webnovel

4. Menyampaikan!

40 Hari Kemudian ....!

Acara tahlilan untuk mendoakan mendiang Azzam di laksanakan. Sudah 40 hari Azzam pulang ke Rahmatullah dan kini Khumaira sudah mau keluar. Walau berat akhirnya wanita cantik itu mampu menampakkan diri.

Ridwan terus merengkuh Khumaira sembari menangis. Dia teringat Abinya yang telah tiada. Kini dia anak yatim yang membutuhkan sosok Ayah untuk menjaga serta menemani bermain.

Banyak warga berdatangan ke rumah Khumaira untuk Yasinan mendoakan almarhum Azzam. Mereka merasa iba melihat Khumaira yang menggendong Ridwan. Tahu betul berapa berat kehilangan Suami dan calon buah hati

Air mata Khumaira tidak bisa berhenti saat alunan surah Yasin terlafalkan. Dia merengkuh Putranya erat karena tidak bisa menghentikan air mata. Hatinya terlampau sakit menerima takdir bahwa Suami tercinta telah meninggal.

Ridwan menatap depan tanpa penuh arti. Dia berbalik menghadap Ibunya setelah itu merengkuh erat Khumaira. Tubuh mungil Ridwan terengkuh erat oleh Ibunya. Kini ia sangat ketakutan melihat sesuatu.

"Umi, hiks."

Khumaira buru-buru menghapus air matanya lalu menenangkan Ridwan agar tidak rewel.  Dia panik buah hatinya tidak kunjung diam karena sedang demam. Sungguh Khumaira takut saat Ridwan semakin histeris.

Safira dan Maryam meminta Khumaira untuk membawa Ridwan ke kamar. Tentu Khumaira membawa sang Putra ke kamar guna menenangkan.

Para wanita memandang iba Khumaira terkhusus Safira. Mungkin keputusan Aziz akan membawa kebahagiaan bagi mereka itu benar. Berharap menantunya mendapat kebahagiaan melimpah setelah badai.

Maryam menangis seraya membaca surah Yasin. Ia tidak sanggup melihat Khumaira begitu terpuruk kehilangan Azzam. Hati Maryam begitu  pilu melihat Putrinya berusaha menjaga dan membuat Ridwan tenang.

Laila menghampiri Khumaira di kamar. Dia tidak Shalat karena halangan. Makanya ia datang ke kamar Kakaknya untuk melihat Ridwan.

"Mbak."

"Nduk, Tole Ridwan tidak kunjung diam. Ya Allah, Le jangan buat Umi khawatir."

"Abi, hiks Abi," racau Ridwan seraya menyebut Ayahnya.

Khumaira menangis tersedu mendengar racauan Ridwan. Dia meminta Laila untuk memanggil Maryam dan Safira dengan segera.

"Mas, kamu di sini? Adek sangat mencintai Mas karena Allah dan sangat merindukan, Mas. Adek minta maaf belum ikhlas menerima kenyataan ini. Insya Allah, Adek akan berusaha ikhlas. Mas, maaf telah menelantarkan Tole Ridwan. Mas maafkan Adek tidak bisa menjaga Fadil. Maafkan Adek Mas, tolong ampuni Adek. Ya Allah, jaga Suamiku dan berikan tempat yang layak di sisi-Mu. Hamba memohon agar Mas Azzam selalu engkau jaga."

Khumaira terus merapal dalam hati. Dia meminta Ridwan untuk tenang. Namun, bukannya tenang Putranya semakin menangis histeris.

Maryam berusaha menenangkan Ridwan. Tetapi, cucunya tidak mau lepas dari Khumaira. Mata besar Ridwan terus menatap satu arah dengan tangis keras.

Khumaira berdiri sembari menggendong Ridwan. Dia usap rambut dan tidak lupa menciumi puncak kepala Putranya. Dia tepuk bokong Putranya agar tenang. Namun, Ridwan tidak mau berhenti menangis. Melihat Putranya begitu Khumaira begitu frustrasi.

"Tole, tenang ada, Umi. Sstt, jangan menangis, Anakku."

Khumaira terus menenangkan Ridwan sembari menangis dalam diam. Sungguh dia tidak sanggup melihat Ridwan begitu tertekan. Sebenarnya ada apa dengan Ridwan?

"Abi, hiks. Umi, Dedek rindu Abi. Hiks, Abi."

Tangan kecil Ridwan berusaha menggapai sesuatu dengan mata terus menatap pintu.  Si kecil menangis histeris ketika obyek pandangannya semakin mengabur.

"Mas Azzam, apa Mas benar di sini? Tolong jangan membuat Tole begini. Hiks Adek mohon, Mas!"

Entah kenapa Khumaira menyeru begitu, pasalnya ia merasa Suaminya kembali dalam wujud gaib. Sesak sekali membuat Khumaira terpukul. Dia terus merengkuh Ridwan erat sembari membaca ayat kursi dan mengkhususkan Al Fatihah untuk Azzam.

Ridwan mulai tenang dan perlahan senyum terukir indah. Jemari kecil itu mengusap air mata Khumaira.

"Umi, Abi datang sebentar. Katanya Abi tidak ingin melihat Umi sedih apa lagi menangis dan Abi bilang pada Dedek untuk tegar. Abi minta pada Dedek untuk selalu menjadi anak kuat dan berbakti. Itu Abi tersenyum pada kita. Lihat Umi Abi menenangkan, Dedek. Umi ... Abi sudah pergi katanya tidak akan kembali. Umi,  hiks."

Perkataan Ridwan sukses membuat mereka tercengang terkhusus Khumaira. Apa Putranya memiliki keistimewaan? Ya Allah, ia langsung mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.

Khumaira mendekap erat Ridwan supaya tenang. Dia bernapas sesak mengingat perkataan polos Ridwan. Ia tidak mau Putranya bisa melihat hal gaib.

Maryam merengkuh Khumaira dan Ridwan khawatir. Begitu sesak mendengar ucapan polos Ridwan. Semoga saja cucunya tidak memiliki kelebihan.

"Ibu, aku tidak mau Tole Ridwan melihat hal gaib. Ummi, apa Abah bisa menutup mata batin?"

Khumaira sangat panik sekarang. Ia menciumi wajah rupawan Ridwan terlihat polos. Putra semata wayang Khumaira kini tertidur pulas setelah menangis lama.

Safira mengusap puncak kepala Khumaira. Hatinya juga sangat sakit Putranya datang walau sebentar. Sebagai Ibu, dia merasa almarhum Azzam tersenyum tulus padanya.

"Ummi, bagaimana apa Abah bisa menutup mata batin?" Khumaira bertanya kembali.

"Insya Allah, Nduk. Jangan khawatir dan jangan panik. Terus berdoa pada Allah."

Khumaira mengaguk lemah.

***

Sekeluarga Hasyim berkumpul di rumah Sholikhin. Mereka saling mengobral santai. Tampak kepala keluarga menghela napas berat untuk menyampaikan maksud tujuan.

"Pak Sholikhin, ini Tole Aziz hendak menyampaikan hajatnya!" tegas Hasyim.

"Enggeh, silakan sampaikan hajatmu, Nak Aziz."

Sholikhin berkata tidak kalah tegas. Dia merasa aneh akan hawa canggung yang menguar. Jika di pandang lebih rinci Aziz terlihat menahan sesuatu.

Aziz menggenggam tangan Ibunya berniat meminta kekuatan. Dengan satu tarikan napas dan mengucap Bismillah akhirnya semua tercetus.

"Pak, Buk maafkan Aziz berbicara sebelum waktunya. Saya ingin menikahi Mbak Khumaira dan menjadi Ayah untuk Tole Ridwan!"

Aziz memejamkan mata sebentar sebelum menatap mereka terlihat sok berat. Paham betapa terkejut Sholikhin dan Maryam mendengar penuturannya.

Semua keluarga Khumaira terbelalak mendengar perkataan Aziz. Ini di luar nalar mereka, pasalnya masa iddah Khumaira masih lama. Kenapa Aziz begitu berani menyampaikan sesuatu yang mustahil.

"Kami menolak, Putri kami bukan mainan. Ingat Tole Aziz, Khumaira itu Mbak iparmu dan notabenenya adalah janda Masmu. Kami tidak bisa menerima karena Nduk Khumaira akan menolak keras. Nduk Khumaira masih masa iddah dan masa itu masih lama. Kenapa kamu begitu berani mengatakan hal gila?"

Sholikhin begitu emosi mendengar perkataan Aziz. Ia tidak mau Khumaira jadi mainan yang bisa di gilir. Putrinya lebih berharga dari apa pun.

Aziz dan keluarganya mengatupkan bibir rapat. Mereka begitu terluka, tetapi inilah konsekuensi dari semua.

"Pak, Buk maafkan Aziz berbicara begitu. Saya dan sekeluarga tidak mempermainkan Mbak Khumaira. Pak, saya serius akan keinginan mulia itu. Saya akan menunggu Mbak dari masa iddah. Saya menyampaikan keinginan itu lebih awal supaya kalian tahu saya serius dengan ucapan. Saya ingin kalian terlebih dahulu mengetahui hajat Ini. Sekali lagi maaf!"

Aziz menunduk dalam guna meminta pengampunan. Dia merasa menjalankan amanah terakhir Azzam begitu berat.

"Apa alasan kamu berbicara begitu, Le? Kamu tahu pasti Nduk menolak keras keinginan itu. Tole, ingat ini ... Nduk Khumaira sangat mencintai almarhum Nak Azzam dan cinta itu begitu suci. Sekali lagi maaf, kami tidak bisa menerima walaupun Tole hendak menunggu masa iddah Nduk Khumaira selesai."

Sholikhin berusaha menolak halus. Dia tidak mungkin menghancurkan perasaan Khumaira. Semoga saja Aziz mampu menerima kenyataan bahwa hajat tertolak.

Aziz tersenyum mendengar penolakan keluarga Khumaira. Berat sekali menerima restu kedua orang tua Khumaira. Jangan sebut dia Aziz jika tidak keras kepala, gigih dan pekerja keras.

"Tetapi saya akan tetap menikahi Mbak Khumaira, Pak ...! Almarhum Mas sebelum pergi ke Brunei berpesan untuk menjaga Mbak Khumaira dan Tole Ridwan. Saya akan berusaha menjaga mereka sepenuh hati. Tolong izinkan saya menepati amanat Mas Azzam yang terakhir. Tolong izinkan saya memiliki mereka agar Mbak Khumaira dan Tole Ridwan punya sandaran dan tempat berkeluh kesah. Izinkan saya menikah dengan Mbak Khumaira, agar leluasa merengkuh mereka!"

Aziz berkata begitu tegas dengan mata menyorot meyakinkan. Penolakan itu adalah tombak agar Aziz lebih berani mengungkap keinginan.

Sholikhin sekeluarga menatap Aziz tidak percaya. Perkataan Aziz sukses menohok hati mereka paling dalam.

"Kami tidak bisa berkomentar apa pun, pasalnya ini sangat rumit. Nduk Khumaira yang berhak atas semua ini. Tole Aziz memang tidak malu menikah turun ranjang?"

Sholikhin akhirnya menyerah dengan menerima hajat, Aziz. Tetapi, berharap pria keras kepala itu mengendurkan keinginan. Sungguh Sholikhin tidak ingin menyiksa batin Khumaira dengan pernikahan turun ranjang.

"Insya Allah, saya tidak akan malu karena ini dari tekat keyakinan dan harapan saya!"

Aziz berharap berhadapan dengan Khumaira tidak serumit keluarga Kakak iparnya. Tatapi, ia sangat tahu Khumaira lebih sulit di banding mereka.

Ini awal menempuh hidup bagi keduanya. Semoga saja Aziz mampu berjuang keras meluluhkan Khumaira. Dan semoga Khumaira lekas sembuh dari keterpurukan atas kehilangan Azzam.