webnovel

3. Panik!

1 Bulan Kemudian  ....!!!

Aziz dua pekan ke Hongkong untuk melakukan perjalanan bisnis. Selama dua pekan ia terus ke pikiran Ridwan. Setelah pulang dari Hongkong, Aziz memutus pergi ke rumah mendiang Kakaknya.

Aziz membawa berbagai hadiah untuk keponakan. Saat di rumah Aziz menekan bel, tidak lama pintu terbuka menampilkan asisten rumah tangga.

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."

"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Silakan masuk, Tuan."

"Terima kasih, Bibi. Jangan panggil Tuan cukup Aziz. Tole Ridwan mana?"

Aziz tidak melihat sosok mungil kesayangannya. Di mana anak manis itu? Sungguh Aziz sangat merindukan Ridwan yang manja.

"Maaf, Tuan. Tole Ridwan demam dari tadi pagi."

Mata coklat keemasan itu membulat sempurna mendengar informasi. Rasa khawatir menyerukan ke ulu hati, Aziz. Sungguh dia tidak mampu mengontrol diri untuk emosi.

"Kenapa bisa demam? Lalu Mbak Khumaira bagaimana?"

"Nyonya, tidak menyahut saat saya panggil. Bahkan satu minggu ini Nyonya mengurung diri di kamar tanpa peduli sekitar. Tole Ridwan sakit akibat kehujanan dan kurang makan. Tuan tahu, Tole Ridwan begitu susah makan, dan Tole mau makan jika Nyonya yang masak. Selama 1 bulan ini Nyonya tidak masak apa pun."

Aziz mengatupkan bibir rapat dengan rahang mengerat. Tangan mengepal kuat menandakan betapa emosi. Bukan marah karena Khumaira, melainkan pada dirinya sendiri. Kenapa dia tega pergi ke luar Negeri untuk bisnis, sementara Ridwan tambah terlantar.

Rasa sesal dan tekat Aziz cetuskan. Dia tidak akan menerima pekerjaan di luar Negeri. Buru-buru dia berlari menghampiri kamar Ridwan.

Hatinya tambah miris melihat Ridwan terlihat kurus. Kulit putih keponakan terlihat pucat. Bibir pucat dengan tubuh panas.

"Tole Ridwan," lirih Aziz.

Aziz mengusap rambut lepek Ridwan akibat keringat dingin. Di kecup kening Ridwan penuh kerinduan dan kesedihan.

"Umi," lirih Ridwan tambah membuat Aziz sakit hati.

Aziz bertekad meminta Khumaira untuk merengkuh Ridwan. Dia jalan menuju kamar Khumaira dengan perasaan campur aduk.

Aziz mengetuk pintu lumayan keras, tetapi tidak mendapat sahutan. Merasa jengah akan kelakuan Khumaira membuat ia menggeram emosi.

"Mbak buka pintunya atau ku dobrak?!"

Aziz tidak tahan menunggu 10 menit di luar. Dengan kuat dia mendobrak pintu. Alhasil pintu terbuka kasar nyaris pintunya rusak.

Mata Aziz membulat sempurna melihat Khumaira tergeletak di karpet. Dia langsung mendekat ke arah Mbaknya lalu mengangkat tubuh kurus Khumaira di ranjang.

Hati Aziz tambah miris melihat dua orang yang akan di jaga terkulai lemah. Dia mencari minyak kayu putih untuk menyadarkan Khumaira.

Sakit semakin pilu melihat dua orang yang di titipkan padanya sekarang sekurus ini. Tanpa terasa air mata luruh begitu saja. Buru-buru Aziz seka air mata agar terlihat biasa saja.

Khumaira tersadar lalu melihat Aziz dengan pandangan kosong. Air mata luruh deras tanpa isakan. Dia berpaling sedih tidak mau dikasihani. Tubuhnya sangat lemas bahkan untuk berjalan terasa mustahil.

Saat asisten rumah tangga memberi tahu Ridwan sakit, Khumaira panik sehingga mengabaikan rasa sakit. Namun, berakibat fatal saat dirinya tersandung dan berakhir pingsan. Khumaira begitu lemah sehingga tubuhnya mudah tumbang.

"Mbak." panggil Aziz.

Khumaira ingin berbicara, tetapi tenggorokan sakit. Dia sangat sedih ingin menggapai Ridwan.

"Tadi Bibi memeriksa kondisi, Mbak. Katanya Mbak demam tinggi, sebentar lagi Bibi datang. Makan dan minum obat supaya cepat sembuh. Maaf lancang masuk kamar, Mbak."

Aziz langsung berlalu begitu saja setelah mengatakan itu. Dia tersenyum tipis melihat Bibi Ijah membawa nampan berisi makanan, air putih dan obat.

Menengok kembali ke arah Khumaira sendu. Beginikah akhir kecerewetan Kakak iparnya? Aziz tidak kuasa menatap Khumaira begitu menyedihkan.

Ibu dan Anak kini sama-sama sakit demam. Aziz begitu menyesal kenapa pergi ke Hongkong. Melangkah pergi ke koridor lalu melihat foto Azzam.

"Mas, maafkan Aziz yang lalai menjaga Mbak Khumaira dan Tole Ridwan. Tolong maafkan Aziz telah tega membiarkan mereka sakit."

*****

Tubuh Khumaira merasa baikkan walau masih sangat lemah. Perlahan dia berjalan ke luar untuk pertama kali setelah 1 bulan mengurung diri.

Tujuan Khumaira masak untuk Ridwan. Putranya begitu senang makan sayur-mayur, ayam, telur dan ikan. Tidak suka pedas, manis dan harus Khumaira yang masak. Apa pun masakannya maka Ridwan terima dengan senang hati.

Khumaira tersenyum tipis melihat asisten rumah tangga seumuran Bibi Aisyah terkejut. Ia masak tumis kangkung dan telur goreng. Menggeleng sebal pasalnya Ridwan sakit karenanya. Dia membuat sayur bening agar Ridwan suka makan. Jika membuat bubur itu cukup lama makanya Khumaira memilih nudah.

"Nyonya, Anda masih sakit tolong biarkan saya yang masak."

Khumaira hanya tersenyum tipis.

"Tolong cuci peralatan ini, terima kasih."

Khumaira membuka pintu Putranya dan melihat Aziz setia mengompres Ridwan. Sesak itulah perasaan Khumaira.

Aziz yang sadar sontak menatap Khumaira terkejut. Apa pandangan salah melihat Mbaknya?

"Mbak," lirih Aziz.

Khumaira menaruh nampan di nakas. Pandangannya menyendu serat akan penyesalan.

"Mbak, saya permisi dulu."

Khumaira hanya mengaguk singkat. Putranya begitu kurus dan itu karenanya. Sakit sekali melihat Ridwan begini.

"Tole, ini Umi."

Ridwan terbangun merasakan usapan  dan kecupan lembut Ibunya. Sontak tangan kecil itu merengkuh Khumaira erat sembari menangis keras.

"Umi," tangis Ridwan menyayat hati. Sungguh anak kecil ini begitu rindu akan pelukan Khumaira.

Khumaira menciumi wajah rupawan Ridwan. Dia ikut menangis sedih melihat Putranya begitu menyedihkan. Kembali ia rengkuh erat Ridwan sembari menciumi puncak kepala sang Putra.

"Tole, maafkan Umi."

"Umi, hiks Dedek sangat rindu. Jangan abaikan Dedek, Abi sudah pergi dan jangan tinggalkan Dedek sendiri."

Perkataan polos Ridwan menghantam jantung dan hati Khumaira. Air mata berlinang haru tidak mampu berkata apa pun.

Aziz sedari tadi di belakang pintu merosot ke bawah. Dia tidak kuat mendengar perkataan Ridwan. Sungguh dia ingin menikahi Khumaira sekarang agar Tole Ridwan terjaga. Tetapi, masa iddah Khumaira masih lama.

Khumaira mengusapi pipi gembul Ridwan penuh kasih. Di kecup kening Putranya penuh kerinduan. Hati Khumaira sakit mendapati Ridwan terlantar olehnya.

"Tole, tidak perlu khawatir ya, Nak. Umi, akan selalu menjaga dan menemani, Tole. Jangan khawatir Umi akan selalu di sisi Dedek."

"Umi  ....!" tangis Ridwan karena sangat bahagia.

Khumaira memangku Ridwan lalu menyuapi sang Putra. Senyum getir tercetak saat Ridwan makan begitu lahap.

"Umi, Dedek senang bisa makan masakan, Umi."

Khumaira yang tidak tahan langsung merengkuh Ridwan erat. Tangis pilu dengan penyesalan menyeruak menyakitkan.

"Mas Azzam, maafkan Adek yang tega menelantarkan Putra kita. Adek janji akan seperti dulu, tetapi masih sakit setiap melihat Tole Ridwan. Adek begitu kalut kehilangan, Mas. Putra kita sekarang kurus sekali. Jika Mas masih di sini pasti marah saat melihat Tole terlantar. Adek sangat mencintai Mas karena Allah. Semoga Mas tidak marah pada Adek. Imamku, apa di sana engkau tenang? Mas Azzam, Adek sangat rindu." batin Khumaira dengan isak tangis.

Khumaira tetap merengkuh Ridwan. Ia berikan obat penurun demam untuk anak kecil. Setelah itu merengkuh Putranya supaya tidur dalam dekapan hangatnya.

Di luar Aziz tampak murung menerima kenyataan pahit itu. Semoga saja khumaira lekas sembuh tidak terpuruk lagi. Prioritas utama Aziz sekarang adalah membahagiakan Khumaira dan Ridwan.

"Mbak, aku berharap mulai sekarang tidak terpuruk lagi. Aku sangat berharap Mbak bisa kembali seperti dulu walau berat."