webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM || 03

Seorang gadis cantik terlihat berlari dengan tergesa-gesa menuruni anak tangga. Karena ia sangat terburu-buru, iapun tidak memperhatikan langkahnya yang akhirnya menyebabkan dirinya terjatuh tepat pada saat kakinya menginjak anak tangga ke tiga dari bawah yang membuatnya menggelinding dan tubuhnya menabrak kaki kakaknya yang saat itu sedang berjalan melintas di depan tangga.

Bukannya menolong, Rendi yang merupakan kakak laki-laki dari Rein itu malah tertawa puas saat ia melihat adik semata wayangnya itu jatuh tergelinding dari tangga.

"Lo jatuh? Hahaha …!" Rein bangkit dari jatuhnya dan ia sedikit merapikan kembali seragamnya. "Enggak kak, gue gak jatuh! Puas?!"

Rein melirik ke arah jam dinding yang terpajang pada dinding ruang tamu. Seketika wajahnya kembali panik dan ia kembali berlari menuju ke arah teras.

"MAMIH …! REIN BERANGKAT SEKARANG!" Teriaknya di sela-sela ia berlari. Rendi yang melihat itu hanya menghela napasnya dan iapun menyusul adiknya itu dengan sedikit berlari.

"Rein, kamu belum sarapan. Sarapan dulu ayok!" Ya, setelah ibunya mendengar teriakan dari Rein, ia langsung pergi ke depan rumah dan menyuruh putrinya itu untuk sarapan terlebih dahulu.

"Rein piket hari ini, Mih. Rein harus cepet-cepet. Bye, Mamih. Ayo ngebut, Kak!" Rein memeluk erat pinggang Kakaknya. Ya, Rein memang selalu diantarkan oleh Rendi setiap pagi untuk pergi ke sekolah.

"Awas hati-hati!" Nayra hanya menghela napasnya pasrah ketika ia melihat kelakuan anak bungsunya itu. Rein susah dibangunkan pagi tadi, jadi dia bangun agak terlambat.

Setelah Rein sampai di sekolah, ia langsung berlari dengan sekuat tenaga ke arah kelasnya yang berada di lantai 3 bahkan ia sempat menabrak beberapa orang yang yang ia temui di sepanjang koridor. "Mampus! Gue kebo banget pagi tadi," gumamnya sambil berlari menaiki tangga.

"Rein, kenapa lo lari-lari kaya gitu?" Tanya Dara yang berpapasan dengannya di tangga.

"Gue mau piket, Dar."

Napas Rein tersenggal-senggal saat ia sampai di kelasnya. Dia melihat teman-temannya yang memang satu piket dengannya sudah mulai membersihkan kelas.

Sheril yang melihat Rein baru saja datang ke kelas, ia langsung menghampiri temannya itu yang terlihat sudah berkeringat padahal hari masih pagi. "Rein, kok lo baru dateng sih? Itu apa lagi mukanya udah keringetan gitu padahal lo belum beresin apa-apa di kelas." Tanya Sheril yang sedang menyapu lantai.

"Gue kesiangan bangunnya jadi gue lari-lari buat cepet sampe kelas."

"Kebo sih lo! Gantiin gue nyapu, nih!" Rein mengambil alih sebuah sapu yang ada di tangan Sheril. Saat Rein menyapu lantai, kepala dia sangat terasa pusing dan perutnya terasa perih. Rein tidak mempermasalahkan itu, iapun bersikap seakan dia baik-baik saja. Rein memang tidak terbiasa tidak sarapan di pagi hari.

"Haris bakal diemin gue kaya semalam gak, ya? Kalo dia sama, hari ini gue gak ada temen ribut. Kan gak seru," batin Rein seraya ia melihat Haris yang sedang duduk di bangkunya bersama Jian.

Rein teringat jika hari ini jadwal pertamanya adalah olahraga, ia langsung bergegas memeriksa tasnya karena ia khawatir jika ternyata ia meninggalkan seragam olahraganya di rumah. Rein menghela napas lega ketika ia melihat seragam olahraganya ternyata ada di dalam sana.

"Hai, Rein. Lo piket, ya?" Rein yang saat itu sedang menyelesaikan tugas piketnya langsung mengalihkan pandangannya dari debu-debu kecil di lantai pada seorang pria yang tiba-tiba saja berdiri di dekatnya.

"Hai, Bas. Iya nih gue piket, lo ada apa ke sini?" Tanyanya.

"Gue mau ketemu Haris sama Jian." Rein mengangguk mengerti dan ia melihat ke arah meja yang terdapat dua orang laki-laki di sana yang sedang mengobrol.

"Mereka lagi pada ngebacot tuh, ya udah lo masuk aja, Bas! Eh, Erin sama Dara ada di kelas, gak?"

"Ada tuh mereka lagi rumpi," jawab Bastian sambil masuk ke dalam kelas untuk menemui Haris dan Jian. Rein langsung menyimpan sapunya lalu pergi ke kelas XI Mipa 2 karena dia tahu Sheril juga pasti sedang berada di sana sekarang.

"Itu Rein!" Dara menunjuk Rein yang berjalan menghampiri mereka.

"Kalian lagi pada ngomongin apa?" Tanyanya pada mereka bertiga. "Gak ada hal serius yang kita omongin di sini," jawab Erin.

"Sher, bentar lagi masuk ini, kita ganti baju dulu yu! Biar kita santai aja." Rein mengajak Sheril untuk mengganti pakaian karena 7 menit lagi bel masuk berbunyi.

Sheril mengangguk menyetujui ajakan Rein. Jika mereka mengganti seragamnya terlalu dekat dengan jam pelajarannya, sudah dipastikan mereka akan terlambat mengikuti jam pembelajaran olahraga jika mengingat banyaknya siswa-siswi yang diharuskan untuk berganti pakaian juga. Jika semakin ditunda-tunda maka akan semakin panjang pula antriannya di ruang ganti nantinya.

"Ya udah kita mau ganti baju dulu. Bye, guys," pamit Sheril pada Dara dan juga Erin. Ya, mereka berbeda kelas jadi jam pelajaran olahraga merekapun berbeda.

Sheril dan Rein kembali ke kelas mereka untuk mengambil baju olahraga. "Yang, mau ke mana?" Tanya Jian di bangkunya ketika dia melihat Sheril hendak keluar bersama Rein.

"Kamu gak liat aku bawa baju olahraga? Aku mau ganti baju," jawab Sheril.

"SHER, JIAN BILANG DIA MAU LIAT LO GANTI BAJU!" Teriak Haris yang langsung dihadiahi pukulan dari Jian. Bastian hanya bisa tersenyum tampan melihat kelakuan 2 sahabatnya yang mulai menggila itu.

"Idih, ayo Rein!" Sheril menarik lengan Rein untuk segera keluar dari kelas.

"Malu-maluin lo! Kapan gue bilang gitu, ha? Uncees kita ayo!" Ketus Jian sedangkan Haris hanya terus tertawa puas.

"Dahlah, gue balik ke kelas, yo. Bentar lagi masuk nih."

"Oke, Bunda," jawab Jian sambil melambaikan tangan ke arah Bastian yang meninggalkan kelas mereka.

"Bunda, dong," ejek Haris.

"Udahlah, ayo ganti baju!" Mereka berduapun akhirnya memutuskan untuk mengganti seragam mereka.

Saat Rein menyimpan seragam putih miliknya dan Sheril, tiba-tiba Haris juga memasuki kelasnya yang hendak menyimpan seragam miliknya dan milik Jian. Mereka sempat bertatapan sejenak sebelum Rein meninggalkannya lebih dulu untuk keluar. Rein mendengus kesal saat ia tahu jika Sheril ternyata meninggalkannya, iapun akhirnya berjalan sendiri untuk pergi ke lapangan.

Tapi saat Rein baru sampai di lantai 2, tiba-tiba kepalanya kembali pusing dan iapun langsung terduduk di sana.

"Kok lo malah duduk di situ?" Tanya Haris yang melihat Rein terduduk di dekat tangga.

"Gue gak papa," jawab Rein dan langsung berdiri. "Udah sana lo jalan duluan!" Haris menggidikan bahunya tidak peduli dan iapun langsung berjalan lebih dulu dari Rein.

Haris sedikit berlari ke arah lapangan karena olahraganya akan dimulai. "Baik, semuanya sudah kumpul?" anak-anak kelas XI Mipa 3 langsung saling melihat satu sama lain untuk memastikan semuanya sudah terkumpul atau belum.

"Ris, Rein mana?" Tanya Sheril pada Haris yang memang saat itu baris bersampingan dengannya.

"Lah, mana gue tau. Tadi dia ada kok di belakang gue pas jalan," jawab Haris peduli tak peduli.

Sheril menghela napasnya sebelum dia kembali berbicara. "Tapi dia belum sampe, liat deh dia gak ada di sini."

"Pak, Rein belum turun." Akhirnya Haris angkat bicara daripada ia harus terus mendengar ocehan dari Sheril.

"Ya udah kamu susul dulu sana, cepet gitu!" Perintah guru olahraga mereka dengan tegas. Haris pun mengangguk lalu ia pergi untuk kembali menaiki tangga dan mencari Rein.

"Rein …!" Haris langsung menghampiri Rein yang tergeletak di lantai 2, rupanya Rein sama sekali belum turun lagi setelah dia bertemu dengan Haris tadi.

"Kenapa lo pingsan, sih?" Haris langsung mengangkat tubuh Rein dan membawanya turun.

Teman-teman sekelasnya langsung ribut ketika melihat Haris menggendong Rein yang tidak sadarkan diri.

"Pak, Rein pingsan."

"Ya udah cepet kamu bawa ke UKS!" Haris langsung menuruti perintah dari guru olahraganya dan langsung membawa Rein ke UKS.

Perlahan Haris membaringkan tubuh Rein di atas brankar. Biasanya selalu ada anak PMR yang menjaga UKS, tapi hari ini anak-anak PMR sedang mengikuti lomba di sekolah sebelah. Terpaksa Haris membuat Rein sadar dengan usahanya sendiri. Dia membuka kotak P3K dan mengambil minyak angin di dalamnya, Haris sedikit mengoleskan minyak angin itu pada hidung Rein.

"Rein?" Haris sedikit menepuk-nepuk pipi Rein dan berharap Rein akan segera sadar. "Rein, lo bangun Rein ini gue." Haris menekan-menekan kuku jempol Rein tapi tetap saja tidak ada perubahan, Rein masih memejamkan matanya.

Haris meninggalkan Rein yang sedang tak sadarkan diri itu sebentar untuk membeli sesuatu di kantin. Tak beberapa lama kemudian, iapun kembali dengan segelas teh manis, segelas air putih dan satu mangkuk bubur.

Saat ia kembali pun Rein masih belum sadar juga. "Rein, Rein lo bangun ayo!" Haris terus menerus memanggilkan nama Rein hingga perlahan gadis itu akhirnya membuka matanya dan nampak terkejut saat ia melihat ada Haris di hadapannya.

"Kok gue di sini?" Tanyanya dengan raut wajah bingung.

"Lo pingsan tadi, jadi gue bawa lo ke sini?"

"Pingsan?"

"Hmm. Lo belum sarapan, ya?"

Rein yang merasa itu memang benar, iapun menganggukkan kepalanya pelan. "Iya gue buru-buru tadi pagi, jadi gue gak sempet."

"Ya udah, nih lo makan dulu!" Haris menyodorkan semangkuk bubur pada Rein. Rein menatap terlebih dahulu semangkuk bubur itu sebelum ia menerimanya.

"Lo yang beliin?"

Haris menghela napasnya dan ia memutar bola mata malas mendengar pertanyaan dari gadis itu. "Terus kalau bukan gue siapa, ha? Sakti?" Tanya Haris datar.

"Kok jadi bawa-bawa Sakti? Dia gak sekolah hari ini."

"Sampe tau ya lo. Lo emang beneran suka, kan, sama dia?"

"Kalau iya kenapa?"

•To be Continued•