webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 42

'Ceklek'

Bibir Haris tertarik melukiskan senyuman. Ia berjalan ke arah jendela kamar Rein dan membuka tirai yang menutupi jendela besar itu. Rein yang merasakan adanya cahaya yang masuk, perlahan ia membuka matanya. Saat matanya telah terbuka sepenuhnya, ia melihat sebuah wajah tampan di hadapannya dengan senyumnya yang semakin menambah aura ketampanannya.

Rein ikut tersenyum ketika melihat senyuman indah itu. Kedua tangannya terurai untuk menarik wajah tampan itu semakin mendekat ke arahnya.

"Mau di mana?" Tanya Haris dengan sedikit berbisik.

"Di sini." Rein menunjuk pada pipi sebelah kanannya. Haris sedikit terkekeh sebelum ia mendaratkan bibir tebal seksinya itu pada pipi sebelah kanan milik Rein di pagi hari ini.

Rein tersenyum, ia menahan wajah Haris yang hendak menjauh darinya dan perlahan ia mengecup singkat pipi Haris. Mereka kembali menatap satu sama lain sebelum akhirnya mereka kembali memberikan jarak di antara mereka.

"Udah yu, bangun!" Haris mengulurkan tangannya untuk membantu Rein mengubah posisinya menjadi duduk. "Mandi, ya? Haris tungguin di bawah."

Rein menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk siap-siap. Setelah ia selesai, ia pun turun ke bawah untuk menemui Haris yang saat ini berada di meja makan.

"Ini, sarapan dulu." Haris meletakkan roti bakar dan segelas susu di hadapan Rein.

"Rumah kok sepi? Mamih ke mana?"

"Tadi udah berangkat ke pasar. Bang Rendi sama om udah berangkat ke kantor," jelas Haris.

"Pagi banget?"

"Bukannya mereka yang kepagian tapi lo yang bangunnya kesiangan." Rein mengeluarkan kekehannya dan ia pun mulai menyantap sarapannya.

"Haris, udah sarapan?"

"Belum, ini juga baru mau."

"Ya udah sini deketan!" Rein menepuk-nepuk sebuah kursi kosong di sampingnya.

"Pengen banget deket-deket."

"Ih, ya udah jauh-jauh aja sana!" Haris sedikit tertawa kemudian ia duduk di kursi yang berada di samping Rein itu. Rein memutar bola mata malas dan ia melarikan pandangannya dari Haris yang duduk di sampingnya bersama sarapannya pagi ini.

"Hari ini mau pergi keluar, gak?" Tanya Haris di sela-sela ia menikmati sarapannya juga. Rein meneguk terlebih dahulu susu yang disediakan untuknya itu sebelum ia menjawab pertanyaan yang Haris lontarkan padanya.

"Di rumah aja, ya? Besok lo pergi lagi, jadi gue pengen banyak kenangan sama lonya di rumah aja. Biar kalo gue kangen sama lo, gue tinggal liat setiap sudut rumah ini dan bayangan lo pasti bakal keputer lagi di otak gue nantinya."

"Kangen tinggal telpon aja kali." Haris menatap Rein dengan roti di mulutnya yang belum ia telan.

"Gak ah udah pernah, tapi peluang berhasilnya dikit banget." Haris yang sedang mengunyah makanannya langsung terdiam dan kembali menatap gadis itu. Rein yang ditatap seperti itupun hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Sorry ya udah bikin lo kesel karena nungguin kabar dari gue." Rein tersenyum lembut pada Haris dan ia menangkup kedua pipi tirusnya.

"Lain kali, sesibuk apapun lo, sempetin ya walau cuma satu hari sekali. Jangan biarin gue terbiasa dengan hal itu! Nanti jatuhnya gue bakalan bodoamat sama lo, Ris." Rein berbicara dengan nada seriusnya, tapi ia mengakhiri ucapannya itu dengan senyumannya yang manis.

"Iya, Rein."

"Bagus ya ditinggal berdua di rumah malah mesra-mesraan kek gitu!" Haris dan Rein terkejut ketika tiba-tiba saja suara Nayra terdengar begitu saja. Otomatis Rein langsung melepaskan tangannya dari kedua pipi Haris. Ya, Nayra baru saja pulang berbelanja.

"Mamih ngagetin ih."

"Haris, Rein baru bangun, ya? Dia emang kebo banget jadi anak gadis. Tante aja heran, kenapa kamu mau sama dia?" Tanya Nayra yang kala itu sedang membereskan belanjaannya. Rein mengerucutkan bibirnya sebal ketika ia mendengar penuturan dari ibunya sendiri.

"Mamih jangan ngomong gitu sama Haris, dong! Haris kan cinta Rein apa adanya. Ya kan, Sayang?" Rein memberikan tatapan genitnya pada Haris yang membuat pria itu menahan tawanya. Melihat Rein yang tiba-tiba bertingkah seperti itu sepertinya ada rasa geli tersendiri jadinya. "Ih kok gitu responnya? Iya gak?"

"Iya Rein, Haris cinta sama Rein apa adanya kok."

Nayra menatap putrinya dengan tatapan mengejek. "Agaknya Haris tertekan pacaran sama kamu, Rein."

"Mamih kok jahat banget sama Rein?!" Rein menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan ia berpura-pura menangis. Haris dan Nayra tertawa sebelum Haris semakin mendekatkan tubuhnya pada Rein yang kemudian dirangkulnya.

"Udah ah, becanda doang, kok." Haris menarik tangan Rein yang menutupi wajahnya itu.

"Hadehhh dasar anak muda." Setelah Nayra selesai membereskan belanjaannya, ia pun pergi meninggalkan mereka berdua di sana.

• • •

Rein memandangi ponselnya yang sangat sepi. Setelah terakhir kali Barra menghubunginya waktu itu, hingga sekarang ia sama sekali tidak mendapatkan lagi notifikasi dari pria itu. Rein sebenarnya sedih Barra seperti menjauh darinya, ia benar-benar tidak mengapa jika memang kini kenyataannya pria itu telah memiliki seseorang yang lain, tapi harapan Rein setidaknya tidak ada yang berubah di antara mereka.

Keluarga Rein sudah sangat dekat dengan Barra, dan Rein pun sebaliknya. Semenjak ada Barra, keluarganya selalu mempercayakan dirinya pada Barra. Ke mana pun ia pergi, orangtuanya pasti akan meminta Barra untuk menemani dan menjaganya. Bahkan saat ini pun ia berada dalam satu kampus dan juga jurusan yang sama dengan Barra atas kehendak orangtuanya.

Rein dan Barra memang memiliki impian masuk jurusan yang sama tapi mereka memiliki kampus impian yang berbeda. Tapi, berhubung harus selalu bersama Barra, jadilah Rein dimasukkan ke sebuah kampus yang sama dengan Barra karena keinginan orangtuanya itu. Rein sempat kesal awalnya karena ia tidak bisa satu kampus dengan Sheril dan juga Dara, tapi lama-kelamaan ia akhirnya bisa menerima dan ia yakin apapun yang telah dilakukan oleh orangtuanya itu adalah benar.

"Rein?" Suara Haris seketika membuyarkan lamunan Rein. "I-iya?"

"Kok ngelamun?"

"Gak papa, kok. Ris, jajan yu!"

"Jajan? Jajan apa?"

"Ke minimarket aja beli cemilan." Haris mengangguk mengiyakan. Mereka pun keluar dari rumah dan berjalan menuju ke sebuah minimarket yang tak jauh letaknya dari kediaman Rein.

Saat mereka melintas di depan rumah Barra, Rein sempat memandang ke halaman rumah itu dan matanya menangkap seseorang yang sangat dikenalnya tengah tertawa dengan seorang wanita asing di teras rumahnya.

"Itukan cewek yang di kampus sama Barra," batinnya. Rein dan Barra sama-sama memandang satu sama lain hingga pada akhirnya langkah Rein semakin menjauh dari sana dan kontak mata antara mereka pun terputus.

"Banyak banget yang berubah ya di sini?"

"Iya, Ris." Rein mengeratkan pelukannya terhadap lengan Haris di sepanjang perjalanan mereka. "Gue kangen jalan bareng sama lo kek gini." Haris tersenyum dan ia sedikit mengusak rambut Rein.

Sesampainya di minimarket, Rein mengambil beberapa cemilan dan memasukkannya ke dalam keranjang yang dibawa oleh Haris.

"Udah? Malah bengong." Rein yang tengah memperhatikan isi keranjang kemudian perhatiannya teralihkan pada Haris.

"Udah deh, Ris. Udah banyak."

"Yakin? Ayo ambil aja kalo masih mau yang lain."

"Enggak, deh. Udah segitu aja, mending sekarang kita bayar terus pulang." Mereka berjalan menuju ke arah kasir untuk membayar semua belanjaan mereka. Setelah semuanya selesai, mereka langsung memutuskan untuk pulang. Selama di perjalanan, mereka berdua berbincang-bincang di sela langkah kaki mereka.

"Itu baru rencananya sih, Ris. Katanya Sheril sama Ji-"

Ucapan Rein terhenti ketika ia melihat dua orang yang berjalan berlawanan arah dengan dirinya dan juga Haris. Setelah posisi mereka kian mendekat, Rein dan Barra saling menghentikan langkah mereka yang otomatis membuat orang yang ada di sisi mereka masing-masing pun ikut berhenti.

Rein dan Barra saling menatap satu sama lain dengan tatapan yang sulit diartikan sedangkan Haris dan Chaerin sedikit menatap mereka dengan keheranan.

"Ayo, Ris!" Rein menarik tangan Haris untuk menjauh dari tempat itu. Haris masih memperhatikan Rein dengan perasaan bingungnya, ia juga melihat wajah Rein yang tiba-tiba saja nampak berbeda dari yang awal.

Di belakang sana, Barra nampak memperhatikan punggung Rein yang kian menjauh darinya. Chaerin yang berada di samping Barra pun langsung menyentuh bahu pria itu untuk menyadarkannya.

"Kok terus diliatin, sih? Emang dia siapa?"

"Eh, maaf ya. Ya udah ayo kita lanjut aja."

Haris perlahan merangkul Rein dan ia semakin memperhatikan wajah gadis itu. "Kok jadi keliatan bete gitu sih pas udah ketemu sama dua orang tadi? Mereka siapa? Lo kenal sama mereka?"

•To be Continued•

.

Indriani0903creators' thoughts