webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 52

"Sa-Sakti? Lo-lo mau ngapain?" Rein menatap Sakti dengan sedikit ketakutan ketika pria itu tiba-tiba saja mengunci pergerakannya. Sakti tidak menjawab apa-apa, ia masih saja menatap wajah gadis itu dengan tatapannya yang sulit untuk dipahami. "Sakti?"

"Diem dulu kek gini!" Rein sedikit menundukkan pandangannya ketika pria itu melingkarkan sebelah tangannya pada  pinggangnya untuk menempelkan tubuh mereka. Rein sangat ingin memberontak, tapi, walaupun itu hanya satu tangan yang terlilit pada pinggangnya, entah mengapa itu begitu sulit untuk dilepaskan. Sebenarnya, seberapa besar kekuatan pria itu dan seberapa lemah kekuatan Rein?

"Sakti, lepasin! Gue takut." Saat Rein mencoba mendorong tubuh pria itu, dengan secepat kilat tangannya kembali tertahan. Sakti menahan kedua tangan Rein dengan tangan besarnya yang sebelah kiri. Gadis itu sedikit meringis karena kedua pergelangan tangannya dilahap kuat oleh sebuah tangan besar tersebut. Sepertinya, setelah itu terlepas, kulitnya akan berwarna kemerahan.

Sakti seakan tidak memedulikan keluhan gadis itu yang terus meminta untuk dilepaskan. Entah mengapa, ketika ia terus menolak, jarak wajah mereka malah semakin dekat. Sakti terasa menjadi sebuah ancaman bagi dirinya saat ini.

Saat pria itu terus mengincar bibirnya, Rein terus memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri agar wajah mereka tak bertemu. Hingga sampai pada akhirnya, sebuah tangan berhasil lepas dari pinggangnya. Rein sedikit lega, tapi itu tidak berlangsung lama karena pria itu kini memindahkan posisi tangannya pada rahang gadis itu sehingga ia tak dapat lagi memalingkan wajahnya darinya. "Gue cinta sama lo. Lo bisa denger gue, kan? GUE CINTA SAMA LO, REIN!"

"GUE JUGA CINTA SAMA LO, SAKTI!" Mata mereka kembali bertemu dengan deruan napas yang terdengar dari keduanya karena mereka baru saja meluapkan emosinya satu sama lain. "Gue juga cinta sama lo, tapi itu dulu, bukan sekarang. Anggap gue sebagai sahabat lo selayaknya gue nganggap lo sebagai sahabat gue, Sakti!"

"Gue gak bisa. Lo harusnya milik gue, Rein, bukan milik siapa-siapa lagi."

Rein memalingkan wajahnya lagi ketika  pria itu mulai berusaha kembali untuk mendekatkan wajah mereka. "Sakti! Lo harus inget Har-"

"Gak, Rein! Gue gak mau." Sakti memotong ucapan Rein sedangkan Rein hanya menatap pria itu seakan tak percaya. "Dia udah ngalihin perasaan lo dari gue. Hati lo yang awalnya buat gue dia alihin buat dirinya sendiri."

"Salah siapa, Sakti? Salah siapa?! Lo yang begitu telat, lo telat nyatain semuanya sama gue. Kenapa lo nyatain perasaan lo ketika hati gue udah jadi milik orang lain? Gue cuma mau nerima siapa yang berani nyatain lebih dulu perasaannya terhadap gue. Lo bener-bener telat dalam bertindak, gue udah gak ada hati lagi buat lo, dan lo udah gak bisa ngelakuin apa-apa lagi buat dapetin hati gue balik." Sakti menatap Rein dengan tatapan marahnya sedangkan Rein menatapnya dengan tatapan tegas.

"Jadi, gue bener-bener udah gak punya peluang buat ambil hati lo lagi?" Rein melarikan pandangannya dari Sakti dan tidak menghiraukan apa yang dikatakannya. Ia rasa, tak perlu bertanya pun ia pasti sudah tahu jawabannya.

Sakti melepaskan Rein dan ia berjalan menuju kulkas dan mengambil dua botol minuman beralkohol di dalamnya.

Rein yang melihat itupun membulatkan matanya tak percaya. Sakti akan kembali meminum minuman itu? Dia tidak boleh meminumnya karena efek semalam pun belum sepenuhnya hilang.

"Sakti! Lo gak boleh minum lagi!" Sakti mengedikkan bahunya tak peduli dan ia mulai membukanya yang kemudian ia tuangkan ke dalam gelas.

Rein mendesah pelan menahan amarah dan ia pun berjalan mendekati pria itu yang mulai meneguk minuman beralkoholnya.

"Lo gak boleh kek gini, Sakti! Lo tuh masih muda, lo masih ada masa depan yang harus lo kejar. Ibu lo pasti khawatir banget kalo dia tau selama ini lo kek gini. Tolong, tolong lo berhenti rusak diri lo sendiri!" Rein menjauhkan minuman itu dari jangkauan Sakti yang membuat pria itu kembali menatap serius ke arahnya.

"Kenapa lo larang gue?"

"Gue peduli sama lo." Sakti sedikit tertawa dan ia mengalihkan pandangannya sejenak dari gadis itu.

"Udah sini lo balikin! Ini emang cara gue buat ilangin emosi yang ada dalam diri gue." Sakti meminta kembali minuman yang Rein ambil darinya. Tapi, tentu saja gadis itu tidak akan pernah memberikannya. "Balikin, gak?!"

"Gak!!!"

Sakti bangkit dari duduknya dan ia berjalan ke arah lemari es untuk mengambil minuman yang baru. Tapi, karena Rein sudah mengira Sakti akan melakukan itu, ia langsung berdiri di depan lemari es tersebut untuk menghalangi Sakti. "Sekarang lo emosi? Lo emosi karena gue, ha? Jauhin semua minuman itu dan silahkan lo lakuin apa aja yang lo mau! Lo emosi karena gue? Silahkan lo pukul gue, lo tampar gue, lo sakitin gue! Gue bakal terima itu jika emang itu cara lain yang bisa hilangin emosi lo."

Sakti mengepalkan tangannya marah. Tidak, ia marah bukan karena Rein, tapi karena dirinya sendiri.

'BRUK!'

Rein sedikit meringis ketika punggungnya menabrak keras lemari es yang berada tepat di belakangnya. Kedua pergelangannya kini kembali tergenggam oleh sebuah tangan yang mengunci pergerakannya.

Sebuah benda kenyal berhasil menabrak bibir sucinya yang sudah lama ia pertahankan dalam hidupnya. Matanya membulat sempurna dan perlahan mengeluarkan air bening yang terus turun menyusuri kedua pipinya hingga akhirnya sampai pada dua bibir yang telah menyatu sempurna itu.

Ia dapat merasakan kepalanya terasa terdorong oleh sebuah tangan yang bertengger indah di tengkuknya. Perlahan ia mulai dapat merasakan lumatan kecil nan lembut pada bibirnya.

Sakti melepaskan tautannya dan ia menempelkan dahi juga hidung mereka dengan napasnya yang terdengar memburu. Ia berusaha untuk mengucapkan sesuatu.

"Gue gak marah sama lo, lo bukan alasan buat gue emosi. Tapi, gue emosi sama diri gue sendiri ketika gue sadar nyatanya gue gak mampu buat dapetin hati lo lagi." Setelah mengatakan itu, Sakti kembali menyerang bibir Rein dengan lebih kasar dari yang sebelumnya sehingga ia berhasil membuat gadis itu membuka mulutnya.

Ia mulai memindahkan benda kenyal miliknya pada setiap sudut wajah di hadapannya. Ia menyapukan deruan napasnya di sana dan meliarkan bibir tebal miliknya.

Rein? Apa yang sedang dilakukannya saat ini? Apa dia menikmatinya? Apa dia menikmatinya walau ia menyadari jika bibir sucinya telah gugur sebelum waktunya?

Mungkin pertanyaan itu terlontar dari banyaknya hati dan mulut. Rein sama sekali tidak menikmati itu, semuanya benar-benar dipenuhi oleh keterpaksaan darinya. Ia berusaha untuk melepaskan dirinya namun terasa begitu sulit. Tangan Sakti yang menguasai kepala bagian belakang Rein dan juga kedua tangannya membuat gadis itu kesulitan melepaskan diri dari sebuah ancaman besar di hadapannya.

"Sakti, udah!" Akhirnya kalimat itu berhasil lolos dari mulutnya. Tapi, rupanya tidak ada perubahan yang terjadi sama sekali. Pria itu sama sekali tidak menghiraukannya. "Sakti, gue mohon udah. Lepasin gue! Udah cukup, Sakti!"

"SAKTI, LEPAS!!!" Kali ini Rein berhasil, Sakti sekarang sudah melepaskannya. Rein menatap Sakti dengan air matanya yang masih terus mengalir. Perlahan ia menjatuhkan tubuhnya dengan punggungnya yang bergesekan dengan lemari es.

Sakti hanya bisa menyaksikan itu dengan tatapannya yang terlihat menyesal. "Gue gak mau kita jadi renggang, Sakti. Lo jangan bikin gue benci sama lo, tolong lo jangan macam-macam sama gue! Jangan sampe gue mikir yang enggak-enggak tentang lo atas semua yang udah lo lakuin terhadap gue. Udah cukup sampai di Barra yang gue jauhin, lo jangan! Gue gak mau benci sama lo, jadi tolong lo jaga sikap lo terhadap gue! Jujur, lo yang ngelakuin semuanya tapi gue yang malu. Gue bener-bener malu sama diri gue sendiri, Sakti. GUE MALU!!!"

Hatinya mencelos ketika ia mendengar suara tangisan Rein yang kian mengeras hingga memenuhi ruangan sepi yang tengah mereka tempati itu.

"Gue datang ke sini buat mastiin kondisi lo, bukan buat kek gini. Gue sayang sama lo dan gue peduli sama lo, Sakti. Tolong, tolong banget lo liat itu! Lo orang yang selalu ada buat gue dan gue juga berusaha untuk selalu ada buat lo. Tapi kenapa? Lo seakan bener-bener gak bisa anggap semua ini biasa aja. Ayo bilang sama gue kalo itu semua emang bener-bener di luar kesadaran lo! Biar setelah ini gue anggap semuanya gak pernah terjadi di antara kita."

Sakti pun turut menurunkan tubuhnya dan ia terduduk tepat di depan gadis itu. "Gue minta maaf, Rein. Gue bener-bener minta maaf, gue nyesel atas apa yang udah gue lakuin terhadap lo. Tapi, gue gak bisa bohong. Gue ngelakuin semuanya bener-bener di dalam kesadaran gue sendiri."

Rein kembali mengangkat pandangannya setelah sedari tadi ia terus menundukkan kepalanya. Wajahnya sudah benar-benar terlihat memerah karena tangisannya yang belum juga berhenti.

"Lo sengaja?" Lirihnya seraya ia menatap sendu ke arah Sakti yang terduduk di hadapannya. "Lo sengaja?"

Sakti masih terdiam walau gadis itu sudah menanyakan dua buah pertanyaan yang sama terhadapnya. "Lo gak cinta sama gue, Sakti, tapi lo nafsu sama gue."

Seketika Sakti menatap lawan bicaranya seakan tak percaya, ia tak percaya jika gadis itu akan mengatakan sesuatu hal yang mengarah pada sebuah keburukan tentang dirinya.

"Gue cinta sama lo," lirihnya.

"Gak! Lo nafsu sama gue!"

"Gue cinta sama lo!"

"LO NAFSU SAMA GUE!"

'PLAK!'

Tamparan keras itu dapat dirasakan walau hanya dengan melihatnya saja. Rein menghentikan suara tangisnya dan ia menatap Sakti dengan penuh benci. Siapa yang pernah menyangka jika pada akhirnya akan ada yang berani main tangan seperti ini.

•To be Continued•