan kepala oleh Rein sebagai tanda bahwa ia tidak setuju dengan hal itu.

"Kalian apa, sih? Gak ah males gue."

"Rein sebenernya ada kok cowok yang dia suka. Cuma ya … dia diem aja gak mau usahain." Mereka berempat langsung menatap Haris yang tiba-tiba mengeluarkan suaranya di sudut balkon.

"Beneran itu Rein? Lo suka sama siapa?" Tanya Erin dengan penasaran.

"Gak ada kok, si Haris mah sok tau dia."

Haris yang mendengar Rein menyangkal penuturannya pun berdecih dan ia langsung mengalihkan perhatiannya dari ponselnya pada gadis itu. "Ngaku aja kali."

"Ris, lo diem deh!"

"Dari tadi juga gue diem kok gak lari-larian."

"Udah ah gue bete." Rein pergi dari sana dan memutuskan untuk turun ke bawah. Haris, Sheril, Dara, dan juga Erin saling menatap satu sama lain saat mereka melihat Rein yang pergi begitu saja meninggalkan balkon.

"Kayanya mood dia belakangan ini buruk, ya," ujar Sheril yang diangguki oleh Erin dan Dara.

"Iya lo bener, belakangan ini Rein ribet banget," timpal Erin.

Haris mengantungi ponselnya dan ia beranjak dari duduknya. Sheril yang melihat itupun bertanya,"Ris, lo mau ke mana?"

"Gue mau nyusul dia," jawab Haris sambil melengos pergi dari sana. Haris mencari Rein dan dia menemukannya di teras depan.

"Lah, kok lo duduk di sini?" Haris mengambil posisi duduk di samping Rein. "Lo kenapa?" Tanyanya lagi.

"Ngapain sih lo nyusul gue ke sini?" Ketus Rein seraya memalingkan wajahnya dari Haris.

"Ya lo pergi ya udah gue susul aja. Lo kenapa? Cerita aja sama gue sini!" Haris merangkul Rein, tapi dengan cepat Rein langsung menyingkirkan tangan Haris yang tiba-tiba bertengger pada bahunya.

"Jujur gue tuh gak suka kalo bahas tentang pacar. Sakit hati tau gak gue tuh. Gue sendiri juga masih gak tau hati gue buat siapa. Serasa ada seseorang juga gue gak yakin dengan itu."

"Rein, bukannya gak mungkin tapi itu mustahil aja menurut gue. Lo suka sama Sakti tapi dia udah terlanjur nganggap lo cuma sahabat dia aja gak lebih. Gue bukan mau ngejelekin sahabat gue sendiri ya tapi gue bicara sesuai fakta. Lo juga tau sendiri kalo si Sakti itu ceweknya banyak, emangnya lo mau diselingkuhin dengan banyak cewek? Sorry nih kalo ini menusuk, emangnya lo pernah liat ada tanda-tanda kalo si Sakti juga suka sama lo? Lo mau nembak dia duluan gitu? Lo itu cewek, Rein. Masa iya lo yang ngejar, si?"

Rein terdiam dan ia mencoba untuk meresapi semua yang dikatakan oleh Haris. Rein mengakui jika Haris memang benar, tidak mungkin juga ia melakukannya lebih dulu. Dia adalah seorang wanita, dia yang seharusnya dikejar bukan dia yang mengejar.

"Gak tau deh gue bingung, dari awal mungkin Sakti nganggap gue sahabatnya. Tapi gue? Gue nganggap dia lebih dari itu. Gue udah suka sama dia dari awal, gue gak peduli seburuk apapun dia di mata orang-orang lain. Pokoknya gue ada rasa sama dia dan gue gak tau apa sebabnya, cinta emang gak butuh alasan, kan?" Rein menatap Haris dengan intens dan Haris pun sebaliknya. Mereka saling menatap seperti itu dalam waktu yang cukup lama.

"Coba deh lo perlahan hilangin rasa itu, coba lo mulai membiasakan nganggap kalo Sakti itu cuma sahabat lo selayaknya dia nganggap lo kek gitu juga. Gue tau lo sebenernya ragu, makannya lo selama ini bertahan tanpa berjuang. Gue tau sebenernya lo sendiri juga ngerasa kalo misalnya lo sama Sakti itu seakan gak mungkin aja gitu, lo gak yakin lo sama dia bisa menciptakan sebuah hubungan yang lebih, makanya lo diem aja. Jangan suka memendam rasa sakit, Rein. Itu gak baik buat lo."

Rein melarikan pandangannya dari Haris dan ia kembali menghadap ke arah depannya. "Lo emang gampang ngomong kek gitu, Ris. Tapi ini gue yang ngejalaninnya."

"Iya gue tau itu pasti sulit, gue emang gampang tinggal ngomong. Gue cuma pengen bantu lo keluar dari semua ini aja. Coba lo terima seseorang yang lebih ngerti dan sayang sama lo daripada dia yang gak tau apa-apa."

Rein berdecih dan ia tersenyum remeh menanggapi ucapan Haris. "Sayang? Hahah. Siapa sih yang sayang sama gue? Emang ada? Emang ada yang sayang sama gue selain keluarga gue sendiri?"

"Ada. Gue orangnya." Rein kembali menatap bola mata Haris untuk melihat ada atau tidaknya sebuah kejujuran di dalamnya. Bisa saja Haris mengatakan itu padanya hanya untuk menghiburnya saja saat ini, bukan? Tapi, Rein samasekali tidak mendapati kebohongan di matanya. Seketika detak jantung Rein berdegup lebih kencang dan ia bertanya-tanya dalam hatinya.

Masa iya Haris serius?

"Becanda lo," Rein kembali memalingkan wajahnya dari Haris dan ia mengatakan itu dengan sedikit senyumnya yang ia berikan untuk memperbaiki suasana yang terasa semakin serius.

"Gue serius." Haris meraih lembut dagu Rein agar gadis itu kembali menatapnya. "Gue serius, lo harus percaya! Sebenernya gue udah lama suka sama lo, selama ini juga gue suka berantem sama lo itu atas dasar cinta bukan atas dasar benci." Rein menyingkirkan tangan Haris yang masih menyentuh dagunya itu dan kembali memalingkan wajahnya.

"Terus gue harus apa?" Rein sedikit meninggikan nada bicaranya karena ia mulai tak nyaman dengan pembicaraan yang ia anggap bodoh itu.

"Lo mau gak jadi pacar gue?" Saat detik itu Rein tak berani lagi menatap Haris, ia tak ingin melihat dan ia tak ingin mengetahui bagaimana raut wajah Haris setelah ia menanyakan hal itu.

"Gue gak ta-"

"Ssttt … gue gak nyuruh buat lo jawab sekarang. Gue bakal kasih lo waktu buat mikirin semua ini. Lo bawa santai aja, jangan diambil pusing. Gue bakal nerima apapun keputusan lo nantinya."

•To be Continued•