webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 40

Pagi ini sebelum Rein pergi ke kampus, ia pergi mengunjungi sebuah kamar yang Haris tempati selama ia berada di sini.

Saat ia membuka pintunya, ia melihat keadaan kamar yang terlihat kosong dan terasa dingin. Kamarnya terlihat sangat rapi seakan memberitahukan bahwa ia sudah tak ditempati lagi. Rein menyandarkan punggungnya pada pintu bercat putih itu dan ia bertanya-tanya apakah pria itu benar-benar sudah pergi meninggalkannya lagi?

"Ris, lo beneran pergi? Harusnya lo jangan ngeiyain apa yang gue bilang, gue lagi emosi saat itu. Kenapa lo gak pernah ngerti sama suasana yang ada dalam diri gue? Gue bener-bener gak bisa ngontrol diri gue sendiri, kenapa lo anggap serius, sih?" Rein terduduk di sana dengan rasa penyesalannya. Jika sudah seperti ini … ia harus berbuat apa?

"Dek, bukannya sarapan malah deprokan di situ." Rendi yang tadinya sedang berjalan menuju dapur, ia menepi dulu ke kamar tamu karena ia melihat adik semata wayangnya itu terduduk di ruangan kosong itu.

"Bentar lagi, Kak." Rendi pergi lebih dulu ke meja makan untuk menikmati sarapannya pagi ini. Rein mengusap air matanya yang sempat terjatuh sebelum ia berdiri dan pergi dari sana.

Ia melihat ayah, ibu, dan kakaknya tengah menikmati sarapan mereka bersama. "Kok cemberut pagi-pagi?"

"Mih, Haris berangkat jam berapa?"

"Jam setengah 5." Rein hanya mengangguk mengerti, ia pun mulai memakan sarapannya pagi ini. Ia merasa sangat sedih sebenarnya, Haris pergi tanpa pamit padanya.

Setelah selesai, ia pun berniat untuk pergi ke kampus. Ia mulai melangkahkan kakinya keluar dari rumah dan ia bermaksud untuk pergi ke rumah Barra dan mengajaknya berangkat bersama. Ya, Rein tidak ada yang mengantarkannya ke kampus saat ini. Lagi pula, selama Haris tidak ada Rein memang selalu pergi bersama Barra.

Tapi saat ia baru saja sampai di teras rumahnya, ia melihat seorang pria yang memakai kaos polos berwarna putih, training berwarna hitam, dan sepatu olahraga berwarna perpaduan antara kaos dan training yang ia kenakan. Keringat membasahi tubuhnya dan napasnya sedikit tersengal-sengal. Rein yang melihat itu hanya bisa menatapnya sedikit tidak percaya.

"Masih ngambek, gak? Kok kaya sedih gitu mukanya, nyariin ya? Tenang kok, gue cuma pergi jogging doang. Tadi gue mulai jam setengah lima loh, Rein. Hebat kan?" Rein sedikit menendang paha Haris kesal, bisa-bisanya ia mengerjainya seperti itu.

"Lo pikir lo lucu kek gitu, ha? Nyebelin banget sih! Udah sana ah mandi! Anterin ke kampus buruan!"

"Galak banget sih cewek gue. Entar kalo misalnya kita nikah terus punya anak, jangan galak galak sama anak-anak, ya? Kasian entar mereka kalo mamanya galak banget kek macan." Haris terkekeh setelah ia menggoda gadis itu. Rein hanya menampakan wajah kesalnya yang sebenarnya hanya dibuat-buat saja olehnya.

"Haris cepet dong! Entar kalo telat gimana?"

"Iya iya tunggu dulu, ya?" Haris langsung masuk ke dalam rumah dan ia bersiap-siap untuk mengantarkan Rein ke kampus.

Rein sedikit tertawa melihatnya. Hatinya benar-benar lega sekarang ternyata dugaannya salah. Ia sebenarnya kesal karena merasa telah dipermainkan seperti itu, tapi rasa kesalnya masih kalah jauh dengan rasa bahagianya karena ia tahu Haris masih ada bersamanya saat ini.

Setelah sekitar 10 menit menunggu, Haris pun akhirnya selesai juga dan ia langsung mengantarkan Rein ke kampus. Tidak ada pembicaraan di antara mereka selama dalam perjalanan, mereka benar-benar diam tak berkata apa-apa.

Saat mereka sudah sampai, Rein langsung turun dan ia berdiri di samping Haris yang masih belum menyalakan motornya kembali untuk meninggalkan tempat itu.

"Ris, maaf buat kejadian kemarin. Maaf udah bikin lo kesel, gue sadar gue emang rewel banget. Gue ngerti sekarang, gue gak boleh egois, gak seharusnya gue selalu nuntut lo buat terus-menerus ngertiin dan nurutin apapun yang gue mau. Gue sadar, gue juga harus ngerti sama diri lo."

Perlahan Rein mulai kembali meneteskan air matanya dan pandangannya menunduk. Haris yang melihat itu membiarkannya terlebih dahulu, ia merasa jika masih ada yang ingin diungkapkan gadis itu kepadanya. jadi, ia akan membiarkannya dulu untuk beberapa saat.

Setelah kurang lebih 2 menit Rein menundukkan pandangannya, ia kembali mengangkat kepalanya dan menatap Haris. Matanya terlihat sembab, hidungnya memerah, dan kedua pipinya basah karena air matanya.

"Sebenernya gue gak mau pisah sampe beribu kilometer gitu sama lo. Tapi gue yakin, lo gak akan pernah punya rencana buruk buat gue. Gue yakin di balik keberanian lo yang nekat ninggalin gue dengan jarak yang bahkan mungkin lebih dari 2568 kilometer itu terselubung kebaikan buat kita …,

… gue emang gak tahu apa yang sedang lo perjuangin di sana sampe lo nolak permintaan gue buat tetap tinggal di sini bareng gue, Ris. Gue gak mau jauh dari lo lagi tapi gue bisa apa? Gue gak bisa apa-apa selain pasrah ngeiyain sama ngelepasin lo gitu aja"

Ya, setelah ia mengatakan itu hatinya begitu terasa perih. Jujur, itu semua berasal dari hatinya. Begitu menyakitkan saat ia memendamnya tapi setelah diungkapkan pun ternyata sama saja terasa sakitnya.

Ini adalah hari ke-4 Haris berada di sini, otomatis besok adalah hari terakhir untuk mereka bersama sebelum Haris kembali lagi ke Hong Kong. Rein akan berusaha menghiasi detik-detik terakhir mereka dengan penuh kebahagiaan bukan penuh dengan amarah dan keegoisan setelah ini.

Perlahan Haris menarik Rein ke dalam dekapannya, tangan kekarnya mengusap sayang surai hitam dan punggung gadis itu. Rein masih terus terisak di sana.

"Maafin Haris juga ya, Cantik? Bukannya Haris gak sayang, bukannya Haris gak kangen, tapi mungkin emang harus gini jalannya. Rein sama Haris harus sama-sama kuat ngejalaninya, kita pasti bisa." Rein hanya menanggapinya dengan anggukan kecilnya saja. Perlahan mereka melepaskan tautan peluk mereka dan Haris menghapus air mata Rein yang masih tersisa.

"Udah, ya? Mending sekarang Rein ke kelas."

"Ya udah, lo hati di jalan-jalan ya."

"Semangat!"

Setelah itu mereka pun berpisah. Rein pergi ke kelasnya dan Haris pergi untuk pulang. Saat baru saja Rein sampai di depan kelasnya, ia melihat Barra tengah berdiri di sana dengan seorang wanita yang begitu asing di mata Rein. Sempat Rein bertanya dalam hatinya tentang wanita itu, tapi ia langsung berusaha untuk tidak memedulikannya.

Barra melihat wajah Rein yang terlihat seperti baru berhenti menangis, tadinya ia berniat untuk menghampirinya dan menanyakan apa yang membuatnya menangis pagi ini. Tapi, ia mengurungkan niatnya itu karena ia sadar kini ada Chaerin di hadapannya. Ya, seorang gadis yang tak sengaja bertabrakan dengannya di parkiran beberapa hari yang lalu. Hari kedua ternyata mereka bertemu kembali dan mereka saling bertukar nomor telepon dan akhirnya mereka pun semakin dekat sampai saat ini.

Tak ada alasan lain Barra melakukan ini semua. Ia hanya ingin berusaha keras untuk menghapus perasaannya pada Rein dan membuka hatinya untuk wanita lain. Itu saja.

•To be Continued•

Ya oke Barra ayo move on :v

Hi! Aku balik nih, keknya setelah ini mau nentuin hari up deh biar mantab. Doain aja bisa mwehehehe oke sampai ketemu di next chapter

Indriani0903creators' thoughts